MINUM susu telah menjadi kebiasaan banyak orang sejak dulu. Susu dianggap dapat memberikan kekuatan, kecantikan, memurnikan tubuh dan jiwa, hingga berperan dalam mencapai kesuksesan dan kebahagiaan. Kendati digambarkan sebagai minuman yang baik dan bermanfaat, susu juga tak lepas dari kontroversi yang turut membentuk citra susu di masa kini.
Menurut Catherine Long dalam “Mother’s –and Others’– Milk”, yang dimuat di JSTOR Daily, 17 Januari 2024, citra susu merupakan persepsi bersama tentang susu dan sifat-sifatnya, yang terus dibentuk oleh berbagai pihak –seringkali dengan motivasi berbeda sejak tahun 1840-an. Para pelaku ini termasuk produsen susu, asosiasi dan agen promosi, politisi, regulator, jurnalis, dan pembaharu. Setiap kontribusi mereka menambah lapisan pada citra susu, tak hanya menjadi pelengkap dalam suatu budaya, tetapi juga relevan dengan waktu tertentu.
“Karena citra susu tidak selalu sesuai dengan apa yang konsumen temukan di dalam gelas mereka, pengolahan susu dan susu itu sendiri mengalami transformasi yang tak terhitung jumlahnya. Baik citra maupun transformasi ini menjadikan susu sebagai ‘produk industrialisasi, urbanisasi, … dan ekonomi yang belum pernah ada sebelumnya’, yang biasa dikonsumsi tanpa mempedulikan keamanan, keterjangkauan, atau toleransi laktosa,” tulis Long.
Baca juga:
Pencitraan kontemporer susu dimulai pada masa revolusi industri, ketika urbanisasi menjadi hal umum pada pertengahan abad ke-19. Hannah Velten, mantan jurnalis pertanian, menulis dalam Milk: A Global History, secara umum susu sapi masih jauh dari kata “murni” di perkotaan pada abad ke-19. Bahkan, susu sapi justru dianggap berbahaya dan menjadi penyebab utama penyakit dan kematian, terutama di paruh kedua abad tersebut.
Penyebabnya, kandang sapi dan perusahaan susu di perkotaan mulai dibuka dan jaringan pengiriman susu didirikan untuk memenuhi permintaan susu yang terus meningkat. Sayangnya, susu diproduksi di kandang yang penuh sesak dan kotor oleh sapi-sapi yang sakit, diangkut dalam kondisi tidak higienis, dan disimpan tanpa pendingin yang mempercepat pengembangbiakan bakteri.
Terdapat deskripsi menghebohkan tentang kondisi sapi-sapi di perkotaan Amerika dan Inggris. Pada 1820-an, di sekitar New York dan Brooklyn, banyak kandang sapi dibangun dekat penyulingan alkohol. Ampas biji-bijian dari proses penyulingan dikirim dalam keadaan panas melalui talang kayu ke kandang sapi untuk pakan ternak.
“Sapi-sapi tersebut diberi makan hingga 32 galon setiap hari dan pada 1830-an, 18.000 ekor sapi di New York City dan Brooklyn diberi makan dari limbah tempat pembuatan bir atau penyulingan hampir secara eksklusif, dengan jumlah hingga 2.000 ekor dalam satu unit pemerahan,” tulis Velten.
Susu yang dihasilkan sapi-sapi ini berkualitas buruk dan rasanya tidak enak. Orang pertama yang menyalahkan peternakan sapi dekat tempat pembuatan minuman alkohol sehingga menyebabkan tingginya angka kematian bayi adalah Robert Milham Hartley. Dalam bukunya An Historical, Scientific and Practical Essay On Milk, reformis asal Amerika Serikat itu mencerca pemberian makanan tidak sehat dan tidak alami pada sapi, yang menyebabkan hewan-hewan tersebut menjadi kurus dan rentan terhadap penyakit. Akibatnya, sapi-sapi itu menghasilkan susu yang “tidak murni, tidak sehat, dan tidak bergizi”.
Hartley menyebut susu ini sebagai “susu kotor” dan “cairan encer dan hambar” yang dalam prosesnya diberi warna, serta dicampur obat untuk siap dijual. Ia menyimpulkan, penyakit terutama diare pada anak-anak, diakibatkan oleh susu yang tercemar ini.
