Raja Blambangan, Menak Jingga, menolak mengakui kedaulatan Majapahit. Namun, ia ingin menikahi Ratu Majapahit, Kencanawungu. Sang ratu menolak dan mengirim Damarwulan untuk membunuhnya.
Damarwulan berhasil membunuh Menak Jingga. Kepalanya dipersembahkan kepada ratu. Setelah mereka menikah, sang ratu mengangkat Damarwulan ke singgasana.
Perang antara Menak Jingga dan Damarwulan dalam kisah Damarwulan itu mirip dengan salah satu episode kekacauan dalam sejarah Majapahit. Dalam Serat Pararaton, episode ini dicatat sebagai peristiwa paregreg.
J.L.A. Brandes, filolog berkebangsaan Belanda, dalam Verslag over een Babad Balambwangan, mengasosiasikan Menak Jingga dengan Bhre Wirabhumi. Anak selir (rabihaji) Hayam Wuruk ini tak berhak menggantikan ayahnya. Maka, ditunjuklah Kusumawarddhani dan suaminya, Wikramawarddhana, untuk naik ke singgasana.
Baca juga: Menak Jingga yang Ganteng
Wirabhumi diberi kekuasaan memerintah di wilayah timur kerajaan. Sementara Kusumawardhani mendapat bagian barat dan berkedudukan di pusat Majapahit.
Wirabhumi tidak menerima keputusan itu. Ia menentang pemerintahan saudari tirinya dan Wikramawardhana. Serat Pararaton mengisahkan Wikramawardhana atau Bhra Hyang Wisesa dari Kadaton Kulon, akhirnya mengalahkan Kadaton Wetan. Wirabhumi melarikan diri tapi tertangkap dan kepalanya dipenggal.
Meski baru dikenal pada abad ke-16 atau awal abad ke-17, yang kemudian menyebar dalam berbagai versi, riwayat Damarwulan dapat memantik pencarian awal mula keberadaan Kerajaan Blambangan di ujung timur Jawa. Kendati informasi tentang kerajaan ini lebih banyak tercampur dengan mitos dan legenda.
Cikal Bakal
Sejarawan Sri Margana dalam disertasinya, "Java’s Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c. 1763-1813", menyebut banyak sejarawan yang yakin tak lama setelah kejatuhan Tumapel (Singhasari) dan berdirinya Majapahit pada akhir abad ke-13 (1293), kerajaan baru didirikan di sebelah timur Jawa. Kerajaan ini memakai nama Blambangan.
"Pendiri kerajaan ini dan lokasi ibu kotanya yang tepat sangat sulit ditentukan," tulis Margana.
Meskipun demikian, pada awal Majapahit berdiri, wilayah ujung timur Jawa punya posisi yang spesial. Ini dimulai dari janji Kertarajasa Jayawardhana kepada Bupati Sumenep, Arya Wiraraja, untuk membagi dua kekuasaannya sebagaimana dikisahkan dalam Kidung Harsawijaya dan Serat Pararaton.
Pendiri Majapahit yang populer dengan nama Raden Wijaya itu membalas jasa kepada Wiraraja yang membantunya membangun Majapahit dan menumpas Jayakatwang dari Glang Glang. Janji itu baru lunas setelah pecah pertempuran dengan Ranggalawe pada 1295.
Baca juga: Asal Usul Raden Wijaya
Menurut Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, Wiraraja mendapat bagian kerajaan di sebelah timur, terus ke selatan sampai pantai yang memuat Tigang Juru. Sejak itu, ia berdiri sendiri sebagai raja di Lamajang dan tak lagi menghadap raja.
"Wiraraja kembali ke Lamajang Tigang Juru, karena janji Raden Wijaya akan membagi dua Pulau Jawa, mendapat anugerah daerah Lamajang Utara, selatan, dan Tigang Juru," catat Pararaton.
Berdasarkan perjanjian Wiraraja dan Wijaya, maka Lamajang dan Tigang Juru berada di bawah pemerintahan Wiraraja. Belakangan Lamajang menjadi basis perlawanan Nambi, yang menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya, adalah putra Wiraraja.
Nambi mengangkat senjata terhadap pemerintahan Jayanegara, pengganti Wijaya. Nambi dan pendukungnya ditumpas pada 1316. Setelah peristiwa Nambi, wilayah timur kerajaan kembali di bawah kendali Majapahit. Pada masa inilah diduga nama Blambangan mulai dikenal. Muncul sebuah prasasti yang diduga menyebut nama lama Blambangan.
