NARASI tentang anarkisme sebenarnya sudah eksis bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Hanya saja ketika membicarakannya pada hari-hari ini, seolah-olah ia menjadi sebentuk barang baru dari dunia Barat. Anarkisme adalah ideologi yang tak memiliki tanah air. Ia hanya tampak sebagai paham impor dari Eropa hanya karena dari sana bermula ideologi ini diartikulasikan, elemen-elemen dasarnya diformulasikan, diperbincangkan hingga paham ini terus mengada di antara paham-paham besar lainnya yang juga dilantangkan dari sana.
Namun, sesungguhnya ketika membicarakan anarkisme di Indonesia, juga sebenarnya tak lebih ibarat mengais elemen-elemen dasar yang sudah ada pada kearifan moyang Nusantara. Sebutlah misalnya moto “Do It Yourself (DIY)” atau “Lakukan sendiri”-nya para anarkis dalam menjauh dari kemudahan fasilitas negara sejalan dengan jargon “Berdiri di Atas Kaki Sendiri (Berdikari)”; gerakan “Civil Disobedience” atau pembangkangan sipil dapat disetarakan dengan aksi menolak bayar pajak oleh kaum Samin pimpinan Suro Sentiko; semangat “Kolektivo” tentu dapat disejajarkan dengan tradisi “Gotong-royong”, juga pilihan sikap kaum Eco-Anarchist dalam hal menjauhi teknologi yang dianggap merusak kemanusiaan, tradisi penolakannya sudah lama dipraktikkan oleh urang Kanekes (Suku Baduy).
Baca juga: Tiga Abad Anarkisme Eropa
Para pemikir dan pelaku sejarah pra-kemerdekaan banyak memiliki ketertarikan tentang paham ini, setidaknya sering membicarakannya. Gerakan anarkis dan buruh sindikalis sudah melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda hingga masa fasis Jepang menguasai Indonesia. Tapi gerakan anarkisme ini tidak pernah tercatat di dalam sejarah Indonesia. Belakangan, buku Perang yang Tidak akan Kita Menangkan yang ditulis Bima Satria Putra dan diterbitkan pada 2018 oleh Pustaka Catut, cukup baik untuk dipakai sebagai pijakan mengenal sejarah anarkisme Indonesia pra-kemerdekaan. Beberapa penerbit kecil dan menengah seperti Daun Malam, Jalan Baru, Resist Book, Independen, Pustaka Catut, Marjin Kiri, Ultimus, sudah mulai menerbitkan tulisan dan terjemahan soal anarkisme.
Namun, untuk kebangkitannya kembali pascakemerdekaan, sejarah terkadang menyajikan hal yang tak disangkakan. Yaitu dengan kemunculannya lagi sebagai tren dan fashion di kalangan anak muda pada akhir era 1970-an, di mana punk (rock) muncul. Meskipun tak ada kesadaran politik di dalamnya, duapuluh tahun kemudian tren ini menginspirasi bangkitnya musik anarko-punk yang sangat politis. Era 1980-an anarkisme absen dalam gerakan perlawanan di Indonesia.
Baca juga: Anarkisme dalam Perang Sipil Spanyol 1936
Aktivis kiri 1980-an adalah mereka yang beraliran sosial-demokrat (sosdem) ataupun Marxis. Anarkisme baru tumbuh lagi era 1990-an menjelang jatuhnya Soeharto. Kebangkitan ini juga disebabkan karena mereka muak terhadap aktivis pro-demokrasi generasi 1980-an. Awal-awal kebangkitannya diwarnai dengan kekhasan anarkis seperti aksi langsung, sabotase, perusakan, dan semacamnya. Strategi demonstrasi semacam ini cukup membuat kaget para aktivis angkatan 1980-an yang biasa melakukan aksi damai, banyak orasi, happening art, dan kompromistis. Selain itu, kebangkitan anarkisme ini juga dikarenakan ada kekhawatiran dengan menguatnya Islam fundamentalis.
Pada era 1990-an banyak kolektif tumbuh di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta. Mereka mempromosikan kembali ide-ide anarkisme karena –sekali lagi, gerakan aktivis kiri 1980-an dianggap omong-kosong. Promosi anarkisme ini melalui Infoshop, zine, dan lirik lagu yang mereka mainkan di setiap gig anarko-punk dan underground. Cara ini cukup mampu menarik minat kaum muda, hingga semakin banyak penganut paham anarkis dari kalangan muda.
Baca juga: Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (1)
Hal tersebut menjadi perhitungan bagi Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai yang mengincar konstituen muda. Banyak aktivis anarkis yang akhirnya direkrut PRD. Para anarkis di dalam PRD ini pada 1999 mendirikan Front Anti Fasis (FAF). FAF membuat dua proyek konsolidasi nasional. Yang pertama pada Desember 1999 dengan memunculkan Jaringan Anti Fasis Nusantara (JAFNus). Yang kedua pada tahun 2000, sukses dilaksanakan di Kolektif Taring Padi (TP) yang menduduki gedung bekas Kampus Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (FSR ISI) di Yogyakarta.
Tulisan ini sekaligus mengoreksi kesalahan di dalam buku Perang yang Tidak akan Kita Menangkan pada bagian yang menyatakan konsolidasi itu gagal karena dibubarkan Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK). Pada bulan Februari 2001, penulis mendapat pesan singkat dari seniman angota TP yang mengabarkan bahwa GPK telah menyerang Kolektif TP dan melukai tiga aktivis anarkis yang masih tinggal setelah acara. Itu artinya penyerangan terjadi selang beberapa bulan setelah konsolidasi. Beberapa bulan kemudian, Arif –penulis menyebut namanya untuk mengenang, meninggal akibat luka yang dideritanya. Tak lama FAF akhirnya bubar setelah merasa hanya dimanfaatkan oleh PRD.
