Masuk Daftar
My Getplus

PGHB, Organisasi Guru Pertama Orang Indonesia

PGHB lahir karena kesenjangan pendapatan guru. Tapi banyak anggota kecewa dan membuat perkumpulan sendiri.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 26 Nov 2020
Guru mengajar di sekolah kolonial pada 1900-an. (geheugen.delpher.nl).

Hari Guru di Indonesia diperingati saban 25 November. Rujukannya kepada gelaran Kongres Guru Indonesia pada 25 November 1945. Kongres itu melahirkan organisasi guru bernama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sebelum PGRI, guru-guru Indonesia telah memperjuangkan nasib dan dunia pendidikan melalui Persatuan Goeroe Hindia Belanda (PGHB).

PGHB berdiri di Magelang pada 1 Januari 1912. Latar belakang pembentukan PGHB bermula dari diskriminasi gaji guru di Hindia Belanda. Guru sekolah merupakan profesi baru di Hindia Belanda. Kehadirannya bersamaan dengan bergulirnya pendirian sekolah-sekolah di Hindia Belanda oleh pemerintah sejak 1901.

Sekolah-sekolah itu membutuhkan guru. Pemerintah Hindia Belanda sebermula menginginkan impor guru dari Belanda. Tapi setelah menghitung biayanya, ternyata mahal. Mengandalkan guru-guru berbangsa Eropa juga bukan pilihan baik karena mereka tersedot untuk mengajar anak-anak priyayi dan elite.

Advertising
Advertising

“Pemerintah memutuskan untuk mengembangkan sekolah-sekolah pendidikan guru di Hindia Belanda untuk mengembangkan sekolah-sekolah pendidikan guru yang setara dengan standar kualitas pendidikan guru di Eropa,” ungkap Agus Suwignyo dalam “The Breach in the Dike: Regime change and the standardization of public primary-school teacher training in Indonesia (1893–1969), disertasi di Universitas Leiden.

Baca juga: Tokoh Terlupakan Pendiri Sekolah Guru Bumiputera Pertama

Kebijakan ini mendorong pendirian sekolah-sekolah guru dengan jenjang lebih tinggi, yaitu kweekschool (KS) dan hoogere kweekschool (HKS). Tadinya rata-rata guru dari golongan anak negeri berpendidikan sekolah kelas dua. Gaji guru lulusan sekolah kelas dua kurang dari f.50 tiap bulan. Sedangkan gaji guru lulusan KS dan HKS antara f.75–f.150, Tapi gaji sebesar itu masih di bawah guru-guru Eropa. Mereka bisa memperoleh minimal f.150 per bulan.

Penghasilan guru-guru golongan anak negeri tak pernah sebanding dengan kebutuhan bulanan minimal mereka. Keluhan guru ini sering keluar dan didengar oleh penilik sekolah. Tak jarang mereka harus bekerja lebih panjang dan di banyak tempat untuk mencukupi kebutuhannya. Konsentrasi guru-guru habis untuk memikirkan kebutuhan harian. Kualitas pendidikan untuk anak-anak golonga anak negeri pun tak bisa diharapkan.

Guru-guru lulusan KS pun mengetahui beratnya bertahan hidup menjadi guru lulusan sekolah kelas dua dengan penghasilan rendah. Beberapa guru lulusan KS di Yogyakarta, Magelang, dan Bondowoso membicarakan persoalan itu pada November 1911.

Baca juga: Mengenal Dwidjosewojo, Bapak Asuransi Indonesia

Seorang di antaranya bernama Dwidjosewojo, anggota Boedi Oetomo. Dia mengajukan usul pendirian perkumpulan guru untuk memperjuangkan kepentingan para guru.

Usulan itu memperoleh kata sepakat dari Karto Hadi Soebroto dan N. Boediardjo, rekan Dwidjosewojo. “Bila kita mempunyai perkumpulan, kita akan memperjuangkan nasib dan derajat guru-guru bumiputera. Yang diperlukan sekarang adalah suatu kemauan dan kerja sama untuk saling bantu antara sesama guru untuk membentuk perkumpulan,” kata Karta Hadi Soebroto, dikutip Darmokondo, 13 November 1911.

Pendirian perkumpulan guru juga dipandang penting. Mengingat guru-guru golongan anak negeri belum mempunyai perkumpulan. Sementara guru-guru Eropa telah mendirikan Nederlansch-Indisch Onderwijzers Genootschap pada 1893. Gerak perkumpulan itu cukup mangkus dalam menggolkan kepentingan mereka.

Setelah pertemuan itu, Dwidjosewojo dan teman-temannya mengumpulkan lebih banyak guru. Maka berdirilah PGHB pada 1 Januari 1912. Karto Hadi Soebroto jadi ketuanya, Dwidjosewojo duduk sebagai sekretaris.

Baca juga: Dari Sekolah Liar hingga Anarkisme

PGHB berupaya meningkatkan kesejahteraan para guru dengan melihat kepentingan pengajaran umum, kepentingan guru-guru anak negeri, ketersediaan alat-alat pengajaran, dan penyelenggaraan penerbitan surat kabar.

