Gundala, film baru garapan Joko Anwar, tayang di bioskop sejak 28 Agustus 2019. Sebelum penayangan, Joko Anwar mengumumkan musik ilustrasi Gundala. Komponisnya tiga orang: Aghi Narottama, Bemby Gusti, dan Tony Merle. Ketiganya pernah meraih penghargaan tata musik terbaik pada Festival Film Indonesia 2017 melalui film Pengabdi Setan.
Musik ilustrasi Aghi, Bemby, dan Tony secara gemilang mengalirkan emosi penonton. Musik itu memperkuat perubahan suasana riang pada awal film Pengabdi Setan menjadi tegang saat pertengahan hingga akhir film. Inilah peran musik ilustrasi. Makin berputar zaman, makin tak terelakkan perannya sebagai penyokong kegemilangan sebuah film.
“Sejak film bersuara pertama 1927, elemen suara dan musik pelan-pelan berkembang jadi unsur utama yang nyaris sejajar dengan sinematografi,” kata Sofian Purnama, pengajar apresiasi dan kritik film di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Baca juga: Gundala Bukan Jagoan
Musik ilustrasi mulai dikenal di Indonesia seiring masuknya film bersuara dari Amerika Serikat pada 1929. Maksud film bersuara ialah teknologinya sudah bisa merekam suara dalam pita seluloid. Sebelumnya, teknologi film tak mampu menghasilkan suara. Filmnya disebut film bisu.
Teknologi film bersuara memungkinkan musik terdengar saat penayangannya. Produser, distributor, dan pengusaha bioskop tak perlu lagi mengundang kelompok orkestra ke dalam bioskop. Khalayak Hindia Belanda terpikat dengan teknologi baru ini. Mereka menjadi karib dengan musik ilustrasi film buatan Amerika Serikat.
Masalah Serius
Produser film di Hindia Belanda berupaya mengekor film-film Amerika Serikat. Mereka memasukkan musik ilustrasi dalam film. Tapi biasanya langgam keroncong. “Hasilnya tidak memadai,” catat Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film 1900—1950.
Buku karya Miscbach mencatat perkembangan film bersuara di Hindia Belanda. Tetapi dia tidak banyak menyorot bagaimana perkembangan musik ilustrasi di dalam film.
Awal perkembangan musik ilustrasi di film Indonesia tercatat dalam artikel Andjar Asmara, seorang penulis produktif dan orang film, masa 1930—1960. Menurut Andjar Asmara, film-film buatan Hindia Belanda hingga 1940-an berlebih dalam sutradara, aktris, aktor, dan penulis skenario, tetapi papa akan musik ilustrasi.
Baca juga: Merekam Sejarah Musik Ilustrasi Film
“Tiada lain karena tiada yang mengarangnya,” ungkap Andjar dalam “Muziek dalam Film Indonesia” termuat di Pertjatoeran Doenia dan Film, 1 September 1941. Andjar menilai peran musik ilustrasi sangat penting dan menambah rasa estetis film. “Muziek yang baik tidak sedikit menghidupkan bagian-bagian yang penting dalam film,” terang Andjar.
Andjar mencontohkan adegan kampung hancur diterjang lava dan manusia terseret lumpur panas. Adegan termaksud akan menyesakkan napas dan mengoyak-ngoyak hati penonton jika beriringan dengan musik ilustrasi yang selaras. Tapi kesan itu akan hilang bila tak ada musik ilustrasi atau musiknya asal tempel. “Film ibarat gulai kurang garam,” kata Andjar.
Andjar berkesimpulan kelangkaan komponis musik ilustrasi menjadi salah satu masalah serius dalam dunia film Hindia Belanda. Produser dan sutradara menyiasatinya dengan asal pasang musik ilustrasi. Soal musiknya cocok atau tidak dengan adegan, itu urusan belakangan. Yang penting ada musiknya. Sesuai arus besar penonton saat itu. Dengan mengikuti arus besar, produser meraih untung.
Komponis Pelopor
Sebenarnya saat itu Hindia Belanda tidak kekurangan komponis bertalenta. Mereka akrab dengan instrumen negeri Barat dan Timur. Tapi mereka tidak tertarik mencipta musik ilustrasi. Kecuali satu nama dari kalangan anak negeri.
Andjar tak menyebut nama ini dalam artikelnya. Tapi R.Z. Leirissa mengguratnya dalam Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan Jilid 2. Dialah M. Sardi, seorang pemain biola. “Orang pertama yang berhasil membuat ilustrasi musik untuk film-film tahun 1930-an,” tulis Leirissa.
Alwi Shahab menguatkan nama M. Sardi sebagai komponis pertama khusus film. “Ia adalah pemusik pertama yang mengkhususkan diri dalam ilustrasi musik sejak film Alang-Alang (1938),” catat Alwi dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe. Karya lain M. Sardi tersua pula dalam film Macan Berbisik (1940), Rencong Aceh (1940), dan Srigala Hitam (1941).
Suka Hardjana, komponis sekaligus penulis mahir tentang sisik-melik musik, punya pendapat agak lain dengan Leirissa dan Alwi. Dia tidak menganggap M. Sardi sebagai komponis khusus musik ilustrasi. Menurutnya, M. Sardi memang tergolong komponis pelopor untuk film. Tetapi pengabdian diri dan kesungguhannya bukan terletak di dunia musik film.
Komponis bisa saja mencipta karya monumental untuk sebuah film. Tapi sepanjang dia tidak berkarya secara penuh di sana, dia bukanlah komponis musik ilustrasi. Nama-nama seperti Milhaud, Gershwin, Bernstein, Webern, Schoenberg, Prokovief, dan Schostakovitz pernah mencipta musik film yang bagus. “Tetapi toh mereka tidak pernah dijuluki sebagai komponis musik film,” lanjut Suka.
