PARTAI Komunis Indonesia (PKI) tidak serta-merta berdiri. Lewat Sarekat Islam (SI), organisasi bumiputra terbesar saat itu, aktivis PKI bergerak dan melakukan konsolidasi anggota di tingkat basis.
Pada kongres 1921, SI melarang keanggotaan rangkap. Akibatnya, para aktivis PKI mesti keluar. Organisasi terbagi menjadi dua: SI Putih dan SI Merah. SI Putih dipimpin Haji Agus Salim dan Abdoel Moeis (di Yogyakarta), sementara SI Merah dipimpin Semaoen dan Alimin (di Semarang).
Dalam kongres SI Merah dan PKI di Bandung pada 4 Maret 1923, diputuskan bahwa SI Merah berganti nama menjadi Sarekat Ra’jat. Sarekat Ra’jat dimaksudkan sebagai organisasi massa bagi PKI. Perkembangan ini diawasi pemerintah kolonial.
Di Jawa, cabang-cabang Sarekat Ra’jat berdiri di kota Semarang, Pekalongan, Surakarta, Batavia, Surabaya, Karawang, dan Bandung. Di Sumatra Barat, berdiri cabang Sarekat Ra’jat di kota Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Solok, dan Sawahlunto. Di Sumatra Barat diperkirakan terdapat seribu anggota.
Sekolah “Liar”
Terbentuknya Sarekat Ra’jat di beberapa kota segera diikuti dengan berdirinya sekolah Sarekat Ra’jat (Sarekat Ra’jat-school). Hal ini tampak jelas di Semarang. Sejak 1920, sudah ada sekolah Sarekat Islam (SI-school) yang dikelola Tan Malaka untuk menampung anak-anak kaum buruh di Semarang. Menurut Soeara Ra’jat 16 Agustus 1921, organ PKI saat itu, sekolah tersebut punya 120 murid dan membuka kelas bahasa Belanda. Juga ada seorang guru-pembantu perempuan lulusan Kartinischool. Karena itu pula Sarekat Ra’jat punya basis kuat di kota itu. Begitu juga di Sumatra Barat.
Bukan hanya d kota-kota besar, sekolah Sarekat Ra’jat juga berdiri di beberapa kota kecil. Misalnya di Cicalengka, sebuah kecamatan di Bandung. Dalam buku otobiografi Keluarga Abangan (2013), Harsutejo juga mengenang sang ayahanda menjadi guru sekolah Sarekat Ra’jat di Wlingi, sebuah kota kecamatan di Blitar.
Baca juga: Sekolah ala Tan Malaka
Pemerintah kolonial tidak tinggal diam. Cara yang dilakukan untuk memberantas ialah dengan mengawasi izin mengajar para guru sekolah Sarekat Ra’jat. Karena tidak mengikuti kurikulum kolonial, sekolah Sarekat Ra’jat dianggap sebagai sekolah “liar.”
Di Batavia, sekolah Serikat Ra’jat yang baru dibuka langsung ditutup keesokan harinya (Bataviaasch Nieuwsblad, 1 Desember 1924). Hal ini karena guru utama sekolah tersebut yang bernama Soekadi dicabut izin mengajarnya oleh Residen Batavia untuk jangka waktu dua tahun.
Di Salatiga, pemerintah setempat mencabut izin mengajar beberapa guru sekolah Sarekat Ra’jat. Setidaknya ada tujuh guru yang dicabut izin mengajarnya awal tahun 1925 (De Locomotief, 14 Januari 1925). Akibatnya, sekolah mengalami kesulitan untuk tetap melakukan pengajaran. Guru-guru yang dicabut izin mengajarnya juga dipersulit untuk memperbaharui atau memperpanjang izin mereka.
Baca juga: SI School, Sekolah Alternatif
Ibarat kucing mengejar tikus, pemerintah kolonial mengawasi setiap sekolah Sarekat Ra’jat yang baru dibuka di beberapa tempat. Izin mengajar langsung diperiksa dan umumnya dicabut seketika.
