KAMP Plantungan terletak di kaki Gunung Prau, Kendal, Jawa Tengah. Tempat sangat terpencil ini jadi “Pulau Buru”-nya tahanan politik perempuan. Mereka yang diasingkan ke Kamp Plantungan merupakan tahanan politik golongan B, yakni terindikasi aktif dalam organisasi komunis tetapi tidak cukup bukti untuk diadili.
“Mereka sebagian besar orang-orang yang punya aktivitas politik, seni, maupun olahraga. Mereka orang-orang terdidik,” kata sejarawan Amurwani Dwi Lestariningsih kepada Historia. “Mereka yang diasingkan di Plantungan ada yang aktivis Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), mahasiswa anggota CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), simpatisan PKI, tapi ada juga yang salah tangkap.”
Misalnya, Sumilah berusia 14 tahun ditangkap di Yogyakarta. Sumilah yang sebenarnya tinggal di Desa Brosot, sedangkan dia di Prambanan. Ada pula perempuan yang ditangkap sebagai jaminan atas suaminya, seperti Ratih, istri Ooloan Hutapea, anggota Politbiro CC PKI. Ratih tidak berafiliasi dengan organisasi PKI apa pun. Begitu pula dengan istri Nyono, ketua SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), juga tidak aktif dalam gerakan.
Ada sekira 500 tahanan politik perempuan yang ditahan di Kamp Plantungan. Tujuh di antaranya sebagai berikut:
Umi Sardjono
Anggota DPR-GR ini ditangkap lantaran mengetuai Gerwani, organisasi perempuan berafiliasi dengan PKI. Dia ditangkap bersama beberapa anggota Gerwani di Senayan.
Annie Pohlman dalam Women, Sexual Violence and Indonesian Killings of 1965-66 memuat wawancaranya dengan Umi. Umi mengungsi ke Senayan lantaran terjadi kerusuhan dan pengrusakan pasca 1 Oktober 1965. Rumahnya turut kena sasaran. Ia mengepak barang-barangnya lalu menginap di kantin dan wisma DPR di Senayan.
Baru satu malam menginap Umi ditangkap lalu dibawa ke Kodam. Dia diinterogasi berhari-hari. Dalam setiap interogasi, dia menolak tuduhan bahwa Gerwani menari telanjang dan menyiksa para jenderal. Dia ditahan di Penjara Bukit Duri, lalu dipindah ke Kamp Plantungan.
Lebih lengkap baca Umi Sardjono: Pembuka Jalan Gerakan Perempuan
Salawati Daud
Dia dikenal sebagai tokoh yang membawa ideologi kiri ke Sulawesi Selatan. Berkat kampanye masifnya di Tanah Toraja, PKI menang di wilayah ini pada pemilu 1955. Hal ini memuluskan jalannya untuk menjadi anggota DPR Fraksi PKI. Anggota Gerwani ini pernah menjabat sebagai walikota Makassar ketika Sulawesi sedang berhadapan dengan Westerling.
Pada hari penangkapannya, Salawati sedang menuju ke parlemen. Dia kemudian dibawa ke markas Kostrad, kemudian ditahan di Kamp Bukit Duri. Dia dipindah ke Kamp Plantugan pada gelompang pemindahan pertama.
Mia Bustam
Dia bernama asli Sasmia Sasmojo yang aktif di Seniman Muda Indonesia. Pada 1962-1963, dia menjadi Ketua Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) Yogyakarta. Dia pernah berkuliah di Universitas Rakyat, universitas yang didirikan PKI. Dia juga merupakan istri pertama pelukis S. Sudjojono. Dia memutuskan untuk berpisah dengan Sudjojono karena menolak dipoligini.
Dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp, Mia menceritakan detik-detik penangkapannya. “Terdengar suara tembakan. Orang-orang berbaju hijau berlompatan turun dari truk dan salah seorang dari mereka berteriak, ‘Semua yang berada di dalam keluar!’”
Mia ditangkap pada 23 November 1965 di Yogyakarta. Dia ditahan di Polres Sleman lalu dipindah ke Vredeburg pada Desember 1965. Pada April 1966, dia dipindahkan ke Wirogunan Yoyakarta hingga 1971, kemudian akhirnya di Kamp Plantungan. Pada 1976 dia dipindahkan lagi ke penjara Bulu, Semarang dan dibebaskan pada 1978. Setelah keluar dari pengasingan dia mendirikan organiasi mantan tahanan politik perempuan di Jawa Tengah dengan nama Sri Tanjung.
Dra. Bra. Murtiningrum
Murtiningrum adalah dosen bahasa Inggris di salah satu Universitas di Yogyakarta yang aktif dalam HSI (Himpunan Sarjana Indonesia). Dia memiliki darah keraton Yogyakarta. Meski kakaknya, Sultan Hamengkubuwono IX, dia tetap kena ciduk rezim Orde Baru.
