Masuk Daftar
My Getplus

Komitmen Kebangsaan Seorang Komponis

Alfred belajar musik secara otodidak. Menggunakan lagu dan musik untuk menumbuhkan semangat kebangsaan kaum muda.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 26 Jun 2014
Alfred Simanjuntak (1920-2014). (pgi.or.id).

ALFRED Simanjuntak, komponis dan pencipta lagu “Bangun Pemudi-Pemuda”, meninggal kemarin pagi (25/6/2014) di Rumahsakit Siloam, Tangerang, Banten. Semasa hidup, dia menempatkan lagu dan musik sebagai pembangkit semangat kebangsaan kaum muda. Lagu-lagunya pun kerap mengangkat rasa nasionalisme. Antara lain “Dimanakah Tanah Airku”, “Tanah Airku Indonesia”, dan “Indonesia Bersatulah”.      

Alfred lahir di desa Parlombuan, Sumatra Utara, pada 8 September 1920. Kedua orangtuanya bekerja sebagai guru jemaat gereja. Gaji mereka tak besar sehingga kehidupan mereka bersahaja. Tapi mereka masih bisa menyekolahkan Alfred hingga ke Hollandsce Inlandsche Kweek School (HKS), sejenis sekolah guru, di Sala, Jawa Tengah.

Alfred unggul dalam urusan musik di sekolahnya. Padahal dia tak pernah mendapat pendidikan musik secara khusus. Dia mempelajari musik dan berlatih memainkan alat musik seperti organ, piano, dan biola di luar jam sekolah.

Advertising
Advertising

Setamat HKS pada 1941, Alfred pindah ke Kutoarjo, Jawa Tengah, untuk bekerja sebagai guru musik di sebuah sekolah. Dia menikmati pekerjaan itu dan mencintai murid-muridnya yang berlatarbelakang beragam. “Murid saya datang dari Purworejo, Wates, Gombong, Prembun, dsb,” kata Alfred, dikutip Kompas, 28 Oktober 1986. Tapi kemudian Jepang datang mengambil-alih sekolah.

Ketimbang bekerja kepada Jepang, Alfred memilih balik ke Sala. Dia luntang-lantung di Sala selama dua tahun bersama sembilan temannya. Dia beberapa kali melihat kekejaman tentara Jepang. Lalu dia pindah ke Semarang. Di sini dia beroleh tawaran bekerja sebagai guru musik di Sekolah Rakyat Sempoerna Indonesia. Pendiri sekolah itu antara lain Parada Harahap (tokoh pers), Bahder Djohan (tokoh Jong Sumatranen Bond), dan Wongsonegoro (tokoh pergerakan).

Mengetahui latarbelakang para pendiri sekolah, Alfred menerima tawaran itu. Dia senang bisa kembali mengajar anak-anak. Dia berencana menggunakan kesempatan ini untuk memupuk semangat kebangsaan anak-anak. Tapi tak mudah mewujudkannya. Dia terbentur dua tantangan: kekejaman tentara Jepang dan kurangnya lagu berbahasa Indonesia untuk anak-anak.

Alfred menggunakan lagu dan musik untuk menghindari kekerasan tentara Jepang. “Kepada anak-anak tersebut, kami mengajarkan semangat keindonesiaan secara halus karena kalau secara terang-terangan kepala saya bisa hilang,” kata Alfred, dikutip majalah Bahana, 1 Juni 2000. Sedangkan untuk mengatasi kekurangan lagu, Alfred menciptakan lagu baru. Antara lain “Dimanakah Tanah Airku”, “Tanah Airku Indonesia”, dan “Bangun Pemudi-Pemuda”.

Alfred selalu berkonsultasi dengan Parada Harahap dan Bahder Djohan usai menciptakan lagu. Kalau Parada dan Bahder berpendapat lagu Alfred terlalu berbahaya, dia tak akan mengumumkannya secara luas. Sebaliknya, kalau mereka menilai lagu dia cukup halus, dia baru berani menyanyikannya di depan umum. Ini terbukti saat lagu “Indonesia Bersatulah” berkumandang di depan orang Jepang:

Indonesia Indonesia marilah bersatulah

Jangan pikir macam bangsa

Rasa daerah hilanglah

Bersahabat bersaudara sama-sama bekerja

Indonesia Indonesia hidup hiduplah

“Saya yang waktu itu memimpin menyanyi jadi berdiri bulu roma saya, takut dan kecut, bagaimana nasib saya besok. Jangan-jangan kepala saya hilang. Untunglah tidak terjadi apa-apa,” kata Alfred dikutip Kompas.

Lagu itu kelak mendapat porsi siaran istimewa di RRI saat peristiwa PRRI/Permesta. “…Lagu itu berbicara soal menghilangkan rasa kedaerahan,” kata Alfred dikutip Bahana. RRI memutarnya selama tiga tahun dan menghentikan pemutarannya ketika PRRI/Permesta tumbang.

Alfred berubah 30 tahun kemudian. Dia malah agak menyepakati negara federal. “Sebab apa yang dibuat selama 30 tahun ini terhadap Sumatera, Ambon, tidak masuk akal… Ya ampun, ternyata gubuk yang ada tahun 30-an, sekarang pun masih tetap sama,” kata Alfred. Maka dia mengubah lirik “Indonesia Bersatulah”. Lebih berbicara soal perpaduan kerja antarsuku, ragam bangsa, dan wilayah ketimbang menghilangkan rasa kedaerahan.

Gus Dur pun kepincut melihat pergulatan pemikiran Alfred dalam lagu dan musik. Dia menilai Alfred punya komitmen kebangsaan. Sehingga dia meminta Alfred menciptakan mars untuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjelang Pemilu 1999. Alfred memasukkan pekik “Allahuakbar” dalam mars PKB. Dia sempat bertanya kepada Gus Dur dan para pendeta apakah boleh memasukkan pekik itu. Mereka semua menjawab boleh. Gus Dur sendiri sangat gembira dengan mars ciptaan Alfred itu.

Hingga akhir hayatnya, Alfred tak banyak mendapat perhatian pemerintah. Tapi itu tak mengurangi sedikitpun dedikasi dan jasa Alfred. Dia sendiri sudah jauh-jauh hari bilang, “Terserahlah. Saya hanya merasa tergugah menciptakan dan menyumbangkan sesuatu untuk negeri tercinta ini.”

TAG

Obituari

ARTIKEL TERKAIT

Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Dua Kaki Andreas Brehme Sisi Lain Der Kaiser Franz Beckenbauer Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Berpulangnya Yayu Unru, Aktor Watak yang Bersahaja Djoko Pekik dan Trilogi Celeng Nani Wijaya dari Tari ke Film Pelé adalah Sepakbola, Sepakbola adalah Pelé Sisi Lain Ridwan Saidi Aminah Cendrakasih Sebelum Jadi Mak Nyak