Sampai pemberontakan 1926-1927, hal demikian terus berlangsung. Setelah tahun 1927, kontrol semakin ketat. Mereka yang dianggap terlibat dalam pemberontakan tersebut dikejar, ditangkap, dan beberapa dibuang ke Digul. Tak terkecuali para pengurus Sarekat Ra’jat dan beberapa guru sekolah Sarekat Ra’jat (lihat Daftar).
Sampai tahun 1928, setidaknya terdapat 50 sekolah Sarekat Ra’jat dengan sekitar 10 ribu murid (De Indische Courant, 15 Februari 1927). Semua sekolah ini kemudian dibubarkan.
Sarekat Istri
Sarekat Ra’jat memiliki bagian urusan perempuan, yang disebut Sarekat Istri. Di Batavia, Sarekat Istri berpusat di Gang Tengah. Anggotanya sekitar 200 orang (De Indische Courant, 15 Februari 1927). Ketuanya adalah Soekaesih dan bendahara Saama. Soekasih adalah istri Soekarna, seorang aktivis PKI di Batavia.
Baca juga: Tujuh Tahanan Politik Perempuan di Kamp Plantungan
Selain di Batavia, ada Serikat Istri di Semarang. Ada dua aktivisnya: Soetitah dan Moenasiah. Soetitah adalah aktivis SI yang dekat dengan Semaoen, dan dia hadir dalam kongres SI di Semarang pada 2 Agustus 1919 (De Preangerbode, 21 Agustus 1919). Dalam kongres SI Semarang dan PKI tahun 1922, Soetitah dan Moenasiah hadir dan menyampaikan pendapat mereka (De Preangerbode, 6 April 1922). Keduanya aktif dalam SI bagian perempuan sejak 1918.
Pada 1927, Soekaesih, Soetitah, dan Moenasiah (Daftar Semarang No. 8 dan 19) ditangkap dan dibuang ke Digul. Ada beberapa pengurus lain yang juga dibuang ke Digul (Daftar Surakarta No. 11, Bandung No. 4 dan 5).
Benih Anarkisme?
Menariknya, di antara pengurus Serikat Ra’jat yang dibuang ke Digul, ada yang diidentifikasi pemerintah kolonial sebagai “anarkis” (lihat Daftar Surakarta No. 7 s/d 10). Hanya beberapa nama yang diidentifikasi demikian, dan umumnya berpusat di Surakarta.
Baca juga: Menggali Akar Anarkisme di Indonesia
Kurang jelas apa yang dimaksud dengan “anarkis” menurut versi pemerintah kolonial. Kemungkinan mereka terkait dengan pemberontakan para pelaut di Surabaya (Bond van Minder Marinepersoneel) pada 11 Desember 1917, yang berhasil menyusun “soviet” dan melancarkan revolusi berdasarkan model Rusia. Label ini mungkin dimaksudkan untuk menandai mereka yang dianggap punya tujuan ekstrim dalam menentang pemerintah kolonial – terlepas apakah mereka mampu melakukannya.
Mati Perlahan
Sarekat Ra’jat tidak berumur panjang. Setelah pemberontakan 1926-1927, Sarekat Ra’jat menjadi target pemerintah kolonial. Para aktivisnya ditangkap dan dibuang ke Digul. Hanya dalam waktu lima tahun, organisasi ini dibentuk, tumbuh, dan kemudian ditinggalkan anggotanya.
Baca juga: Kisah Budisucitro, Buangan Digul Nomor 1
Semaoen, yang dibuang tahun 1923 dan sejak itu berada di Rusia, meratapi kematian Sarekat Ra’jat. Dia berpendapat bahwa Sarekat Ra’jat tetap diperlukan sebagai organisasi massa. Hubungan PKI dengan Sarekat Ra’jat memang tidak pernah mudah. Sayangnya, keberhasilan Sarekat Ra’jat sebagai organisasi massa tergerus dari sejarah nasional.
Daftar Pengurus Sarekat Ra’jat yang Dibuang ke Digul
Sumber: Bataviaasch Nieuwsblad (19 Februari 1927), Bataviaasch Nieuwsblad (22 Maret 1927), De Locomotief (9 Agustus 1927), De Locomotief (19 April 1928), De Indische Courant (26 Juli 1928), Soerabaijasch Handelsblad (26 Januari 1929)
Surakarta
- Soehadi (18 tahun), pedagang batik, pengurus Sarekat Ra’jat, pengurus dan propagandis PKI.