Murtiningrum ditempatkan di blok C. Menurut Amurwani dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, tempat itu untuk tahanan dengan klasifikasi berat, seperti dosen dan seniman yang punya nama besar dan dikenal publik.
Tiap blok memiliki ketua dan wakil ketua yang bertugas mengkoordinasi tugas dan piket para tahanan politik. Mereka juga menjadi penghubung antara tahanan politik dengan petugas. Murtiningrum dipercaya oleh teman-temannya untuk menjadi wakil ketua blok C. Mereka percaya dia cukup cerdas dan kompeten untuk menampung aspirasi.
“Ketua blok harus pandai-pandai ‘bermain’ agar mendapat kepercayaan dari petugas kamp sekaligus tidak membiarkan petugas betindak sewenang-wenang terhadap para tahanan politik,” tulis Amurwani.
Sri Kayati
Perempuan bangsawan lain yang kena ciduk adalah Sri Kayati. Kendati berdarah Kasunanan Surakarta, dia menjadi anggota Lekra dan CGMI Surakarta. Bahkan, suaminya, Rewang adalah anggota CC PKI.
“Mereka yang punya ideologi yang di kala itu dilarang langsung ditangkap. Termasuk anggota keraton,” Kata Amur.
Sri Kayati ditangkap saat mencari suaminya di Surabaya. Pada saat penangkapan, petugas mengatakan bahwa Kayati hanya ditangkap sementara dan bila Rewang sudah tertangkap dia akan dibebaskan. Pada kenyataannya, hal itu tidak terjadi. Kayati dipenjara selama 14 tahun tanpa pernah diadili. Selama tiga tahun ditahan di Undaan, Surabaya, dia menyaksikan bagaimana tahanan perempuan disiksa dan menerima beragam pelecehan seksual. Dia dipindahkan ke Kamp Plantungan pada 1971.
Dra. Heryani Busono Wiwoho
Guru bahasa Inggris ini anggota HSI Yogyakarta. Suaminya, Dr. Busono Wiwoho merupakan pembantu dekan III Fakultas Psikologi UGM, sebelum akhirnya mejadi tahanan politik. Heryani mulai menjadi tahanan politik pada 1965 dan dibebaskan pada 1978.
Ketika Heryani ditangkap, anaknya berusia 4 dan 7 tahun. Selama 13 tahun ditahan, dia menitipkan anaknya kepada keluarga. Di Kamp Plantungan, dia menjadi ketua Blok C bersama Murtiningrum sebagai wakilnya.
Dr. Sumiyarsi Siwirni Caropebeka
Sumiyarsi terpilih menjadi anggota dewan eksekutif HSI beberapa waktu sebelum 30 September 1965. Sebagai bendahara di oraganisasi sarjana yang dianggap berafiliasi dengan PKI ini, rumahnya digeledah pada 13 Oktober 1965. Penggeledah itu bukan oleh aparat, melainkan preman Pasar Senen.
Ketika penggeledahan ini, Sumiyarsi sedang dalam perjalanan menuju ke rumah. Namun, di tengah jalan dia melihat perabotan rumahnya dikeluarkan kemudian dibakar. Ia mencoba menyelamatkan diri dengan bersembunyi di rumah tetangganya, Prof. Suprapto SH., seorang pengacara dan anggota pimpinan HSI pusat.
Dalam penggeldahan ini, para preman menemukan dokumen yang berisi permintaan sekretaris comite agar Sumiyarsi menuliskan surat keterangan izin libur bagi orang-orang PKI yang akan berlatih dalam rangka Dwikora. Dari sinilah, Sumiyarsi kemudian dikenal sebagai “dokter lubang buaya.”
Kala itu, Sumiyarsi menjadi panitia Konferensi Asia Afrika Oceania (KAAO). Berkat kebaikan rekannya yang juga panitia konferensi KAAO, dia dapat menyelamatkan diri dan menginap di Hotel Indonesia.
Berbekal honor sebagai panitia, Sumiyarsi menyelamatkan diri dari kejaran militer dengan berpindah-pindah ke berbagai tempat. Mulanya, dia bersembunyi di Semarang, kemudian ke Salatiga selama sebulan, lalu kembali ke Semarang lagi, setelahnya ke Surabaya. Namun, di Surabaya tidak aman, dia pindah ke Bandung. Pada Februari 1967, dia pindah ke Sukabumi karena Bandung juga tidak aman. Di Sukabumi, dia menginap di rumah seorang mantri bersama beberapa orang lain yang juga bersembunyi. Di tempat inilah dia ditangkap.
Sumiyarsi dibawa ke kantor polisi Sukabumi kemudian dipindah ke tahanan di Jalan Braga, Bandung. Setelah dua bulan, dia dipindahkan ke penjara Kebayoran Baru, kemudian dipindah lagi ke penajra Pesing, Jakarta. Dia kemudian dipindah ke Sarang Kalong, baru setelahnya dipindah ke penjara Bukit Duri. Dari Bukit Duri, dia dipindah bersama dengan tahanan politik golongan B lainnya ke Kamp Plantungan.