Masuk Daftar
My Getplus

Jabatan untuk yang Berjasa

Para penguasa Jawa kuno memberi jabatan kepada mereka yang membantunya naik ke singgasana. Namun, kemudian ada yang memberontak.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 26 Okt 2019
Candi Surawana di Pare, Kediri dari masa Majapahit. Relief ini tentang Arjunawiwaha yang kisahnya diciptakan Mpu Kanwa dari masa Airlangga. Ia kemungkinan menyesuaikan kisah ini dengan tujuan menggambarkan kehidupan Airlangga ketika mengasingkan diri ke hutan bersama abdi setianya, Narottama. (Risa Herdahita Putri/Historia)

Pada masa Jawa kuno, penguasa membagi-bagikan jatah kekuasaan adalah hal lumrah. Inilah cara mengganjar mereka yang berjasa mengantarkan dan mempertahankan singgasana kekuasaan.

Ninie Sunsati, arkeolog Universitas Indonesia dalam Airlangga Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI menjelaskan, raja berada di puncak hierarki pelapisan sosial. Sebagai balas jasa, seorang raja berhak memberikan hak khusus atau istimewa kepada seseorang atau sekelompok orang.

Data prasasti membuktikan daftar hak istimewa sudah ada sejak masa Mpu Sindok, penerus takhta Medang di wilayah Jawa Timur. Catatannya bahkan semakin panjang pada masa Kadiri dan Majapahit.  

Advertising
Advertising

Lumrahnya anugerah raja berupa hak-hak istimewa, seperti kepemilikan jenis budak tertentu, mendapat status sima, memiliki dayang, dan pengikut seperti raja. Pada perkembangan selanjutnya, hak istimewa dapat berupa gelar kehormatan, hak memakai atribut tertentu, dan hak untuk memiliki model bangunan tertentu.

“Kebiasaan menganugerahi hak-hak istimewa ini dianut dan menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh raja-raja Janggala, Kadiri, dan berlanjut hingga zaman Majapahit,” jelas Ninie.

Baca juga: Raja Sebagai Penjelmaan Dewa

Hal itu nampak paling tidak sejak masa Airlangga, raja di Kahuripan. Tercatat dalam Prasasti Terep (1032), sang raja memberi anugerah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong, seorang bangsawan daerah yang berjasa membantu raja dalam peperangan melawan musuh. Dia terus berdoa kepada Bhatari memohon kemenangan bagi Airlangga.

Raja pun memberinya hadiah gelar halu, gelar tertinggi dalam struktur pemerintahan di bawah putra mahkota. Dengan gelar itu, ia dianggap sebagai adik raja.

Gelar Rakai Halu biasanya dijabat oleh putra kedua raja atau garis keturunan kedua yang berhak menerima takhta. “Ia mendapat segala hak sebagai adik raja. Namanya menjadi Rakai Halu Dyah Tumambong Mapanji Tumanggala,” jelas Ninie.

Seorang lagi yang mendapat hak istimewa adalah Narottama, pengikut setia Airlangga sejak sebelum naik takhta.

Baca juga: Hak dan Kewajiban Raja sebagai Titisan Dewa

Ceritanya, saat usia 16 tahun, Airlangga dikirim dari Bali ke Jawa untuk menikah dengan putri Dharmmawangsa Tguh, penguasa Medang keempat setelah Mpu Sindok. Namun, sebagaimana berita dalam Prasasti Pucangan (1041), tak lama setelah pesta perkawinan, ibu kota kerajaan diserbu raja bawahan bernama Wurawari. Istana pun hancur. Sang putri bersama Dharmawangsa Tguh gugur dalam peperangan itu.

Airlangga berhasil melarikan diri dengan ditemani abdi setianya, Narottama. Dua tahun sejak kematian Dharmawangsa Tguh, yaitu pada 1019, berdasarkan prasasti yang sama Airlangga pun naik takhta.

Sejak 1030, Narottama disebut dalam Prasasti Baru sebagai pejabat tinggi kerajaan yang melaksanakan perintah raja. Gelarnya Rakai Kanuruhan. Dua tahun kemudian, dalam Prasasti Terep, Narottama naik pangkat menjadi penerima perintah raja yang menggantikan kedudukan putra mahkota.