Baca juga: Komitmen Kebangsaan Seorang Komponis
Ada sejumlah nama komponis di Indonesia selain M. Sardi. Misalnya Tjok Shinshoe, Suryati Supilin, Garcia, Joss Cleber, Harry Harenstroom, Syaiful Bachri, Sutedjo, Nurdin, Isbandi, dan Sudharnoto. Mereka turut mencipta musik ilustrasi untuk film-film era Hindia Belanda dan selepasnya. Alur kerja mereka mirip M. Sardi: berangkat dari pentas musik dan sandiwara, lalu sesekali beralih ke film.
“Mereka melihat dunia film masih sebagai dunia sambilan, dan datang ke dunia itu sebagai hobi dan pekerja musiman,” catat Suka dalam “Musik Film Belum Dianggap Penting”, termuat di Musik: Antara Kritik dan Apresiasi.
Amir Pasaribu, komponis sekaligus juga penulis andal perihal musik, menyebut keadaan itu tidak lepas dari pandangan produser film terhadap musik ilustrasi. Produser menepikan musik dari posisi otonomnya dalam film. “Musik itu dipergunakan oleh hampir semua produser sebagai jalan untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya,” tulis Amir dalam “Ilustrasi Musik Pada Film dan Radio” termuat di Analisis Musik Indonesia.
Sampai sekian tahun, musik film hanya dianggap tempelan dan kerja mencipta musik film dipandang sambilan. Kemudian Festival Film Indonesia (FFI) muncul pada 1955. Ajang ini bertujuan menghargai film sebagai karya seni dengan beragam kategori penghargaan.
Di dalam FFI, termaktub kategori penghargaan untuk tata musik terbaik. Ini cukup mengangkat posisi musik dalam film Indonesia. Tetapi belum cukup mampu menghasilkan komponis musik ilustrasi.
Suka merumuskan komponis musik ilustrasi sebagai seseorang yang mengabdikan diri dan kesungguhannya secara total untuk dunia film. Dia mengambil contoh nama-nama komponis dari luar negeri seperti Davit Rakain, Dimitri Tiomkin, Max Steiner, dan Michael L. Grand. Mereka tidak memandang dunia film sebagai kerja sampingan, sambilan, musiman, atau hobi. Mereka patut dinobatkan sebagai komponis musik ilustrasi.
Merangkak Naik
Di Indonesia, menurut Suka, komponis semacam itu tersemat kali pertama pada diri Idris Sardi, anak M. Sardi. “Asumsi ini tentu saja tidak diambil dari pertimbangan banyaknya jumlah Piala Citra yang pernah dimenangkannya atau berapa puluh film saja yang pernah digarapnya, akan tetapi lebih dari kualitas kesungguhan dan bobot pengabdian yang telah seseorang korbankan untuk menggeluti bidangnya,” terang Suka.
Idris Sardi telah menggondol 11 Piala Citra untuk kategori Tata Musik Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI). Penghargaan untuk kategori termaksud bermula sejak kali pertama FFI digelar pada 1955. Tapi Idris Sardi baru menyabetnya kali pertama pada FFI 1967 melalui karya musik ilustrasinya dalam film Petir Sepandjang Malam.
Selepas itu, Idris menjadi nama mumpuni dalam musik ilustrasi. Di sanalah dia mendermakan hidupnya. Orang melambungkan namanya ke tingkat maestro musik ilustrasi.
Baca juga: Idris Sardi, Pemain Biola Legendaris Berpulang
Tapi Idris menolak namanya dibesar-besarkan. “Yang besar itu bukan pribadi saya, tapi karya Tuhan lewat Idris,” ujarnya, semasa hidup, kepada Historia pada April 2012. Maka dia tak pernah sudi kalau ada orang menyebutnya sebagai maestro. Dia juga mengaku kekuatan karyanya bertopang pada dedikasi dan kerja banyak orang.
Kenyataannya, orang sulit menemukan sosok kuat selain Idris Sardi sebagai komponis mumpuni dalam musik ilustrasi selama sekian era. Di sisi lain, film Indonesia masih menggunakan musik sebagai tempelan.
Pilihan sebilangan besar pengisi musik ilustrasi kian menurunkan posisi musik ilustrasi. Mereka menaruh kepercayaan berlebih pada instrumen elektro akustik, baik manual maupun komputer. Pilihan ini menyingkirkan kerja bersama dalam penciptaan musik ilustrasi.
Mereka juga meninggalkan instrumen akustik tradisional.”Pemakaian alat-alat musik rekayasa hi-tech adalah sesuatu yang wajar dalam karya seni abad XX. Yang tidak wajar adalah pilihan sepihak, sehingga kekuatan sejarah lama yang sudah dibangun sekian periode lamanya ditinggalkan begitu saja dan tidak dilihat sebagai alternatif lagi,” ungkap Suka.
Tapi setiap era selalu punya tepi jurang. Dan ke jurang itulah orang mendorong jatuh era lama, era kelangkaan komponis musik ilustrasi, kemiskinan teknik mencipta, dan kesilapan pandangan lama produser tentang musik. Era baru datang membawa serta generasi komponis, teknik, dan cara pandang baru terhadap musik film.
Musik dalam film kiwari Indonesia seperti Pengabdi Setan dan Gundala tidak lagi bisa dipandang terpisah dari filmnya. Komponis musiknya pun mencipta karyanya secara khusus dan unik hanya untuk film-film tersebut. Cara pandang mereka terhadap pekerjaan mereka sendiri ikut menggerakkan kualitas musik ilustrasi ke tingkat yang lebih tinggi.