Masuk Daftar
My Getplus

Mencari Jejak Kejayaan Blambangan

Penguasa terbesar Blambangan membangun keratonnya di pedalaman. Kini puing-puingnya masih bisa dijumpai.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 22 Mei 2020
Monumen Tulien Ngetan Ilingo Kawitane, yang menampilkan sosok Tawangalun menunjuk ke arah timur dan Macan Putih. (Wikipedia).

ALKISAH, Tawangalun pergi menyepi. Ia bersembah semedi di pertapaan kaki Gunung Raung. Sudah tujuh hari ia melakukan laku pembersihan diri. Sampai kemudian ia mendengar suara gaib menggema berbicara kepadanya.

“Pulanglah Gusti Prabu.” Tawangalun diminta agar berjalan ke arah timur. “Jika kau bertemu dengan Macan Putih, tunggangilah.”

Maka, Tawangalun turun dari pertapaannya. Ia tempuh perjalanan berhari-hari ke arah matahari terbit. Sampai kemudian dilihatnya sesosok macan putih menghadang.

Advertising
Advertising

Teringat suara gaib dalam semedinya, ia mendekati macan itu lalu menungganginya. Mereka mengelilingi hutan yang luas hingga sampai ke tengah rimba Sudimara. Seakan tahu di situlah tujuan mereka, Tawangalun turun dari punggung macan. Binatang gaib itu pun tiba-tiba lenyap, tak berbekas. Pahamlah Tawangalun bahwa di tempat itulah ia harus membangun negerinya.

Begitulah ia kemudian membuka Hutan Sudimara. Menjadikannya sebagai pusat pemerintahan Blambangan yang baru, berjuluk Macan Putih.

Kisah para penguasa di Macan Putih itu kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Babad Tawang Alun.

Tawangalun adalah moyang para penguasa di Macan Putih di tanah pedalaman Banyuwangi. Sejarawan Belanda, H.J de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa mencatat kalau di sinilah tempat asal banyak bupati Banyuwangi dari abad ke-18 hingga ke-19.

Baca juga: Masjid di Jantung Banyuwangi

Kini sebuah desa bernama Macan Putih, di Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi, dikaitkan dengan kisah itu. Sri Margana dalam disertasinya Java’s Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c. 1763-1813 menulis kalau pada 1805, beberapa puing bata masih dapat dilihat. Bekas bangunan kuno itu tadinya masih dilingkupi belantara.  

“Macan Putih, yang berlokasi di Dusun Malar (salah satu dusun di Desa Macan Putih, red.), utara Rogojampi, kini tidak lebih dari gundukan tanah dan puing-puing batu bata. Bekas rumah Macan Putih dikelilingi oleh dinding bata besar,” catatnya.

Kata Margana, puing itu bisa mengindikasikan kalau pada masa pemerintahan Tawangalun, Blambangan tumbuh dengan sejahtera. Banyak bangunan kota dan kuil didirikan, sebelum akhirnya dihancurkan Mataram.

Penguasa Tawangalun

Nama mirip dengan Tawangalun muncul dalam catatan seorang pertapa Sunda Kuno, Bujangga Manik. Pada sekira abad ke-14 atau awal abad ke-15, Bujangga Manik melakukan perjalanan melintasi Pulau Jawa dan Bali. Catatan perjalanannya dibahas J. Noorduyn dalam Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa.

Diceritakan dalam perjalanannya dari Gunung Raung, Bujangga Manik pergi ke Balungbungan. Di sana ia tinggal, melakukan tapa, hingga lebih dari setahun. Seusainya, Bujangga Manik pergi ke tepi pantai. Ia melihat sebuah kapal yang akan berlayar ke Bali. Artinya, Balungbungan letaknya tak jauh dari laut. Kata Noorduyn, Balungbungan yang tertulis di sana adalah Pelabuhan Blambangan yang ketika itu sudah terkenal.

“Balambangan atau Balangbangan terletak di sebelah selatan Banyuwangi sekarang, di Teluk Pangpang,” katanya. “Pelabuhan ini tetap menjadi pelabuhan yang terpenting di pantai timur Jawa sampai 1774 dan kemudian diganti menjadi Banyuwangi.”

Baca juga: Ketika Orang Mandar Berlabuh di Banyuwangi

Sekembalinya dari Bali, Bujangga Manik menumpang kapal besar. Kapal itu berlayar dari Bali ke Balungbungan. Dalam perjalanan pulang itu, Bujangga Manik melewati rute sepanjang pantai selatan Jawa. Ia pun melalui Padangalun.

“Sebuah nama yang jelas mengingatkan pada Tawangalun, bandingkan bahasa Jawa padang yang berarti terang, terbuka, dan tawang, yang berarti terbuka, tidak terhalang,” jelas Noorduyn.