Dwidjosewojo lantas menggagas usaha bersama untuk kepentingan guru, yaitu asuransi. Ide itu diterima guru lain. Berdirilah asuransi bernama Onderlinge Levensverzekering Maatschappij PGHB pada 12 Februari 1912. Kelak asuransi ini menjadi Asuransi Boemiputera.

Selepas itu, PGHB menggelar rapat besar di Yogyakarta pada 24–26 Agustus 1912. Mereka mulai berpikir pentingnya legalitas dan pengakuan dari pemerintah, perluasan keanggotaan, uang kas, percetakan untuk buku-buku ajar, dan media internal. Mereka berhasil menggapai itu semua. PGHB pun makin besar. Tercatat pada akhir tahun 1912, jumlah anggota PGHB mencapai 1.427 guru dari 25 cabang. Cukup untuk punya posisi tawar terhadap pemerintah kolonial.

Beberapa anggota PGHB lalu bertemu dengan G.A.J Hazeu, direktur pendidikan, pada akhir 1912. Mereka meminta pemerintah agar menaikkan gaji guru. Setahun kemudian, permintaan itu dikabulkan. Gaji guru naik.

Perpecahan PGHB

Tapi kenaikan gaji guru itu justru menimbulkan gejolak baru di PGHB. Sebagian guru masih tak puas dengan kenaikan itu. Mereka beranggapan kejomplangan antara gaji guru lulusan sekolah kelas dua dengan KS terlalu lebar. Mereka menduga para pengurus PGHB tak terlalu serius memperjuangkan nasib guru lulusan kelas dua. Selain itu, PGHB juga dinilai kelewat Jawa-sentris. Hampir seluruh pemimpin organisasinya berasal dari Jawa.

Juni 1914, PGHB mulai pecah. Guru-guru anggota PGHB di Jawa Barat membentuk perkumpulan sendiri bernama Persatuan Guru Pasundan.

Lepasnya guru-guru di Jawa Barat melecut PGHB untuk bekerja lebih baik bagi anggotanya. Ini tampak dalam keberhasilan mereka mendorong kenaikan gaji di Manado, Timor, dan Ambon pada akhir 1914. Tapi kenaikan gaji guru tak terjadi tiap tahun seperti harapan PGHB.

Baca juga: Sejarah Pengangkatan Guru Besar dan Profesor di Indonesia

Para anggota PGHB mulai kecewa dengan kinerja para pemimpin organisasi. Dwidjosewojo berupaya mengobati kekecewaan itu. Dia menyatakan PGHB hanya bisa sampai ke tahap memohon. Wewenang kenaikan gaji terletak pada pemerintah kolonial.

Dwidjosewojo juga mengungkapkan PGHB tak pernah membedakan jenjang pendidikan guru atau mengistimewakan salah satu kelompok guru. “PGHB adalah untuk semua golongan guru,” kata Dwijosewojo dalam “Pendapatan H.P. PGHB terhadap keluhan Hulp Onderwijzer” termuat di Medan Goeroe Hindia, 10 Agustus 1914.

Para anggota sempat terhibur. Tapi kemandegan gaji selama empat tahun memperdalam kekecewaan mereka. Satu per satu anggota PGHB keluar dan membentuk perkumpulan lain seperti Persatuan Guru Bantu dan Persatuan Guru Normaalschool, dan Persatuan Guru Desa pada 1920. Bahkan guru-guru yang bergaji lebih tinggi pun ikut keluar dengan membentuk Kweekschool Bond. Kehilangan anggota, uang kas PGHB berkurang. Gerak organisasi terhambat. PGHB pun limbung. Tapi sebelum semua terlambat, para pengurus PGHB berupaya merangkul kembali anggotanya.

Baca juga: Mengulik Gelar-gelar Akademik di Indonesia

Dalam Kongres PGHB pada 1920, Andogo, seorang pengurus PGHB, menyerukan kepada perkumpulan guru lain agar berjuang bersama dengan PGHB. Dia mengajukan perubahan pada struktur PGHB. Dari organisasi terpusat menjadi federasi. Dia juga mengingatkan bahaya perpecahan.

“Janganlah memecah-mecah kekuatan, yang timbul dari pengakuan punya keperluan diri sendiri. Bekerjalah bersama-sama dengan kerukunan, yang terdapat dalam kepercayaan seorang pada lainnya, wahai, saudara-saudara kami,” kutip Medan Goeroe Hindia, Februari 1920.

Para anggota perkumpulan guru lain menolak usul Andogo. Mereka ingin berdiri sendiri. Meski usulan itu ditolak, PGHB tetap berjalan. PGHB berubah menjadi federasi pada 1927. Lalu pada 1945 mereka berganti nama lagi jadi PGRI.  

TAG

guru pendidikan

ARTIKEL TERKAIT

Mencari Ruang Narasi Peran Etnik Tionghoa dalam Sejarah Bangsa Soeharto Lulus SD dan Ki Hadjar Tak Pernah SMA Ibu Sud, Cak Roes, dan Sekolah Belanda Peran Lasminingrat dalam Pendidikan dan Penerjemahan Gejolak di Osvia Pendidikan Seks dalam Serat Nitimani Korupsi di Perguruan Tinggi Kisah Perancang Mode pada Zaman Jepang Setelah Pulang Sekolah Melengserkan Dekan yang Suka Perempuan