Masuk Daftar
My Getplus

Fitnah Sebabkan Kematian Patih Pertama Majapahit

Pemberontakan terhadap Majapahit muncul karena ketidakpuasan terhadap rajanya.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 25 Jul 2018
Situs Biting, benteng dan permukiman era Majapahit di Lumajang.

PRABU Jayanagara pergi ke Lumajang menyirnakan musuh. Nambi dan sanak saudaranya dibinasakan. Benteng di Pajarakan diduduki. Begitu uraian dalam Nagarakrtagama pupuh 48/2 soal peristiwa yang terjadi pada 1238 saka (1316 M). Peristiwa itu disebut pemberontakan Nambi. Tahunnya tak ada perbedaan antara keterangan Nagarakrtagama dan Serat Pararaton.

Pemberontakan Nambi dijabarkan panjang lebar dalam Pararaton dan Kidung Sorandaka. Menurut Pararaton, Nambi adalah putra Wiraraja. Sementara Kidung Sorandaka menyebutnya putra Pranaraja. Prasasti Kudadu meyebut Pranaraja, Nayapati, dan Aria Wiraraja sebagai makapramuka atau pemuka. 

Menurut Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, baik Pranaraja maupun Wiraraja merupakan menteri pakirakiran dalam pemerintahan Kertarajasa (Wijaya). “Pranaraja adalah ayah Nambi. Sedangkan Wiraraja, ayah Ranggalawe,” tulis Slamet. 

Advertising
Advertising

Sebelum huru hara itu terjadi, Nambi menjadi orang dekat Wijaya sejak pemerintahan Raja Kertanagara di Singhasari. Dia setia mengiringi Wijaya ketika Singashari diserang Jayakatwang. 

Ketika Wijaya naik takhta Majapahit, Nambi diangkat sebagai patih amangkubhumi. Prasasti Sukamrta (1296 M) menyebutnya sebagai rakryan mapatih. Dia pun menjadi orang pertama menduduki jabatan itu yang kemudian akan diduduki Gajah Mada.

Pemberontakan

Kidung Sorandaka dan Pararaton menyimpulkan pemberontakan Nambi akibat fitnah dari Mahapati yang menginginkan kedudukan patih amangkubhumi. Dia juga yang menyebabkan pemberontakan Lembu Sora, 16 tahun sebelumnya pada era Wijaya. 

“Mahapati juga punya andil. Nambi bahkan menjadi sasaran utama dalam siasat yang dia (Mahapati, red.) himpun,” tulis Slamet.

Suatu hari Mahapati memberi tahu Nambi bahwa Sang Prabu tak senang kepadanya. Mahapati menyarankan agar Nambi meninggalkan Majapahit untuk sementara waktu. Kebetulan, Nambi mendengar ayahnya, Pranaraja, sakit keras. Sang Prabu mengizinkannya pulang ke Pajarakan.

Namun, tak lama kemudian ayahnya meninggal. Sang Prabu mengirim utusan ke rumah Nambi. Salah satu utusannya adalah Mahapati. Selama di rumah Nambi, Mahapati mempengaruhinya. Nambi pun termakan hasutan Mahapati. 

Lewat Mahapati, Nambi minta izin memperpanjang cutinya. Namun, Mahapati melaporkan kepada Sang Prabu bahwa Nambi tak akan kembali ke Majapahit dan membangun benteng pertahanan serta menyiapkan pasukan. 

Mahapati juga mengatakan para menteri yang melayat sebenarnya punya maksud bersekutu dengan Nambi. Sang Prabu murka dan bermaksud memecat para menteri yang pergi tanpa izin itu. 

Di antara para menteri itu, seperti Semi, Lasem, dan Panji Samara, juga muncul ketika pemberontakan Ranggalawe dan Lembu Sora.

“Rupanya mereka orang-orang daerah Lumajang,” tulis Slamet. 

Sementara Wiraraja, setelah diangkat sebagai penguasa Lumajang di era Wijaya, tak pernah lagi datang ke keraton. Dia bersekutu dengan Nambi menentang raja Majapahit karena kematian putranya, Ranggalawe.

Sang Prabu pun harus berhadapan dengan Nambi dan orang-orangnya, Wiraraja dan pengikutnya, serta para menteri yang memihak Nambi.

Namun, Mapatih meyakinkan raja agar menaklukkan mereka dengan senjata. Dia punya strategi yaitu menyerang lebih dulu benteng Pajarakan, kemudian Gading, dan terakhir mengepung Lumajang. Siasat itu berhasil memadamkan pemberontakan. Nambi mati disambar anak panah yang dilepaskan Sang Prabu. Jalan pun terbuka bagi Mapatih untuk mencapai tujuannya.

Kendati begitu, selain sumber teks mengenai peran Mapatih, kondisi pemerintahan juga perlu dilihat. Sebagaimana disebut Nagarakrtagama dan Pararaton, pemberontakan Nambi terjadi ketika Wijaya sudah tak berkuasa. Singgasana Majapahit telah diduduki putranya, Jayanagara, yang dijuluki Kala Gemet oleh rakyat atau pengarang Kidung Ranggalawe dan Pararaton.

Menurut Slamet, kata Kala yang artinya penjahat mengandung maksud antipati rakyat atau pengarang itu terhadap Jayanagara. Dengan demikian, kemungkinan pemberontakan muncul karena rakyat tidak puas kepada pemimpinnya. “Rentetan pemberontakan di bawah pemerintahan Jayanagara perlu diselidiki sebabnya,” tulis Slamet.

Baca juga: 

Pemberontakan Terhadap Majapahit
Ranggalawe Melawan Majapahit
Benarkah Gajah Mada Dalang Pembunuhan Raja Jayanagara?

TAG

Pemberontakan Majapahit Nambi Mahapati Jayanagara Wijaya

ARTIKEL TERKAIT

Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Serdadu Württemburg Berontak di Semarang Maddasim Dibacok Polisi Selamatkan Negarakertagama dari Aksi KNIL Kekecewaan Pasukan Pembela Keadilan Pemberontakan yang Gagal di Akhir Tahun Mengatur Orang Asing di Jawa Kuno Ketika Kapal Selam RI Diintai Armada VII AS Sungai yang Membangun Peradaban di Sumatra Akulturasi Budaya dalam Naskah Pegon