SEJAK beberapa hari terakhir jagat maya dibuat heboh oleh pembahasan mengenai joki tugas di dunia pendidikan. Jasa yang ditawarkan mulai dari membantu mengerjakan tugas pelajaran dari jenjang SMP, SMA, sampai perguruan tinggi, hingga menyusun tugas akhir seperti skripsi. Tak sedikit orang yang menggunakan joki, sebuah tindakan curang dan tidak bertanggung jawab.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, joki memiliki empat arti: penunggang kuda pacuan; pengatur lagu yang menangani mesin perekam lagu atau piringan hitam (di studio radio atau diskotek); orang yang mengerjakan ujian untuk orang lain dengan menyamar sebagai peserta ujian yang sebenarnya dan menerima imbalan uang; orang yang memberi layanan kepada pengemudi kendaraan yang bukan angkutan umum untuk memenuhi ketentuan jumlah penumpang (tiga orang) ketika melewati kawasan tertentu.
Joki sebagai penunggang kuda telah dikenal sejak abad ke-19. Sebab, menurut wartawan dan sejarawan Alwi Shahab dalam Batavia Kota Banjir, pacuan kuda mulai dikenal di Hindia Belanda sejak masa pendudukan Inggris (1811–1816). Arena pacuan kuda salah satunya berada di Batavia, tepatnya di Lapangan Gambir (kini Monas).
Baca juga:
“Para pembalap, yang disebut joki, mengenakan baju seragam seperti jas yang kala itu banyak digunakan oleh kaum feodal meniru gaya Inggris. Mereka juga memakai peci ala koboi yang banyak terdapat dalam film-film yang menceritakan kehidupan abad ke-19. Sementara bendera Belanda, merah, putih, dan biru, berkibar di kiri kanan podium,” tulis Alwi.
Sementara itu, dalam Cerita Pacuan Kuda Pulo Mas, Tempo Doeloe dan Sekarang terbitan Pusat Data dan Analisis Tempo dijelaskan, pacuan kuda pada mulanya adalah permainan para demang dan lareh, para penguasa daerah di zaman pemerintah kolonial Belanda. Mulanya, yang diperlombakan adalah kuda yang biasa menarik kereta para demang bila sedang mengadakan inspeksi. Mereka menyuruh saisnya melecut kuda yang membawanya untuk berlari sekencang-kencangnya. Kebiasaan ini lambat laun dianggap tak patut dan meresahkan karena aksi kebut-kebutan itu membahayakan lalu lintas umum. Maka mulai dipikirkan membuat tempat khusus untuk berlomba.
Bukit Ambacang di Bukittinggi, Sumatra Barat, tercatat sebagai salah satu gelanggang pacuan kuda tertua di Hindia Belanda. Sejak tahun 1879, gelanggang ini telah digunakan para bangsawan Minang. Seiring berjalannya waktu muncul gelanggang-gelanggang kuda lainnya, dan kuda yang diperlombakan juga semakin banyak. Hampir setiap luwak (wilayah) memiliki kuda jagoan yang dihiasi dengan bendera lomba masing-masing. Tak ketinggalan, pakaian para joki pun disesuaikan dengan warna daerahnya. Agam berwarna merah, Payakumbuh biru, Batusangkar kuning, Padangpanjang hijau, Pariaman putih, Solok kuning hijau, dan Padang kuning dan merah.
Pacuan kuda tidak hanya di Sumatra Barat, tetapi juga di daerah-darah lain di Hindia Belanda, seperti di Minahasa, Sulawesi Utara. “Seperti orang Minang, orang Kawanua juga penggemar lomba kuda. Karena itu, petani di desa-desa di Minahasa banyak beternak kuda lomba…Joki alam dari Sulawesi Utara selalu digemari para petaruh balapan kuda di mana-mana,” tulis Tempo.
Setelah Indonesia merdeka, pacuan kuda tak begitu saja kehilangan peminat. Setelah Monas tak lagi menjadi arena pacuan kuda, Gelanggang Pacuan Kuda Pulo Mas dibangun pada 1969 sebagai bagian dari pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun DKI Jakarta. Gelanggang ini mulai dibuka untuk pacuan pada 1970.
“Di Gelanggang Pacuan Kuda Pulo Mas diizinkan sebagai tempat penyelenggaraan judi, sekaligus sebagai usaha pemerintah DKI Jakarta menyediakan saran rekreasi dan olahraga kuda,” demikian dijelaskan dalam Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage Volume 2.