- Soemarti (22 tahun), asisten mantri, pengurus Sarekat Ra’jat, sekretaris Sarekat Tani di Sondakan.
- Hamoengwardojo alias Soedjiman (29 tahun), pengrajin emas, pengurus dan propagandis Sarekat Ra’jat.
- Poespowardojo alias Sakirman (36 tahun), pengrajin emas, pengurus Sarekat Boeroeh Roti, pengurus Sarekat Ra’jat.
- Pontjopangrawit alais Soekari (29 tahun), mantan pemain gamelan di keraton, pengurus dan propagandis Sarekat Ra’jat.
- Mangoenpawiro alias Karmoen (40 tahun), petani, pengurus Sarekat Ra’jat dan Sarekat Tani.
- Kartowihardjo alias Soewandi (30 tahun), pedagang kain, pengurus Sarekat Ra’jat, anarkis.
- Sahirman (20 tahun), mantan pegawai Perusahaan Kereta Api Negara, propagandis Sarekat Ra’jat, sekretaris Sarekat Tani, anarkis.
- Djojosoekarto alias Ismangoen (30 tahun), tukang sepatu, pengurus Sarekat Ra’jat, anarkis.
- Darmosoetjitro alias Darmodjo (40 tahun), tukang stempel, pengurus Sarekat Ra’jat, anarkis.
- Bok Sjarief alias Soemasti (27 tahun), pedagang buku, sekretaris Sarekat Ra’jat bagian perempuan, pengurus dan propagandis PKI.
Semarang
- Kartoatmodjo (43 tahun), sekretaris desa, bendahara Sarekat Ra’jat dan pengurus PKI di Mergotoehoe.
- Raden Aminkoesasi (24 tahun), mantan guru sekolah Sarekat Ra’jat.
- Mas Darso alias Dirdjodidjojo (30 tahun), mantan asisten guru, pengurus Sarekat Ra’jat di Kalinyamat.
- Kartodanoedjo alias Soebardi (32 tahun), mantan asisten guru, sekretaris Sarekat Ra’jat dan PKI di Kudus.
- Soewardjo (20 tahun), mantan pegawai kantor pengelolaan air, pengurus dan sekretaris Sarekat Ra’jat dan PKI di Kalinyamat, pengurus Fonds Onderwijs Ra’jat (Dana Pendidikan Ra’jat).
- Santoso (22 tahun), mantan guru sekolah Sarekat Ra’jat, sekretaris PKI dan sekretaris Sarekat Ra’jat di Ungaran, pemimpin organisasi Korban Diri”.
- Slamet (22 tahun), mantan guru sekolah Sarekat Ra’jat, pengurus Sarekat Ra’jat dan PKI di Salatiga.
- Soetitah (37 tahun), wakil ketua Sarekat Ra’jat di Semarang.
- Boechari (23 tahun), pekerja di harian De Informatie, mantan guru sekolah Sarekat Ra’jat.
- Mohamed (28 tahun), pengurus sekolah Sarekat Ra’jat Podo Madjoe Bareng, sekretaris organisasi pegawai Bediendenbond.
- Raden Amat (35 tahun), bendahara Sarekat Ra’jat di Trangkil.
- Hadji Soeleiman (30 tahun), bendahara Sarekat Ra’jat di Jepara.
- Kajat (32 tahun), pengurus Sarekat Ra’jat di Jepara.
- Prawirohardjo (50 tahun), kepala desa, pengurus Sarekat Ra’jat di Jepara.
- Djojodiwirjo alias Wales (35 tahun), tukang jam, pengurus Sarekat Ra’jat.
- Hadji Mohamad Adenan alias Wagimin (36 tahun), pedagang jerami, pengurus utama dan propagandis Sarekat Ra’jat.
- Basnawi (45 tahun), petani, pengurus utama dan propagandis Sarekat Ra’jat.
