BERDIRINYA SI School merupakan cara untuk mengimbangi keberadaaan Hollandsch-Indische School (HIS), sekolah menengah yang hanya ditujukan bagi segelintir kalangan pribumi.
“Sekolah ini menjadi pesaing HIS, sekolah sekunder, terbuka dan terbatas untuk orang Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan dasar mereka di Sekolah Kelas II (Tweede Klasse),” kata sejarawan Harry Poeze, penulis biografi Tan Malaka, dalam pengantar brosur Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs.
Kualitas sekolah pada masa kolonial dikategorikan berdasarkan strata sosial dan ras. Seorang anak pribumi priayi tinggi diperbolehkan masuk ke sekolah-sekolah khusus warga kulit putih, sementara anak-anak dari rakyat biasa hanya diperbolehkan masuk di sekolah rendahan.
Untuk ukuran zaman itu, sekolah Tan Malaka terbilang sangat maju dan menjadi alternatif bagi anak-anak buruh untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Tak ayal, SI School mendapatkan cercaan dan kritik dari banyak media massa pro kolonial. Tan Malaka menulis salah satu koran yang mengeritiknya adalah Soerabajaasch Handelsblad. “Hai, pemerintah awasi S.I itu,” kata Tan Malaka menirukan berita di koran terbitan Surabaya itu.
Bahkan pemerintah kolonial di Semarang, melalui asisten residennya melarang siswa-siswa SI School untuk menyelenggarakan “pasar derma” untuk mengumpulkan sumbangan masyarakat demi pembiayaan sekolah mereka. Pemerintah kolonial memberlakukan larangan berdasarkan undang-undang pidana sehingga usia sekolah Tan Malaka itu tak berlangsung lama.
Masa hidup SI School berakhir seiring pengusiran Tan Malaka oleh pemerintah kolonial pada 1922. Tan Malaka memilih untuk diasingkan ke Belanda. Maka berakhirlah riwayat sekolah yang bercita-cita memerdekakan jiwa dan pikiran anak-anak buruh itu.
Upaya pelestarian bangunan SI School
Sejak dua tahun lalu, bangunan SI School yang reyot dan hampir rubuh tersebut menjadi bahan pemberitaan berbagai media massa. Musababnya adalah rencana pemugaran bangunan oleh Yayasan Balai Muslimin Indonesia (Yabami), pengelola tanah wakaf di mana bangunan sekolah itu berdiri.
Atas desakan kelompok masyarakat yang peduli sejarah Semarang, upaya pemugaran itu pun urung dilakukan. Kini Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah telah menetapkan bangunan SI tersebut sebagai bangunan bersejarah yang dilindungi UU Cagar Budaya No. 11/2010.
Menurut Yunantyo Adi, aktivis dari Kelompok Pegiat Sejarah Semarang (KPS Semarang), pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah telah menghibahkan dana sebesar Rp600 juta untuk merenovasi bangunan tersebut. “Menurut rencana, bangunan mau dipugar dan direnovasi seperti gambar Gedung SI tahun 1978 seperti sebuah foto yang sudah kami temukan,” katanya kepada Historia, Rabu (16/07).
Adi menuturkan, Tim BPCP Jawa Tengah akan mengupayakan pembangunan kembali gedung itu semirip mungkin dengan aslinya. Dia bersama KPS Semarang juga giat melobi Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi persoalan hukum atas status lahan yang dimiliki oleh Yabami tersebut.
“Besok (hari ini (17/07), Red.) kami akan menemui Walikota Semarang untuk mendorong dia memanggil pihak Yabami agar menyetujui pemugaran sehingga tak ada lagi kendala yang menghalangi upaya pelestarian bangunan bersejarah itu,” demikian pungkasnya.