Kata sejarawan Jember Zainollah Ahmad lewat bukunya Tahta di Timur Jawa, penyebutan itu pun memperkuat dugaan kalau nama Tawangalun diambil dari nama tempat ia memerintah. “Atau mungkin sebaliknya,” kata dia.

Simpang Siur

Tawangalun kalau menurut de Graaf dan Pigeaud adalah tokoh setengah legenda. Ia diperkirakan hidup pada abad ke-17. Pada masanya Kerajaan Blambangan dipercaya mencapai era kedamaian dan kejayaan.

Sayangnya, kata Margana, tak banyak informasi yang ditemukan dalam arsip-arsip Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) soal kondisi Blambangan pada masa Tawangalun. Kecuali tahun-tahun terakhir pemerintahannya, yakni tepat sebelum kematiannya pada 1691.

Untungnya sedikit manuskrip lokal, yang disusun setengah abad setelah kematiannya, masih tetap tersimpan dengan baik. Dapat dilihat pada Babad Blambangan.

Babad Blambangan bukanlah satu manuskrip utuh, melainkan tersusun dari beberapa babad yang ditulis pada tahun berbeda-beda. Di dalamnya terdiri dari Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Babad Mas Sepuh, Babad Bayu, dan Babad Notodiningratan. Aksara yang dipakai adalah aksara Jawa, Bali, Pegon, dan Latin.

“Seperti dalam babad Jawa lainnya, perhatian utama penyusun adalah mencatat peristiwa politik dan informasi silsilah tentang dinasti yang berkuasa,” jelas Margana.

Dalam Babad Blambangan, nama Tawangalun memiliki urutan silsilah yang tak sama antara sumber yang satu dan lainnya. Tidak sinkronnya penyebutan nama-nama penguasa di Blambangan dan peristiwa yang terjadi membuat penyusunan silsilah menjadi semakin sulit.

Baca juga: Menak Jingga yang Ganteng

Dalam penelusuran Zainollah Ahmad, Tawangalun disebut sebagai anak Minak Lumpat atau Sunan Rebut Payung. Keratonnya di Lamajang dan Kedawung. Di atas Minak Lumpat, secara berurutan dalam silsilah, ada Minak Lampor, Minak Gadru, dan Boma Koncar. Yang teratas adalah Lembu Miruda atau Panembahan Brahma (Bromo).

Disebutkan pula ada dua Tawangalun, I dan II. Ada Pangeran Kedhawung dan Mas Kembar yang disebut Tawangalun I. Lalu Minak Sumendhi disebut Susuhunan Tawangalun II.

“Dalam hal ini posisi silsilah Tawangalun sama dengan yang disebutkan dalam Babad Sembar,” katanya.

Sementara berdasarkan versi Babad Tawang Alun, Tawangalun disebutkan sebagai anak dari Tanpa Una (Pangeran Kedhawung I) atau Ki Mas Kembar. Menurut versi ini hanya ada satu Tawangalun, yaitu yang disebut dengan Pangeran Kedhawung II. Sementara Mas Wila (adik Tawangalun) dikenal pula sebagai Pangeran Kedhawung III.

Saat menjadi raja, Tawangalun memiliki nama Susuhunan Macan Putih dan Mas Sanepa. Mas Sanepa inilah yang kemudian memerintah Keraton Macan Putih. Gelarnya Susuhunan Gusti Prabu Tawangalun.

“Padahal gelar ini biasanya dipakai oleh raja atau wali dalam tradisi Islam. Sementara Tawangalun menganut ajaran Hindu,” kata Zainollah.

Babad Tawang Alun dibuat pada 1832-1841. Ditulis pada masa Suranegara menjadi bupati di Surabaya. Namun keterangan lain, yaitu menurut Winarsih Arifin dalam Babad Blambangan, menyebut kalau Babad Tawang Alun dibuat antara 1826-1827. Ditulisnya di Banyuwangi.

Masa Kejayaan

Sebagaimana dijelaskan dalam Babad Tawang Alun, daerah asal Tawangalun adalah Kedawung. Moyangnya adalah Ki Mas Tanpa Una.

Ki Mas Tanpa Una pun bergelar Pangeran Kedawung. Pemerintahan Ki Mas Tanpa Una berlangsung sekira 1651-1665. Ia bergelar Pangeran Kedawung dengan pusat pemerintahan di Kedawung. Menurut Zainollah, kini letaknya masuk wilayah Jember.

Menurut Babad Tawang Alun, dari tahun ke tahun kekuasaan Ki Mas Tanpa Una, kehidupan rakyat membaik. Muncul kemudian generasi dari Pangeran Kedawung dengan putra sulungnya Raden Mas Tawangalun (1665-1691), Mas Wils, Mas Ayu Tanjung Sekar, Mas Ayu Melok, dan Mas Ayu Gringsing Retna.