- Karbin (27 tahun), petani dan pemilik warung, pengurus utama dan propagandis Sarekat Ra’jat.
- Moenasiah (30 tahun), pemilik warung, pengurus Sarekat Ra’jat.
Pekalongan
- Sangid alias Wasngad (50 tahun), tukang kayu, pengurus Sarekat Ra’jat, pengurus dan propagandis PKI.
- Satari (36 tahun), petani, pengurus Sarekat Ra’jat dan PKI.
- Soerip (21 tahun), petugas di kantor pusat perusahaan kereta uap Semarang-Cirebon, pengurus Sarekat Ra’jat dan PKI.
- Mas Soewirdjo (20 tahun), asisten sekretaris di kantor bank di Tegal, pengurus Sarekat Ra’jat.
- Doerachman (20 tahun), pekerja rumah tangga, pengurus Sarekat Ra’jat.
- Mas Soegiri (23 tahun), pekerja perusahaan kereta uap Semarang-Cirebon, pengurus Sarekat Ra’jat.
- Sawal alias Rachmat (38 tahun), mantan petugas kantor gadai, pengurus dan propagandis Sarekat Ra’jat.
Surabaya
- Pawironoto (47 tahun), mantan sekretaris kantor bupati Sidoarjo, pengurus Sarekat Ra’jat, pengurus PKI.
- Mas Bei Adiprawiro (28 tahun), pegawai swasta, pengurus Sarekat Ra’jat.
- Prawoto alias Soemohardjo alias Poesman (30 tahun), mantan petugas kantor gadai, pengurus Sarekat Ra’jat di Purwodadi dan PKI di Kudus.
Kerawang
- Iskak Martodisastro (35 tahun), mantan kondektur Perusahaan Kereta Api Negara, pengurus VSTP, sekretaris Sarekat Ra’jat, pengurus PKI.
- Djoeni alias Atmosoediro (26 tahun), mantan kondektur Perusahaan Kereta Api Negara, bendahara VSTP, pengurus Sarekat Ra’jat, pengurus PKI.
- Sajaman alias Sanoesi (33 tahun), pemilik warung, pengurus Sarekat Ra’jat, pengurus PKI.
Bandung
- Abdoelgani (22 tahun), guru sekolah Sarekat Ra’jat di Bandung, pengurus dan propagandis PKI.
- Wiranta alias Basar (26 tahun), guru sekolah Sarekat Ra’jat, redaksi majalah Soeropati, pengurus PKI.
- Soemawinata (36 tahun), mantan petugas hutan, pengurus Sarekat Ra’jat dan PKI.
- Soewarti (25 tahun), istri Darmoprawiro, pengurus Barisan Istri, pengurus dan propagandis PKI.
- Sophie (Soefi) (29 tahun), istri Soeprodjo (Soepradja), pengurus Sarekat Ra’jat, pengurus Barisan Istri dan Parsarikatan Istri di Bandung.
Batavia
- Warsosasmito (26 tahun), mantan petugas di Perusahaan Kereta Api Negara, asisten guru sekolah Sarekat Ra’jat di Kerawang, propagandis PKI.
- Dachlan (22 tahun), guru sekolah Sarekat Ra’jat, redaksi majalah Njala, pengurus PKI.
Sumatra Barat
- Idroes gelar Soetan Indra (26 tahun), mantan pegawai Urusan Pekerjaan Umum, pengurus Sarekat Ra’jat di Solok, pengurus PKI Siloengkang, redaksi majalah PKI Solok, Panas.
- Moenaf gelar Tan Bidjo (30 tahun), mantan pegawai Urusan Pekerjaan Umum, pengurus PKI Solok, pengurus Perkoempoelan Kaoem Istri, pemimpin Sarekat Ra’jat,
- Adenin gelar Datoek Sampono Alam (26 tahun), petani, pemimpin Sarekat Ra’jat, pengurus Persatoean Kaoem Tani dan Persatoean Kaoem Istri di Kota Anau.
- Baharoedin (29 tahun), kondektur tram Aceh, pendiri Sarekat Ra’jat di Fort van der Capellen.
Kumpulan tulisan Jafar Suryomenggolo bisa dibaca di sini.