"Menyapu bersih pemberontakan di Marlambangan," catat prasasti itu berdasarkan terjemahan Mohammad Yamin dalam Tatanegara Madjapahit Parwa II.
Dalam prasasti yang diperkirakan ditulis pada masa Jayanegara itu disebutkan Marlambangan, yang diterjemahkan menjadi Blambangan, dianugerahi status sima. Alasannya karena berbakti membantu tegaknya kedudukan raja di singgasana.
Sementara itu, menurut sejarawan Jember, Zainollah Ahmad dalam Tahta di Timur Jawa: Catatan Konflik dan Pergolakan pada Abad ke-13 sampai ke-16, prasasti ini dikeluarkan sehubungan dengan selesainya penumpasan pemberontakan Nambi.
Baca juga: Gugurnya Pahlawan Majapahit
Hal itu juga diisyaratkan dalam Nagarakrtagama. Dalam perjalanan kenegaraannya pada 1359, Hayam Wuruk mengunjungi Lamajang dan beberapa daerah di timur Jawa. Selain para pejabat Patukangan (Panarukan), tiga pejabat dari Bali, Balumbun, dan Madura, juga menghadap Hayam Wuruk. Zainollah mengaitkan Balumbun sebagai Blambangan.
Menurut Zainollah, wilayah Lamajang dan Tigang Juru tidak berkaitan secara historis dengan berdirinya Kedaton Wetan yang cikal bakalnya pada masa Hayam Wuruk. Meskipun memang ada kesamaan wilayah kekuasaan.
"Adalah penyesatan sejarah untuk mengidentikan Lamajang dan Tigang Juru yang didirikan Wiraraja dengan Kedaton Wetan di bawah Bhre Wirabhumi," kata Zainollah.
Wilayah Tigang Juru dimaknai berbeda-beda oleh para sejarawan. Zainollah menjelaskan wilayah Lamajang adalah batas barat. Sedangkan wilayah Tigang Juru adalah wilayah utara, timur, dan selatan yang berbatasan dengan Lamajang.
"Jadi wilayah Tigang Juru adalah wilayah yang sekarang meliputi wilayah Kabupaten Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi," jelas Zainollah. "Ini adalah wilayah yang akhirnya juga diklaim sebagai wilayah Kerajaan Blambangan."
Sementara itu, Hasan Djafar memperkirakan wilayah Wirabhumi terletak di ujung timur Majapahit, mencakup wilayah Lamajang dan Blambangan.
Lebih jauh Zainollah menyebut kekuasaan Wirabhumi meliputi Banger di Probolinggo, Panarukan di Situbondo, hingga jazirah Blambangan. Pusatnya di Lamajang.
"Wilayah Wirabhumi meliputi kawasan Lamajang dan Tigang Juru yang pernah ada di masa Arya Wiraraja," lanjutnya.
Kerajaan Blambangan yang muncul belakangan pada era Islam dan kolonial memiliki wilayah dari Lumajang (Gunung Bromo) sampai jazirah Blambangan sebagaimana diuraikan dalam Babad Blambangan.
Status Politik Blambangan
Jika wilayah kekuasaan Wirabhumi dianggap sebagai cikal bakal Kerajaan Blambangan, pada awalnya ia berstatus sebagai bawahan Majapahit. Walaupun agak ambigu jika menilik sumber Tiongkok.
Berita dari masa Dinasti Ming (1368-1643) mencatat pada 1403 Kaisar Ch’eng-tsu mengirim utusan ke Jawa, yaitu ke raja "bagian barat", Tu-ma-pan, juga ke raja "bagian timur", yakni Put-ling-ta-hah atau p’i-ling-da-ha.
Laksaman Cheng Ho kemudian memimpin armada ke Jawa. Setahun setelah tiba, ia menyaksikan dua raja Jawa saling berperang. Kerajaan di timur kalah dan dirusak. Waktu itu utusan Tiongkok berada di kerajaan bagian timur.
Arkeolog Hasan Djafar dalam Masa Akhir Majapahit Girindrawarddhana dan Masalahnya menyebut wilayah Wirabhumi atau yang disebut Kedaton Wetan dalam Pararaton sebagai negara daerah.
Epigraf Boechari pun melihat peperangan antara Kedaton Kulon dan Kedaton Wetan bukannya antara dua kerajaan yang berbeda.
