Pemerintah menuduh Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalang kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli). Pada hari itu, kantor PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang dikuasai pendukung Megawati Sukarnoputri diserang oleh massa pendukung Soerjadi yang disokong tentara Orde Baru. Aparat pemerintah kemudian memburu aktivis PRD.
Pada 2 Agustus 1996, aparat militer, kepolisian dan kejaksaan menyerbu rumah Garda Sembiring di Bogor. Mereka gagal menangkap ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) cabang Jabodetabek itu. Setelah menyingkir ke belakang kampus IISIP di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, dia dan teman-temannya kemudian menyebar. Dia memilih menginap di kos temannya seorang mahasiswa Fakultas Teknik UI di Kukusan Teknik, Depok, Jawa Barat.
Pada 11 Agustus 1996 pukul dua dini hari, kamar kos itu dibuka paksa oleh orang berpakaian sipil yang membawa senajata api. Garda bersama temannya, Victor da Costa, Puthut Arintoko, dan Ignatius Pranowo, ditangkap. Dengan mata tertutup dan diborgol, mereka didorong masuk ke dalam mobil. Tubuh mereka diinjak. Dari radio para penawan ini, Garda mendengar bahwa operasi harus dipercepat.
Baca juga: Komnas HAM: Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Pelanggaran HAM
Perasaan Garda berkecamuk terlebih memikirkan nasib temannya yang masih muda. Putut misalnya, masih mahasiswa hukum semester satu di Universitas Jenderal Soedirman. “Kami merasa kalau kami akan jadi kambing hitam (peristiwa Kudatuli) dan akan diburu. Lalu kami melakukan evakuasi,” kata Garda yang saat itu berusia 26 tahun kepada Historia.
Garda ditahan di Wisma Sudirman di kompleks Sat.Lid Badan Intelejen ABRI. “Saya tahu namanya setelah saya diinterogasi selama seminggu. Belakangan saya tahu saya ditahan di wilayah Ragunan,” kata Garda. Di sana, rupanya sudah ada Budiman Sujatmiko (ketua PRD) dan Petrus Haryanto (sekretaris jenderal PRD) yang ditempatkan pada sel yang terpisah.
Dalam seminggu masa tahanan, Garda diinterogasi terus-menerus dan tidak diberi waktu istirahat yang cukup. Pada awal masa tahanan, seorang berseragam kejaksaan ditugaskan untuk menginterogasinya. Dia menjelaskan bahwa Garda dikenakan pasal subversi.
“Jadi, yang mewawancarai cuma satu, orang kejaksaan. Cuma orang-orang yang di sampingnya dari berbagai angkatan yang berbuat sesukanya,” ungkap Garda. Belakangan, interogasi tidak dilakukan oleh petugas kejaksaan. Aparat melakukan interogasi dengan berbagai siksaan: pukulan, tempelengan, bahkan membenturkan kepala ke tembok. “Rasanya sudah nggak ada bedanya apakah dipukul atau dibenturkan ke tembok. Awalnya saya merasa sakit tapi lama-lama saya mati rasa,” kata Garda.
Garda masih ingat pertanyaan yang dilontarkan selama interogasi. Kebanyakan pertanyaan seputar posisi teman-teman Garda yang juga jadi incaran aparat. Beberapa pertanyaan lebih bersifat mengonfirmasi karena aparat telah memiliki daftar nama yang harus mereka cari. Garda memilih diam, mengamankan temannya. Keteguhannya berbuah siksaan.
“Setelah sekian hari saya dikunjungi oleh Yorrys Raweyai. Dia membujuk saya untuk kooperatif tapi saya tidak mau. Saya ditawari teh dan rokok, tapi saya menolak. Yang saya butuhkan ketika itu adalah pisau cukur,” kata Garda.
