Hampir semua anak sekolah pasti mengenal lagu Garuda Pancasila. Lagu bertempo mars itu juga tak pernah absen dari daftar lagu pada buku lagu wajib nasional. Namun, penciptanya, Sudharnoto, justru hampir dilupakan. Padahal, sepak terjangnya cukup panjang dalam sejarah musik dan kebudayaan Indonesia.
Sudharnoto lahir di Kendal, Jawa Tengah, pada 24 Oktober 1925. Meski lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ia justru berkarier di dunia musik. Pasalnya, ibunya pandai main akordeon sedangkan ayahnya gemar main gitar, seruling, dan biola meskipun juga seorang dokter pribadi Mangku Negara VII di Surakarta.
Menurut Hersri Setiawan dalam Kamus Gestok, Sudharnoto belajar piano, not balok dan aransemen pada Jos Cleber, penggubah lagu anak-anak Daldjono alias Pak Dal, dan Maladi (pendiri RRI dan mantan menteri). Ia juga belajar pada dua pemimpin orkes, yakni Soetedjo (Orkes ALRI) dan R.A.J. Soedjasmin (Orkes Angkatan Kepolisian RI).
Baca juga: Jos Cleber, Komponis Belanda Aransemen Indonesia Raya
Karier musiknya bermula dari mengisi siaran musik RRI bersama Orkes Hawaiian Indonesia Muda pimpinan Maladi. Kemudian sejak 1952 ia diangkat menjadi Kepala Seksi Musik RRI Jakarta. Ia juga menjadi pengisi acara khusus bertajuk “Hammond Organ Sudharnoto”.
Lagu Mars Pancasila atau kemudian menjadi Garuda Pancasila diciptakan pada 1956 bersama seorang rekan bernama Prahar. Selain Garuda Pancasila beberapa lagu Sudharnoto yang populer pada masanya antara lain Madju Sukarelawan, Asia Afrika Bersatu, dan Bangkit Wartawan AA.
Uniknya, Sudharnoto pernah memakai nama Damayanti untuk mengikuti sayembara penulisan lagu Mars Dharma Wanita dan ternyata menang. Sementara itu, lagunya Dari Barat Sampai ke Timur pernah diduga menjiplak Marsaillaise, lagu kebangsaan Perancis.
“Memang ada miripnya dengan Marsaillaise, lagu kebangsaan Prancis. Tapi apakah jiplakan dari Barat, apakah terpengaruh oleh Barat, itu tidak usah dipersoalkan. Lagu Dari Barat Sampai ke Timur nyata-nyata dapat membangkitkan semangat perjuangan, nyata-nyata dapat membangkitkan gairah revolusi. Itu yang penting,” ucap Sudharnoto dalam majalah Minggu Pagi, 3 Januari 1965.
Baca juga: Alkisah Cenderamata Lekra
Selain mencipta lagu, Sudharnoto juga melakukan penelitian musik ke berbagai daerah, antara lain Aceh, Sumatra Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Daerah yang sangat ingin ia kunjungi namun terhalang biaya adalah Papua.
Karier Sudharnoto kemudian merambah sebagai penata musik film. Djuara Sepatu Roda (1958) adalah film pertama yang ia tangani. Hingga 1965, ia menangani tata musik 13 film.
Sambil bermusik, Sudharnoto juga aktif dalam organisasi kebudayaan. Ia tercatat sebagai anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Bahkan, ia menjabat sebagai Ketua Lembaga Musik Indonesia (LMI).
Menurut Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dalam Lekra Tak Membakar Buku, Sudhanoto termasuk salah satu anggota awal sekaligus pengurus Lekra bersama A.S. Dharta, M.S. Ashar, Njoto, Henk Ngantung, Herman Arjuno, dan Joebaar Ajoeb.
Sudharnoto juga termasuk di antara para seniman yang memperkuat redaksi majalah kebudayaan Zaman Baru pimpinan Rivai Apin. Pada Desember 1959, bersama sejumlah seniman Lekra, Sudharnoto juga turut mengirim petisi pencabutan larangan terbit Harian Rakjat ke Istana Merdeka.
Baca juga: Buku Lagu Para Tapol
Salah satu kerja monumentalnya adalah mendirikan Ansambel Gembira. Ansambel tertua di Indonesia ini dibentuk pada 3 Februari 1952 oleh Sudharnoto bersama Titi Subronto dan Bintang Suradi. Ansambel Gembira cukup terkenal pada masanya. Grup ini seringkali mengisi resepsi-resepsi penting hingga acara di Istana Negara. Bahkan, mereka juga tampil di berbagai acara di luar negeri, seperti Tiongkok, Vietnam, Korea, dan negara-negara di Eropa Timur.
Kiprah terakhir Sudharnoto di Lekra diketahui ketika LMI menggelar Konferensi Nasional I di Jakarta pada 31 Oktober–5 November 1964. Ia terpilih sebagai ketua presidium.
“Sudharnoto menyatakan dengan tegas agar dengan irama Djarek, Resopim, dengan melodi Takem dan Gesuri, dengan harmoni Manipol yang diperkuat gubahan megah Tavip, seniman musik progresif mengganyang kebudayaan imperialisme Amerika Serikat, mengganyang Manikebu dan membina musik yang berkepribadian nasional,” tulis Rhoma dan Muhidin.
Kiprah Sudharnoto di Lekra terhenti pada 1965. Hersri menyebut pasca tragedi berdarah itu, ia dipecat dari RRI dan menjadi tahanan politik di Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba. Setelah keluar dari tahanan, ia menjadi penyalur es di Pabrik Es Petojo Jakarta dan menjadi sopir taksi.
Baca juga: Menelisik Sejarah Musik Ilustrasi Film di Indonesia
Beberapa tahun kemudian, Sudharnoto bisa membangun kembali karier musiknya. Menurut data filmindonesia.or.id, pada 1972 ia menjadi penata musik pada film Dalam Sinar Matanya. Sejak itu, ia menggarap tata musik 26 film.
Bahkan, Sudharnoto meraih Piala Citra untuk tata musik terbaik pada 1980 lewat film Kabut Sutra Ungu. Tahun berikutnya, ia menyabet penghargaan yang sama untuk film Dr. Siti Pertiwi Kembali ke Desa. Kemudian pada 1983, ia kembali meraih penghargaan tersebut melalui film R.A. Kartini. Film Amrin Membolos (1996) menjadi film terakhir yang ia garap tata musiknya.
Sudharnoto meninggal dunia pada 11 Januari 2000 di Jakarta. Kini lagu Garuda Pancasila ciptaannya terus dinyanyikan sebagai lagu wajib nasional.