Pada 2007 konsolidasi ketiga dilakukan dan membentuk Jaringan Anti Otoritarian (JAO). Sifatnya lebih sebagai asosiasi bebas, bukan federasi. Tujuannya untuk uji-coba tampil di publik (show-off project) mengukur respons masyarakat tentang anarkisme. Pada Hari Buruh 2008, JAO melakukan aksi pertamanya dan rusuh. Pada hari itu pakaian dan bendera hitam tampil pertama kali. Seorang aktivis anarkis dengan pseudonim Woytex asal Polandia tertangkap dan dideportasi ke negara asalnya.
Baca juga: Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (2)
Pada kesempatan berikutnya sabotase, perusakan fasilitas negara menjadi biasa dilakukan setiap aksi-aksi langsung kelompok anarkis. Sebutlah, pada 9 Desember 2009, aksi di Makassar rusuh dengan pembakaran super market dan gerai KFC. Pada 22 Maret 2011, masih di Makassar, satu mesin ATM BCA dirusak. Dua minggu kemudian satu lagi ATM dirusak di Manado. Pada Juni 2011, sebuah mesin ATM milik BNI dibakar di Bandung. Semua sukses kecuali aksi peledakan ATM BRI di Yogyakarta. Dua aktivis anarkis, Billy dan Eat ditangkap. Aksi-aksi langsung yang menyasar simbol-simbol kapitalisme di kota-kota terus berlangsung. Show-off project yang dilansir tahun 2007 cukup berhasil. Anarkisme semakin dikenal khususnya oleh “Sejawat kiri”-nya akan sikap tanpa kompromi terhadap kapitalisme. Sikap ini mau-tidak mau juga semakin mengenalkan citra anarkisme yang keras dan brutal.
Namun, begitu gerakan anarkisme yang “lebih santai” juga terus dipromosikan di kolektif-kolektif anarkis. Seperti menumbuhkan tradisi literasi dengan pustaka jalanan, menerbitkan zine, meramaikan forum-forum diskusi, membuka lapak Infoshop, mengadakan pembagian makanan gratis atau Food Not Bomb (FNB), dan juga lewat seni seperti tato, sablon, gig, festival anarkisme, dan semacamnya. Anarkonesia salah satu kolektif studi anarkisme di Jakarta dua kali menggelar Festival Merah-Hitam, tahun 2016 dan 2017.
Baca juga: Jejak Buruh di Awal Mei
Babak berikutnya aksi anarkisme dengan sasaran simbol-simbol kapitalis kota sedikit dikurangi, dan perlawanan yang lebih masif semakin difokuskan untuk mendukung petani, masyarakat adat, dan rakyat miskin urban dalam kasus-kasus agraria, daripada kasus-kasus perburuhan. Hal ini dikarenakan tiga hal: Pertama, para anarkis tidak begitu menyukai gaya perjuangan buruh yang hierarkis. Kedua, kental dengan kepentingan politik elite buruh. Dan ketiga kasus perburuhan menjadi “milik” aktivis Marxis.
Pada Mayday 2016 beberapa aktivis Anarkonesia terlibat konflik dengan aktivis buruh. Menurut mereka menuntut penguasa memperbaiki nasib buruh adalah bentuk kebodohan. Buruh harus mengupayakan sendiri perbaikan nasibnya dan tidak menyerahkan pada lobi-lobi perwakilan elite mereka. Organisasi buruh harus dirombak agar terhindar dari hierarkisme. Pada tahun yang sama, beberapa aktivis tersebut mendirikan Persaudaraan Pekerja Anarko Sindikalis (PPAS). PPAS pada 28 Desember 2019 bergabung dengan International Workers Association (IWA).
Kasus-kasus agraria yang berupa perebutan tanah milik petani oleh negara ataupun korporasi sangatlah banyak terjadi di Indonesia. Dimulai dari kegagalan proses pengeboran yang menimbulkan bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo, kasus tambang pasir dan pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) keduanya di Kulonprogo, penolakan pabrik semen di Kendeng, penggusuran kampung seperti yang terjadi di Ciliwung, Jakarta, dan Taman Sari, Bandung.
Baca juga: Tanah untuk Rakyat
Kesewenang-wenangan merebut tanah rakyat menjadi-jadi karena jauh dari publikasi seperti yang terjadi di pedesaan di Jawa pada kasus Tumpang Pitu di Banyuwangi dan Urut Sewu di Kebumen. Yang lebih parah jika perampasan tanah rakyat dilakukan oleh korporasi berskala besar dan terlebih di luar Jawa seperti perusahaan sawit yang banyak di Sumatra juga perusahaan pertambangan batubara yang bertebaran di Kalimantan. Di daerah-daerah konflik semacam itu para aktivis anarkis banyak turun aksi langsung dengan terlibat mendampingi korban. Mereka kebanyakan bergerak bersama aktivis-aktivis lingkungan seperti Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
“Gerakan Kembali ke Desa” sebutlah begitu, menjadi seolah mengakarkan kembali kearifan elemen-elemen anarkisme moyang setelah sekian panjang mengembara di ingar-bingar perlawanan perkotaan. Tetap berlawan tanpa sorot lampu jalanan. Panjang umur perlawanan.