MENJELANG tanggal 27 Juli 1996, kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat selalu tampak ramai. Sejak seminggu sebelumnya, basis PDI kubu Megawati Sukarnoputri itu selalu dipenuhi gelombang massa.
Lukas Luwarso menggambarkan suasana saat itu. Siang hari suasana kantor sangat meriah, seperti festival demokrasi; mimbar bebas untuk menumpahkan aspirasi demokrasi. Tokoh-tokoh politik oposisi dan aktivis bergiliran pidato di panggung, menyuarakan demokrasi.
“Saya ditugaskan memantau kantor PDI. Jadi, hampir setiap malam selalu stand by di kantor PDI,” ujar Lukas kepada Historia. Lukas saat itu bertugas sebagai wartawan majalah Forum.
Konflik politik memang tengah melanda partai berlambang banteng itu. Nakhoda partai terbagi dua antara Soerjadi dan Megawati. Rezim Orde Baru mengakui Soerjadi sebagai ketua umum lewat kongres PDI di Medan pada Juni 1996. Sementara itu, kubu Mega menolak tunduk. Restu pemerintah terhadap PDI Soerjadi dianggap sebagai rekayasa untuk melengserkan Megawati dari pimpinan partai. Mimbar bebas pun digelar sebagai tanda perlawanan.
Baca juga:
Di Balik Istilah Orde Baru
Pers Mahasiswa Menggugat Orde Baru
Empat Kasus Korupsi Besar pada Awal Orde Baru
“Setiap malam selalu beredar rumor, kantor PDI akan diserbu. Di sisi lain, juga beredar info, aparat militer juga melakukan persiapan untuk merebut kantor PDI,” kenang Lukas.
Edi Siswoyo, saat itu wartawan Pos Kota, juga mendengar desas-desas akan terjadinya penyerangan. “Isu yang berkembang, rencana penyerangan berasal dari seorang pejabat militer,” ujar Edi yang saat itu menjadi kordinator mimbar bebas.
Pukul 06.00 pagi, tanggal 27 Juli, orang-orang berseragam merah hitam turun dari mobil di depan kantor PDI. Mereka memaksa masuk dan melemparkan bata dan batu ke kantor PDI.
“Di belakang mereka (penyerang) ada pasukan polisi. Yang bisa melarikan diri loncat ke tembok belakang. Ada yang naik ke atas kantor. Dan yang tak sempat lari bertahan dan melakukan perlawanan dalam suasana ruang gelap gulita. Yang ada di ruangan kantor DPP dikumpulkan dan dibariskan menuju truk yang sudah disiapkan, dibawa pergi entah kemana,” kenang Edi.
Baca juga:
Orde Teror
Jilbab Terlarang di Era Orde Baru
Jaringan Preman Sisa Orde Baru
Supersemar, Inti Rezim Orde Baru yang Palsu
Kabar penyerbuan kantor PDI tersebar dari mulut ke mulut. Masa berdatangan dan ingin merebut kembali kantor PDI. Kerusuhan pun terjadi antara polisi dan massa di sekitar Jalan Diponegoro 58. Tengah hari, lautan massa semakin banyak dan terus bertambah pada sore, membanjiri Jalan Diponegoro.
“Polisi bersikap represif membubarkan massa. Massa yang kecewa dan marah dipecah oleh polisi. Ada arus massa yang marah menuju Cikini, ada yang menuju Salemba, ada yang menuju Proklamasi. Konsentrasi massa terpecah dan semakin menjauh dari kantor DPP PDI,” kata Edi.
Baca juga: Mereka yang Diburu Pasca Kudatuli
Kerusuhan pun meluas ke Jalan Proklamasi, Jalan Salemba, dan Matraman Raya. Pembakaran terjadi terhadap beberapa bangunan. Sekira seratusan orang mengalami luka-luka dan lima orang tewas dalam kejadian tersebut. Tragedi ini kemudian dikenal sebagai peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli).
“Yang paling berperan-bertanggung jawab adalah Brigjen SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) selaku Kasdam (Kepala Staf Daerah Militer),” ujar Dhia Prekasha Yoedha, mantan wartawan Kompas.
“Dia yang memimpin dan memutuskan rapat penyerbuan pada 24 Juli. Termasuk skenario nanti menggunakan pasukan dari Kodam Jaya. Di situ terlibat Joko Santoso, Tri Tamtomo, kolonel-kolonel pada waktu itu. Data itu sebenarnya sudah ada pada tim pencari fakta, termasuk ke Komnas HAM,” jelasnya.
Baca juga: Komnas HAM: Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Pelanggaran HAM
Menurut Lukas, peristiwa penyerbuan itu adalah “skenario konyol”. Rezim Soeharto ingin mengesankan yang menyerbu dan merebut kantor PDI adalah kelompok PDI pro-Soerjadi. Jadi diskenariokan, seolah penyerbuan itu adalah kulminasi pertikaian internal PDI antara yang pro-Mega dengan yang pro-Soerjadi (yang didukung pemerintah).
“Skenario itu konyol, karena jelas terlihat yang menyerbu adalah aparat gabungan, polisi dan militer. Namun ending-nya, Butu Hutapea (Sekjen PDI kubu Soerjadi), menyebut diri sebagai komandan lapangan penyerbuan, yang kemudian di depan pers mengklaim telah mengambilalih kantor PDI,” kata Lukas.
“Saya saksikan denga mata saya sendiri,” lanjut Lukas, “Butu Hutapea muncul di area penyerbuan setelah penyerbuan. Boneka yang dimunculkan setelah huru hara usai.”
Baca juga: Kisah Petrus Saat Kudatuli Meletus
Menurutnya, rezim Soeharto tak ingin terlibat langsung dalam pertikaian karena sudah kadung mengkampanyekan “era keterbukaan” sejak 1993 (akibat desakan Dubes AS, Paul Wolfowitz). Pemerintah harus berpikir keras, dan merancang skenario yang baik. Itu sebabnya, mimbar bebas festival demokrasi di kantor PDI bisa berjalan lama, dan terkesan pemerintah tak berani membubarkan.
“Kudatuli adalah opera ‘setengah hati’ karena selain membuat skenario konyol boneka Butu Hutapea, rezim juga tak cukup punya nyali untuk membabat habis oposisi PDI pro-Megawati dan aktivis yang men-support-nya. Karena operasi setengah hati, maka penyelesaian hukum juga bukan menjadi bagian skenario untuk membabat aktor utama atau yang dianggap bertanggung-jawab,” pungkas Lukas.