Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Gerindra Edhy Prabowo masuk dalam Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Edhy sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Padahal Prabowo dan partainya merupakan rival Jokowi dalam Pilpres 2019.
Drama rekonsiliasi antara lawan tanding politik semacam itu pernah terjadi pada era Kerajaan Singhasari. Saling rebut kursi pimpinan hingga saling tikam selama beberapa generasi akhirnya reda lewat jalan berbagi kekuasaan antara dua cabang keturunan Ken Dedes. Itu ketika Wisnuwarddhana, keturunan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung naik takhta. Ia memilih memerintah bersama sepupunya, Narasinghamurti, keturunan Ken Dedes dengan Ken Angrok.
Serat Pararaton menceritakan kisah itu dimulai dari kiprah seorang anak Desa Pangkur bernama Ken Angrok. Ia membunuh Tunggul Ametung, akuwu Tumapel yang berada di bawah Kerajaan Kadiri. Angrok menggantikan kedudukannya sebagai akuwu sekaligus memperistri jandanya, Ken Dedes.
Karier politik Ken Angrok makin naik setelah mengalahkan Dandang Gendis, Raja Kertajaya dari Kadiri pada 1222. Ia pun menjadi raja yang berkedudukan di Tumapel dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
Menurut Suwardono, mantan pengajar sejarah di IKIP Budi Utomo Malang, sejak masa Tunggul Ametung, Tumapel berfungsi sebagai kuwu (perumahan). Ia berkembang pesat hingga menjadi sebuah kerajaan pada masa Ken Angrok.
Baca juga: Melacak Jejak Ken Angrok
Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, mengatakan setelah Kadiri diduduki Ken Angrok, kondisi keluarga kerajaan menjadi rumit. Paling tidak ada tiga faksi yang sedang berebut ingin naik kursi pimpinan.
Selain Ken Dedes, Ken Angrok kemudian memperistri Ken Umang. Ken Dedes telah hamil seorang putra dari Tunggul Ametung ketika dinikahi Ken Angrok. Anaknya dipanggil Anusapati. Dari Ken Dedes, Ken Angrok memperoleh putra bernama Mahisa Wong Ateleng. Sementara dari Ken Umang, Ken Angrok mempunyai putra bernama Tohjaya.
“Kan masih ada mantan pejabat atau keturnanannya Dandang Gendis. Ini satu faksi. Di tubuh keluarga Ken Angrok paling tidak ada tiga, trah Ken Angrok-Ken Dedes, Ken Angrok-Ken Umang, Ken Dedes-Tunggul Ametung,” kata Dwi.
Perpecahan itu, kata Dwi, makin mencuat setelah Ken Angrok mati. Berdasarkan Prasasti Mulamalurung, keturunan Ken Angrok beruntun menjadi raja Kadiri sesudah matinya Dandang Gendis. Mereka adalah Bhatara Parameswara (Mahisa Wong Ateleng), Gunung Bhaya (Agni Bhaya), dan Tohjaya.
Baca juga: Akar Perlawanan Ken Angrok
Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama menyebutkan penobatan Mahisa Wong Ateleng sebagai penguasa di Kadiri membuat iri Anusapati. Karena merasa anak sulung, Anusapati punya hak menduduki takhta.
“Ibu, saya bertanya, apa sebab ayahanda kalau melihat kepadaku, berbeda tampaknya dengan saudara-saudara saya semua, apa lagi dengan putera ibu muda (Tohjaya, red.), semakin berbeda pandangan ayah,” tanya Anusapati suatu hari pada Ken Dedes.
Anusapati akhirnya tahu kalau bukan anak kandung Ken Angrok. Ia pun membunuhnya untuk membalas dendam kematian ayah kandungnya, Tunggul Ametung.
Di luar persoalan dendam, menurut Slamet Muljana, ada latar belakang politik di balik pertanyaan Anusapati. Pertanyaan itu harus ditafsirkan: “mengapa bukan saya, melainkan adik saya Mahisa Wong Ateleng yang dinobatkan sebagai raja Kadiri.”