Baca juga: Polemik Keruntuhan Majapahit
Dalam "A Preliminary Note on the Study of the Old-Javanese Civil Administration", termuat dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Boechari mengatakan bahwa wilayah kekuasaan Wirabhumi adalah salah satu daerah bagian Majapahit. Hal itu berdasarkan Kakawin Nagarakrtagama, Prasasti Waringin Pitu (1447), dan Prasasti Trowulan III (Pertengahan abad ke-15). Mereka yang memimpin dipanggil dengan gelar Bhra (Bhre) atau Bhatara. Bhre Wirabhumi salah satunya.
Masing-masing kepala daerah memiliki hak otonomi. "Contohnya Bhre Wirabhumi yang mendapat wilayah di ujung timur Jawa, bisa mengirim utusannya sendiri ke Tiongkok. Karenanya, catatan Tiongkok pun mengira kalau ada dua kerajaan di Jawa Timur," kata Boechari.
Namun, seperti kata Zainollah, lahirnya Kedaton Wetan mengakibatkan Kerajaan Majapahit terbelah menjadi dua faksi politik. "Keluarga yang tidak puas, jelas mengambil kesempatan untuk melepaskan diri dengan mendukung Kedaton Wetan," jelasnya.
Selepas Wirabhumi
Wirabhumi dari Kedaton Timur yang menentang Majapahit akhirnya tewas. Namun, kata Hasan Djafar, konflik keluarga itu bukannya reda. Sayangnya, bahkan Serat Pararaton tak memberi banyak petunjuk mengenai nasib Blambangan setelah kematian Bhre Wirabumi pada 1406.
Sementara itu, Babad Blambangan menyebut setelah kematian Menak Jingga, Raja Brawijaya di Majapahit, menunjuk Menak Dadaliputih, anak Menak Jingga, sebagai penguasa baru Blambangan.
Menurut Zainollah, ada yang menafsirkan Menak Dadaliputih adalah Bhre Pakembangan, salah satu anak Wirabhumi. Namun, Menak Dadaliputih juga dibunuh raja. Sang raja mengetahui penguasa baru Blambangan itu telah mencuri pusaka Majapahit yang terkenal, keris Kyai Semelagandring.
"Menak Dadaliputih ini adalah putra Bhre Wirabhumi yang oleh raja Majapahit diberi haknya kembali, tapi kemudian tewas dalam peperangan melawan Majapahit," kata Zainollah.
Baca juga: Penyebab Lain Keruntuhan Majapahit
Kalaupun ini menjadi petunjuk, susah pula dipahami. Sang penulis babad tiba-tiba melompat menuju peristiwa yang terjadi satu setengah abad berikutnya di Blambangan.
Ditambah lagi dalam salah satu bagian Babad Blambangan, yakni Babad Sembar dikisahkan versi yang sangat berbeda mengenai dinasti penguasa Blambangan. Menurut babad ini, Lembu Miruda, anak Brawijaya, adalah raja pertama Blambangan.
Menurut Margana dalam disertasinya, penulis babad seolah menyatakan, setelah pembunuhan Menak Dadaliputih, penguasa Majapahit memilih untuk tidak mengangkat seorang penguasa baru di Blambangan dari dinasti Bhre Wirabumi yang pemberontak. Namun anaknya, Lembu Miruda yang ditunjuk menempati jabatan itu.
"Dengan kata lain, penulis Babad Sembar melacak dinasti penguasa Blambangan hanya dari garis Raja Brawijaya yang secara genealogis bersambung dengan para penguasa Blambangan abad ke-18," tulis Margana.
Baca juga: Blambangan Tak Lagi Antah Berantah
Dalam perkembangannya sejarah Blambangan tak pernah sepi dari konflik dan peperangan. Terutama pada abad ke-16, ketika wilayah itu berada di antara dua faksi politik yang berbeda antara Mataram Islam di barat dan Bali di timur. Di tambah lagi pada abad ke-17, kedatangan Belanda dan Inggris ikut mengadu kekuatan politik dan ekonomi di kawasan itu.
Margana mengatakan Kerajaan Blambangan memiliki sejarah panjangnya sendiri. Ia telah berkembang bersamaan dengan kerajaan Hindu terbesar di Jawa, Majapahit.
"Pada masa keruntuhan Majapahit abad ke-15, ia berdiri sebagai satu-satunya kerajaan Hindu di Jawa, mengontrol bagian terbesar wilayah ujung timur Jawa," tulis Margana.