Ketika Ki Mas Tanpa Una wafat, Tawangalun sang Putra Mahkota menggantiakannya sebagai penguasa Blambangan di Kedawung. Saudaranya yang termuda, Mas Wils, diberinya jabatan sebagai patih.

Namun empat tahun berikutnya, ia berontak terhadap kakaknya. Tawangalun pun lari dari istana dan mengungsi ke Bayu. Tempat yang kata Margana, 100 tahun kemudian menjadi markas para pemberontak Blambangan, Rempeg atau Jagapati. Di sana Tawangalun membangun sebuah keraton baru dan mendapatkan dukungan dari rakyat Blambangan.

Baca juga: Perlawanan Jagapati sebagai Hari Jadi Banyuwangi

Namun, gangguan dari adiknya tak berhenti. Enam tahun kemudian, Mas Wils membawa pasukan menyerang dan mengepung Bayu. Buntutnya, Mas Wils yang harus tewas.

Pusat pemerintahan pun dipindahkan kembali. Kali ini ke Macan Putih.

Sejak itu, Blambangan kian maju pesat. Kekuasaannya menyatu hingga Lumajang. Tawangalun pun menguasai seluruh Kerajaan Blambangan.

Sejak abad ke-16 pengaruh eksternal di kekuasaan Blambangan semakin kuat. Hingga pada akhir abad itu, kata Sri Margana, Blambangan jatuh ke dalam kekuasaan Raja Bali Gelgel. C. Lekkerkerker pun meyakini bahwa setelah tahun 1600, raja-raja Blambangan memiliki darah Bali.

Pada waktu yang bersamaan, Kesultanan Mataram mulai menunjukkan kekuatannya di Jawa Timur. Pada 1625, Sultan Agung (1613-1646) mengirim ekspedisi militer ke Blambangan. 20.000 hingga 30.000 prajurit dilibatkan.

Belum lagi VOC yang kemudian menancapkan pengaruhnya di Blambangan. Makin seringlah terjadi pergolakan perebutan takhta. Sepanjang 42 tahun, sejak 1655 sampai 1697, terjadi empat kali pemberontakan dan empat kali perpindahan ibukota.

“Kedudukan istana di Kedawung dipindahkan ke Bayu pada 1655, lalu ke Macan Putih dan akhirnya ke Kutha Lateng,” jelas Zainollah.

Kata dia, kuatnya pengaruh eksternal yang selalu mencampuri urusan suksesi Blambangan menyebabkan perang terus-menerus. Namun pada 1676, Tawangalun akhirnya memutuskan untuk membebaskan diri dari Mataram.

“Ia menghentikan pemberian upeti serta kunjungan tahunannya ke Mataram,” kata Margana.

Baca juga: Blambangan dan Kuasa di Ujung Timur Jawa

Dalam kisah, Tawangalun dikenal memiliki wawasan luas. Ia merupakan penganut Hindu yang taat. Kendati begitu, ia tak melarang komunitas Islam berkembang. Ia hanya berkeinginan kuat untuk membendung dominasi asing yang makin kuat.

Sepak terjang Tawangalun ini tercatat dalam arsip-arsip Belanda. Khususnya masa-masa terakhir kekuasaannya. Arsip Belanda misalnya mencatat prosesi pembakaran jenazah Prabu Tawangaun yang meninggal pada 1691. Proses ini juga direkam dalam Babad Blambangan.

Berdasarkan penuturan babad, setelah tubuh Tawangalun dikubur di belantara Plecutan pada 1691 atau 25 hari sejak kematiannya, mayatnya dikremasi dalam sebuah acara ritual pengorbanan diri (sati) secara besar-besaran. Disebutkan sebanyak 271 orang dari 400 istri Tawangalun ikut bela sati.

“Ia dikenal sebagai tokoh yang memiliki banyak istri, selir dan keturunannya yang kemudian tersebar,” kata Zainollah.

Dalam waktu relatif singkat, Kerajaan Blambangan di bawah Tawangalun mencapai puncak kejayaannya. “Tampaknya, tidak ada satu hal pun yang membuat nama Tawangalun ternoda dalam pandangan rakyat Blambangan,” jelas Margana. 

TAG

banyuwangi wisata

ARTIKEL TERKAIT

Kebiasaan Tidur Siang di Masa Lalu Panduan Kebiasaan Mandi untuk Wisatawan Asing Jaminan Keselamatan Rakyat saat Melakukan Perjalanan Kecak dari Sakral Jadi Profan Merekam Dua Sisi Pematangsiantar Hanandjoeddin dan Sejuta Pesona Pariwisata Belitung Awal Mula Pelesiran Lebaran ke Kebun Binatang Tari Kecak Mencoba Terus Menari Kala Pandemi Cerita di Balik Pembangunan TMII Wisata Sumatra Era Kolonial