Setelah seminggu ditahan dan disiksa, Garda akhirnya dipindahkan ke Kejaksaan Agung. Dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) tertulis bahwa Garda ditempatkan di Kejaksaan Agung sejak awal. Dia menolak BAP itu karena tidak benar. “Ada beberapa nama yang saya ingat. Ada Kolonel Havel yang disebut bertanggung jawab atas nasib kami,” katanya.
Baca juga: Lebaran dan Natalan Terakhir Bersama Wiji Thukul
Nasib hampir sama juga dialami oleh Wahyu Susilo, adik dari penyair Wiji Thukul. Puisi-puisinya membuat gerah penguasa Orde Baru. Aparat keamanan memburun aktivis PRD itu. Kisah mengenai persembunyian Wiji Thukul memang banyak terdengar. Sang adik ditangkap karena dituduh menyembunyikan kakaknya.
Pada 31 Agustus 1996, Wahyu ditangkap di Kantor Solidaritas Perempuan di Kawasan Otista, Jakarta Timur. Ada dua truk pengangkut polisi yang bertugas menggeledah Kantor Solidaritas Perempuan. Wahyu ditangkap dan dibawa ke daerah Kalibata, Jakarta Selatan, kemudian dipindahkan ke Pejaten, Jakarta Selatan. Dia menduga bahwa tempatnya ditahan dulu merupakan Kantor BIN sekarang. Senasib dengan Garda, Wahyu juga mengalami penyiksaan selama interogasi. Petugas menanyai keberadaan kakaknya, bila jawabannya tak memuaskan mereka, Wahyu dipukul bahkan disetrum.
Baca juga: Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (1)
Nia Damayanti, mantan aktivis SMID Surabaya juga ditangkap. Nia tidak disiksa secara fisik seperti Garda dan Wahyu, tapi ditekan secara mental.
Pada Malam 9 September 1996, Nia didatangi ketua RT dan Letnan Budi. Ayah Nia menolak menyerahkan anaknya dan mengantarnya ke tempat interogasi menggunakan mobil pribadi. Sedang Letnan Budi beserta anak buahnya mengendarai mobil yang berbeda. Dari tulisan yang tertera di kursi, Nia tahu bahwa tempat itu adalah Markas Komando Deninteldam V Brawijaya.
Pada hari pertama interogasi, Nia bertemu dengan Erli, Wulan, dan Atok, temannya sesama aktivis. Interogasi intens dilakukan hingga pukul tujuh pagi. Ditanyai terus-menerus oleh petugas bersenjata membuat Nia merasa tertekan. “Saya ditunjukkan sel yang pernah dihuni Marsinah,” kata Nia. Interrogator itu berkata, “Ini sel dulu ditempati Marsinah. Kamu tahu Marsinah, kan?”
Nia mengakui depresi selama masa interogasi. Dia tak bisa mengingat siang atau malam. Beberapa kali interogasi sempat dihentikan karena dia histeris. “Saya tidak mengalami siksaan fisik. Teman saya, Lisa Febrianti pernah dilempar asbak,” katanya.
Baca juga: Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (2)
Menurut Lilik HS penangkapan aktivis PRD paling besar dilakukan di Surabaya. Ada 26 anggota PRD yang ditangkap. “Sebagian besar yang ditangkap adalah mahasiswa, beberapa ada pula yang buruh,” kata Lilik. Penangkapan dilakukan di indekos, rumah, kampus, bahkan lokasi KKN (Kuliah Kerja Nyata).
“Mereka mengalami penyiksaan dan dilepas sekitar satu bulan kemudian. Saya ketika itu tidak ikut tertangkap,” kata Lilik. Kasus penangkapan aktivis di Surabaya kemudian dilimpahkan ke Polda Jawa Timur.
Garda, Wahyu, dan Nia hanya sebagian kecil dari banyak aktivis yang ditangkap. Bahkan, masih banyak yang hilang hingga sekarang. “Hingga kini banyak orang hilang atau dihilangkan secara paksa tidak jelas statusnya,” tutup Garda.