Baca juga: Berbagi Kekuasaan dengan Lawan

Tiga tahun kemudian, dalam Prasasti Turunhyang A, Narottama kembali menerima kedudukan sebagai pejabat pelaksana perintah raja. Dari gelarnya, Rakai Kanuruhan, bisa diketahui kalau ia adalah penguasa wilayah Kanuruhan.

“Tentu saja raja telah menghadiahkan watak Kanuruhan kepada Narottama,” kata Ninie.

Balas budi juga dilakukan oleh Ken Angrok setelah ia berhasil duduk di takhta Tumapel (Singhasari). Pararaton berkisah, Ken Angrok membantu semua orang yang pernah menolongnya dulu ketika masih dirundung malang. Yang terpenting adalah Bango Samparan, ayah angkat yang mengurusnya. Lalu ada pendeta di Turyantapada, Mpu Palot yang membagi Ken Angrok keahlian pengrajin emas.

Bahkan Ken Angrok membantu anak-anak Mpu Gandring, pandai besi di Lulumbang yang dia bunuh. “Seratus orang pandai besi di Lulumbang supaya dibebaskan dari saarik purih, satampaking waluku, dan wadung pacul,” catat Pararaton.

Suwardono, mantan pengajar sejarah di IKIP Budi Utomo Malang, dalam Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha menafsirkan istilah-istilah itu sebagai pembebasan pajak. Mereka diberi hak istimewa dengan mendapat daerah perdikan (sima).

Baca juga: Kudeta Ken Angrok

Ada pula Kebo Hijo yang mati setelah difitnah membunuh Tunggul Ametung oleh Ken Angrok. Anak-anaknya disamakan haknya dengan anak-anak Mpu Gandring. “Ketika Ken Angrok menjadi raja, banyak orang yang pernah menolongnya dibalas jasanya oleh Ken Angrok. Mereka diberi kedudukan di dalam pemerintahannya,” tulis Suwardono.

Imbal jasa yang paling nampak mungkin yang dilakukan oleh Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Para pengikut Sang Kertarajasa yang setia dan andil dalam mendirikan kerajaan diberikan kesempatan untuk menikmati hasil perjuangannya. Mereka diangkat menjadi pejabat tinggi dalam kerajaan.

Sebagian nama pengikut Kertarajasa itu dijumpai dalam beberapa prasasti. Prasasti Kudadu (1294 M) menyebut Arya Wiraraja sebagai mantri mahawiradikara. Wiraraja menerima Wijaya dengan baik di Madura ketika ia melarikan diri dari istana Singhasari yang diserang pasukan Jayakatwang dari Glang Glang. Bupati Wiraraja pula, bersama masyarakat Madura, yang membantu Wijaya membuka hutan dan membangun permukiman di wilayah Trik. Desa itu kemudian berkembang menjadi Kerajaan Majapahit.

Baca juga: Pemberontakan Terhadap Majapahit

Prasasti Sukamrta (1296 M) menyebut Mpu Tambi (Nambi) sebagai rakryan mapatih dan Mpu Sora sebagai rakryan apatih di Daha. Dalam hierarki Majapahit, Nambi memperoleh kedudukan yang tinggi sedangkan Sora mendapat tempat kedua.

Teks Panji Wijayakrama menunjukkan betapa hubungan Mpu Sora atau Lembu Sora dan Wijaya tak terpisahkan. Terutama sejak pertempuran mereka melawan serbuan pasukan Jayakatwang ke Singhasari.

Dalam berbagai kesempatan, Lembu Sora selalu memberikan nasihat bijak kepada Wijaya. Serangan balik malam hari terhadap tentara Glang Glang yang menduduki Singhasari juga atas saran Lembu Sora. Dalam serangan itu, Wijaya menewaskan banyak musuh dan menemukan kembali putri Kertanagara, Tribuwana.