Tak butuh waktu lama hingga Gelanggang Pacuan Kuda Pulo Mas menjadi tempat rekreasi favorit warga Jakarta. Biasanya mereka datang pada akhir pekan untuk melihat para joki berlaga. Namun, tak sembarang joki bisa berkompetisi di sini. Mereka akan mendapat pelatihan terlebih dahulu. Masa pelatihan membutuhkan waktu hingga lima tahun. Waktu latihan selama lima tahun ini adalah syarat minimal yang tak dapat ditawar.
Baca juga:
“Kami ingin mutu yang benar-benar terjamin. Sekali jokinya membuat kesalahan, rusaklah kepercayaan orang terhadap race ini,” kata A.E. Kawilarang, Deputy Manager JRM (Jakarta Racing Management), kepada Tempo.
Popularitas Gelanggang Pacuan Kuda Pulo Mas bertahan hingga awal tahun 1980-an. Ketika pemerintah melarang segala bentuk perjudian sejak 1 April 1981, termasuk judi di Gelanggang Pacuan Kuda Pulo Mas, minat masyarakat terhadap pacuan kuda tanpa judi menurun.
Selain penunggang kuda, joki juga memiliki arti orang yang memberi layanan kepada pengemudi kendaraan yang bukan angkutan umum untuk memenuhi ketentuan jumlah penumpang (tiga orang) ketika melewati kawasan tertentu. Kemunculan istilah ini berkaitan dengan diberlakukannya aturan three-in-one di sejumlah jalan protokol di Jakarta.
Dalam Thriving: Making Cities Green, Resilient, and Inclusive in a Changing Climate yang disusun oleh Megha Mukim & Mark Roberts dijelaskan, aturan yang mulai diterapkan pada Maret 1992 itu mengharuskan mobil yang melaju di kedua arah jalan protokol Jakarta pada waktu-waktu tertentu diisi sedikitnya tiga penumpang termasuk pengemudi. Mereka yang melanggar aturan ini akan didenda maksimum Rp500.000 atau dihukum dua bulan penjara.
“Kebanyakan pengguna mobil adalah orang-orang berada, dan seringkali mereka melakukan perjalanan ke Jakarta tanpa memenuhi aturan pembatasan jumlah penumpang. Dengan demikian, muncullah pasar informal untuk penumpang profesional atau joki,” tulis Mukim dan Roberts.
Tujuan aturan three-in-one untuk mengurai kemacetan di sejumlah ruas jalan di Jakarta. Namun, alih-alih menjadi solusi, aturan ini justru menimbulkan masalah baru, yakni munculnya joki three-in-one. Pria, wanita, dan anak-anak berbaris di sisi jalan di luar zona three-in-one untuk menawarkan jasanya. Biasanya mereka akan mengacungkan tangan. Para pengemudi yang membutuhkan joki akan menepikan mobil, menegosiasikan biaya, dan mengambil joki sebanyak yang diperlukan untuk memenuhi jumlah minimum aturan three-in-one.
“Praktik ini ilegal karena memungkinkan pengemudi untuk menghindari aturan pembatasan jumlah penumpang, tetapi hukum tidak ditegakkan secara ketat. Setelah memasuki kota, para joki mobil biasanya naik bus untuk pulang,” tulis Margo DeMello dalam On the Job: An Encyclopedia of Unique Occupations Around the World.
Baca juga:
Tingginya permintaan terhadap joki three-in-one membuat banyak orang menekuni pekerjaan ini. Para joki turun ke jalan pukul 06.00 hingga 10.00 pagi. Tarif yang ditawarkan bervariasi. Di masa awal diberlakukannya aturan three-in-one, joki-joki mematok harga Rp500 hingga Rp1.000. Dalam majalah Tempo, edisi 02/23, 13 Maret 1993 disebutkan, para joki biasanya memiliki cara tersendiri untuk menarik perhatian pengemudi mobil. Selain sigap menghampiri mobil yang menepi, mereka juga mengenakan pakaian yang rapi.
“Badan kecil, kerempeng, pakaian rapi, baik untuk laki atau perempuan. Dan yang sering mati pasarannya adalah anak yang berperawakan kekar, yang berpakaian kotor, ibu-ibu atau wanita yang berpakaian seronok,” tulis Tempo. Joki yang berpakaian rapi menjadi favorit para pengemudi karena dianggap ampuh untuk mensiasati razia polisi. Joki menghilang dari jalanan Jakarta setelah aturan three-in-one dihapuskan pada 2016.
Kini dan mungkin sudah sejak lama joki terjadi di dunia pendidikan. Joki ini mengerjakan tugas atau ujian orang lain dengan menyamar sebagai peserta ujian dan menerima imbalan uang. Meski ilegal dan dapat dijerat ancaman pidana, tak sedikit joki yang terang-terangan menawarkan jasanya di sosial media. Bahkan, ada perusahaan startup yang menawarkan jasa joki tugas untuk pelajar dan mahasiswa.*