Masuk Daftar
My Getplus

Tokoh Terlupakan Pendiri Sekolah Guru Bumiputera Pertama

Sebagai tokoh pendidikan, dia kurang dikenal. Padahal dialah yang pertama mendirikan sekolah guru untuk kaum bumiputera.

Oleh: Arief Ikhsanudin | 13 Mei 2016
Mohammad Syafei, Ki Hajar Dewantara, dan Willem Iskander. Foto: sampul buku "Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas" karya ST Sularto.

SELAIN Ki Hajar Dewantara, Indonesia memiliki tokoh-tokoh yang amat berjasa dalam dunia pendidikan. Mereka adalah Willem Iskander dan Mohammad Syafei. Sayang, keduanya kurang dikenal.

Ki Hajar Dewantara dikenal luas sebagai tokoh pendidikan karena tanggal lahirnya, 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Menteri pendidikan pertama ini mendirikan sekolah Taman Siswa tahun 1922. Selain itu, semboyan yang diciptakannya, “Tut Wuri Handayani” (di belakang memberi dorongan) menjadi semboyan Kementerian Pendidikan. Lantas siapa Willem Iskander dan Mohammad Syafei?

Banyak orang tak mengenal Willem Iskander dan Mohammad Syafei. Bahkan, menurut Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Anies Baswedan banyak orang, terutama para pendidik, hanya mengenal tetapi tidak memahami Ki Hadjar Dewantara.

Advertising
Advertising

“Ki Hajar Dewantara saja lewat, apalagi dua nama ini (Syafei dan Willem),” kata Anies dalam sambutan bedah buku Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas di Hotel Santika, Jakarta Barat, 13 Mei 2016. Buku karya St. Sularto, wartawan senior Kompas ini, memuat peran tiga tokoh pendidikan: Ki Hadjar Dewantara, Willem Iskander, dan Mohammad Syafei.

Mohammad Syafei lahir di Ketapang, Kalimantan Barat, tahun 1893. Marah Sutan, seorang guru di Padang yang jadi ayah angkatnya, mengirim Syafei untuk menimba ilmu di sekolah keguruan di Belanda. Tujuannya agar Syafei bisa membuka sekolah untuk kaum bumiputera. Dan Syafei mewujudkannya dengan mendirikan sekolah Indonesische Nederland School (INS) di Desa Kayutanam, Padangpariaman, Sumatra Barat pada 1926. Sekolah INS Kayutanam ini dibuat untuk membantu warga agar merdeka, sanggup berdiri sendiri, bebas dari ketergantungan kepada bangsa lain.

Namun, di antara ketiga tokoh tersebut, Willem Iskander lebih dulu mendirikan sekolah untuk bumiputera. Dia mendirikan Kweekschool voor Inlandsch Onderwijzers (Sekolah Guru Bumiputera) atau disebut Kweekschool Tanobato di Kota Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatra Utara pada 1862.

Willem Iskander lahir di Panyabungan pada 1840 dengan nama Sati Nasution. Nama Willem Iskander didapat saat dia pindah agama dari Islam ke Kristen saat studi keguruan di Belanda. Saat Sularso menggunjungi Mandailing Natal pada 2015, dia miris karena tidak banyak orang tahu tentang Willem Iskander. Sebuah monumen untuk petilasan kelahirannya bahkan salah menuliskan nama. Di sana tertulis “Willem Iskandar”.

“Willem Iskander sudah dilupakan, padahal dia adalah pelopor guru,” kata Sularto.

Willem Iskander menekankan pentingnya pendidikan bagi kaum bumiputera. Baginya, perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.

“Dia kiranya memahami bahwa dengan mendidik anak laki-laki, kita mendidik satu orang. Dengan mendidik anak perempuan, kita bakal mendidik satu keluarga,” kata Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan tahun 1978-1983.

Willem mendirikan Kweekschool Tanobato sepulang dari studinya di Belanda. Kweekschool Tanobato bukanlah sekolah guru pertama di Hindia Belanda. Sebelumnya telah berdiri Kweekschool Surakarta (1851) dan Kweekschool Fort de Kock di Bukittinggi (1856). Namun, murid-murid kedua sekolah ini berasal dari kelas bangsawan sehingga disebut sekolah raja. Sedangkan Kweekschool Tanobato terbuka untuk umum dengan bahasa Mandailing sebagai bahasa pengantar.

Willem Iskander mendapatkan kesempatan beasiswa ke Belanda untuk kedua kalinya pada 1874. Kepergiannya ke Belanda membuat Kweekschool Tanobato ditutup dan sebagai penggantinya dibuka Kweekschool Padangsidempuan pada 1879.

Saat di Belanda, Willem Iskander mengajukan beasiswa kepada pemerintah Belanda untuk guru Kweekschool lain, termasuk di luar Kweekschool Tanobato. Terpilihlah tiga guru: Banas Lubis dari Kweekschool Tanobato, Ardi Sasmita dari Kweekschool Bandung, dan Raden Mas Surono dari Kweekschool Surakarta. Nahas, Banas Lubis dan Ardi Sasmita meninggal pada pertengahan tahun 1875. Sedangkan Raden Mas Surono dipulangkan karena sakit, lalu meninggal dalam perjalanan.

Willem Iskander juga meninggal tragis dengan cara bunuh diri pada 8 mei 1876, delapan bulan setelah pernikahannya dengan Maria Jakoba Witer. Penyebabnya, menurut Sularto, dia merasa kalut karena kematian tiga rekannya ditambah kekacauan rumah tangganya.

Willem Iskandar mati muda dalam usia 36 tahun. Melalui Kweekschool Tanobato dia telah membuka kesempatan bagi kaum bumiputera untuk memperoleh pendidikan. “Kepeloporan dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan calon guru, berarti pula peranannya sebagai pejuang lewat pendidikan dan pendidik pejuang,” kata Sularto.

[pages]

TAG

pendidikan

ARTIKEL TERKAIT

Soeharto Lulus SD dan Ki Hadjar Tak Pernah SMA Ibu Sud, Cak Roes, dan Sekolah Belanda Peran Lasminingrat dalam Pendidikan dan Penerjemahan Gejolak di Osvia Pendidikan Seks dalam Serat Nitimani Korupsi di Perguruan Tinggi Kisah Perancang Mode pada Zaman Jepang Setelah Pulang Sekolah Melengserkan Dekan yang Suka Perempuan Mahar Mardjono, Rektor UI yang Pandai Menjaga Keseimbangan