Lembu Sora juga yang menahan Wijaya ketika berkeras ingin membebaskan Gayatri, putri Kertanagara lainnya yang masih tertinggal dalam pura. Dia menasihati agar Wijaya dan Tribuwana menyelamatkan diri. Jumlah tentara musuh jauh lebih besar daripada sisa tentara Singhasari. Pun ketika mereka memutuskan mengungsi ke Madura Timur untuk minta bantuan Wiraraja.

Baca juga: Gugurnya Pahlawan Majapahit

Menurut Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan, Lembu Sora selalu menunjukkan keperwiraan dan kebijaksanaan, baik dalam persiapan mendirikan Majapahit maupun dalam melawan Jayakatwang dan pasukan Mongol.

“Berdasarkan hal-hal itu, sudah selayaknya Sora menjadi kekasih Raja Kertarajasa dan menduduki tempat terhormat dalam pemerintahan,” tulis Slamet Muljana.

Sementara Nambi, baik Pararaton maupun Kidung Panji Wijayakrama mengisahkannya sebagai pengikut setia Wijaya yang ikut mengungsi ke Madura. Pararaton mencatat, ia dan Wijaya telah bersahabat sejak keduanya masih tinggal di Singhasari. Dalam berbagai medan perjuangan, Nambi diceritakan sebagai tokoh yang intelek dan memiliki kecerdikan administrasi.

Baca juga: Fitnah Sebabkan Kematian Patih Pertama Majapahit

Sumber lain, Kidung Ranggalawe, menyebut Wenang atau Lawe, putra Wiraraja, sebagai amanca nagara di Tuban dan adhipati di Datara. Ia diangkat karena ikut membantu Wijaya membangun Majapahit. Ia gagah berani. Sebagai orang Madura, ia digambarkan jago siasat perang, lincah di pertempuran, dan piawai menggunakan senjata. Siasatnya terlihat pula sewaktu mengusir tentara Tartar (Mongol).

Adapun tokoh yang pernah memimpin pasukan Singhasari ke Malayu dijadikan panglima perang. Ia mendapat nama Kebo Anabrang.

Belakangan, para pengikut setia Wijaya itu, satu per satu memberontak kepada Majapahit. Alasannya macam-macam.

Baca juga: Ranggalawe Melawan Majapahit

Yang pertama memberontak adalah Ranggalawe. Ia tak terima hanya dianggap sebagai adipati Tuban. Dia merasa dirinya atau Lembu Sora lebih pantas menjadi patih amangkubhumi dibanding Nambi yang dipilih Wijaya.

“Andaikata saya dan Sora tidak berani bertaruh jiwa saat menghadapi tentara Tartar, Majapahit pasti sudah hancur lebur,” kata Ranggalawe dalam Kidung Ranggalawe yang anonim.

Kemudian Lembu Sora memberontak karena difitnah Mahapati, menteri di pemerintahan Wilwatikta (Majapahit). Namanya disebut dalam Kidung Sorandaka dan Serat Pararaton.

Baca juga: Dalang Pemberontakan Terhadap Majapahit

Setelah Lembu Sora, Mahapati memfitnah Nambi. Pemberontakannya terjadi ketika Majapahit di bawah Raja Jayanagara, putra Wijaya. Dia mencurigai para pengikut ayahnya tak setia. Ditambah lagi fitnah Mahapati, maka pecahlah pemberontakan.

Dari apa yang terjadi pada masa Wijaya terlihat bahwa ganjaran kursi jabatan bagi pendukung setia tak cukup membuat mereka tetap ajeg di samping penguasa. Pemberontakan bisa saja terjadi.

TAG

singhasari majapahit

ARTIKEL TERKAIT

Cerita Dua Arca Ganesha di Pameran Repatriasi Cerita di Balik Repatriasi Arca Brahma Jalan Panjang Arca Bhairawa dan Arca Nandi Pulang ke Indonesia Ketika Rahib Katolik Bertamu ke Majapahit Jejak Kejayaan Raja-raja Jawa Semerbak Aroma Sejarah Pencegah Bau Ketiak Raja-Raja Jawa dalam Lintasan Masa Prasasti Damalung Wajib Dipulangkan, Begini Kata Arkeolog Sihir Api Petir dari Meriam Majapahit Epos Majapahit Lebih Seru dari Game of Thrones