Setelah kematian Ken Angrok, Anusapati dinobatkan menjadi penggantinya di Tumapel. Dari sana, kekuasaan pun terbelah dua: Kadiri di bawah Mahisa Wong Ateleng dan Tumapel di bawah Anusapati.
Sementara Prasasti Mulamalurung tak menyinggung nama Anusapati. Karenanya, Slamet Muljana menjamin, tokoh itu tak dibunuh Tohjaya dengan Keris Gandring sebagaimana cerita Pararaton.
Baca juga: Kudeta Ken Angrok
Kalaupun keterangan di Pararaton ada benarnya, yang ditikam keris oleh Tohjaya bukan Anusapati. Tapi Guning Bhaya yang memerintah di Kadiri menggantikan kakaknya, Mahisa Wong Ateleng. Pembunuhan itu pun bukan karena balas dendam. Namun, lebih kepada ingin merebut kekuasaan. Pasalnya, dalam Prasasti Mulamalurung disebut Tohjaya adalah pengganti Raja Guning Bhaya di takhta Kadiri.
“Tohjaya punya anggapan dia memiliki hak yang sama seperti saudara-saudaranya. Hanya saja, menurut Pararaton, dia dilahirkan dari selir, Ken Umang,” tulis Slamet Muljana.
Kendati berhasil menduduki Kadiri, Tohjaya memerintah tanpa rasa tenang. Dia selalu curiga kepada keponakan-keponakan tirinya, putra Anusapati yang bernama Mapanji Sminingrat dan putra Mahisa Wong Ateleng yang bernama Mahisa Campaka atau Narajaya. Prasangka buruknya terbukti karena kedua ponakan tirinya itu kemudian menyingkirkannya.
Sepeninggal Tohjaya, Mapanji Sminingrat menjadi raja dan digelari nama Wisnuwarddhana. Sementara Narajaya dimahkotai sebagai Ratu Angabhaya bergelar Narasinghamurtti.
“Keduanya pun memerintah bersama laksana Wisnu dan Indra, bagaikan dua ekor ular dalam satu lubang,” catat Pararaton.
Baca juga: Di Balik Kutukan Keris Mpu Gandring
Menurut Suwardhono dalam Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha, keputusan itu dibuat karena Wisnuwardhana tak ingin memisahkan lagi kekuasaan Kadiri dan Tumapel seperti yang pernah dilakukan oleh kakeknya, Sri Rajasa. Tak cukup di situ, kakak tertua Mahisa Campaka, yaitu Nararya Waningyun yang menjadi putri mahkota Kerajaan Kadiri, ia jadikan permaisuri.
“Bersatu kembalilah Kadiri dan Tumapel,” tulis Suwardhono.
Prasasti Mulamalurung juga menyebut saat itu administrasi pemerintahan dibagi ke dalam delapan nagari. Masing-masing anggota keluarga mendapat kekuasaan sebagai vasal.
“Dikokohkan secara birokrasi militer. Ini politik berbagi kekuasaan agar benturan politik bisa diminimalkan,” kata Dwi.
Baca juga: Kembalinya Trah Ken Angrok di Periode Akhir Majapahit
Langkah Wisnuwardhana itu kemudian dikenang oleh putranya, Raja Kertanegara. Ia mencatat kembali peristiwa pembagian Kerajaan Janggala dan Panjalu yang pernah dipisah oleh Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan. Perpecahan yang pernah terjadi sejak itu, menurutnya telah disatukan kembali berkat ayahnya.
“Sebagaimana tertulis dalam Prasasti Wurara, di atas lapik arca Buddha Aksobhya sebagai tumbal magis di daerah Wurara, bekas pertapaan Pu Bharada. Tujuannya agar tak ada pemisahan lagi,” kata Suwardhono.
Pilihan Wisnuwardhana berbagi kekuasaan dengan lawan politiknya agaknya berhasil menjadi pondasi bagi keemasan Singhasari pada masa berikutnya. Tapi itu dulu. Bagaimana dengan sekarang, akankah Indonesia maju dengan memberikan kekuasaan kepada lawan?