Baca juga:
Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan
Kritik Hartley mengenai kondisi peternakan sapi yang menghasilkan susu terkontaminasi menarik perhatian masyarakat, yang sebelumnya dibuai dengan citra susu sebagai minuman sehat yang murni serta pelindung dari ancaman malnutrisi dan penyakit.
Menurut Long, Robert Hartley sesungguhnya salah satu orang pertama yang menyebut susu sebagai “makanan sempurna”, memperkenalkan gagasan tentang kebaikan susu murni. Ia menggambarkan susu –yang kala itu belum banyak diminum oleh orang Amerika– sebagai pengganti alkohol yang baik dan solusi bagi kekurangan gizi pada anak-anak perkotaan yang miskin. Promosi konsumsi susu ini pada akhirnya membawa Hartley pada advokasi susu murni ketika ia menyadari kondisi pasokan susu di kota yang memprihatinkan.
Hartley kemudian menyerukan penutupan kandang-kandang sapi yang tak layak di perkotaan. Selain dapat menghentikan penjualan susu yang tercemar dan berbahaya, menurut Hartley, tindakan ini juga dapat mengatasi produksi dan penyebaran alkohol di perkotaan.
“Meskipun upayanya menemui kegagalan, Hartley berhasil menciptakan citra baru untuk susu. Para jurnalis investigasi awal dan kaum progresif sosial mengadopsi gagasan bahwa susu murni dan sehat masih sangat penting meskipun angka kematian terkait susu meningkat di antara anak-anak yang tinggal di kota selama pertengahan tahun 1800-an. Para jurnalis dan kaum progresif ini gencar menyuarakan pertumbuhan kota yang tidak terbatas dan pemerintahan yang korup dan terbatas yang tidak mampu mengimbangi sedikitnya layanan yang ditawarkan. Dengan demikian, krisis susu menjadi lambang masalah kota dan titik fokus advokasi,” tulis Long.
Kedua kelompok itu saling mengumpulkan bukti-bukti tak terbantahkan mengenai susu terkontaminasi, mulai dari kondisi sapi yang tidak sehat dan rentan terkena penyakit, lokasi gudang susu yang tercemar, hingga dampak buruk susu yang terkontaminasi terhadap anak-anak. Pemberitaan terus-menerus tentang proses pengolahan susu yang tak layak dan dampak berbahaya dari susu yang tercemar mendorong munculnya gagasan baru yang mempromosikan langkah-langkah sanitasi untuk susu sapi perahan.
Namun, kelambanan pemerintah dalam menanggulangi masalah ini membuat para reformis bergerak untuk mengimpor susu dari perusahaan susu di pedesaan. Opsi ini dianggap cocok bagi warga New York yang kaya yang ingin mendorong produksi pangan keluar dari kota sebagai bentuk perlawanan terhadap pertanian perkotaan. Hal ini juga dianggap sejalan dengan pandangan konsumen yang kerap mengaitkan kemurnian susu dengan alam pedesaan dan gaya hidup tradisional.
Akan tetapi pengadaan susu dari pedesaan tidak sesuai harapan. Perusahaan susu di pedesaan memiliki kapasitas produksi yang terbatas dan dibayangi oleh masalah kebersihan. Pengemasan dan pengangkutan susu belum meminimalkan kontaminasi yang mungkin terjadi. Konsumen juga tidak dapat membedakan susu pedesaan yang asli dengan yang palsu yang tak terhitung jumlahnya di perkotaan.
Baca juga:
Keterbatasan pasokan susu dari pedesaan membuat susu membutuhkan transformasi yang dimulai dengan penanganan dan distribusi dalam bentuk wadah tertutup dan gerbong kereta berpendingin. Meski inovasi-inovasi ini belum menghasilkan susu murni yang tidak terkontaminasi, tetapi telah membentuk kembali pasar susu Amerika yang semakin dipenuhi perusahaan susu profesional.
Perkembangan ilmu bakteriologi mendorong transformasi susu lebih lanjut, yang mengubah citra susu menjadi lebih higienis dibandingkan dengan padang rumput di pedesaan. “Perusahaan susu kecil di pedesaan, yang kini dianggap sebagai sumber susu tidak murni, menjadi penjahat baru; sedangkan para industrialis susu yang memiliki sumber daya yang lebih baik sebagai hasil dari konsolidasi produk susu, bersama dengan profesional medis dianggap sebagai pahlawan susu murni. Bersama-sama mereka mempromosikan dan menerapkan standar produksi dan distribusi yang higienis,” tulis Long.
Para produsen susu industri, bersama para ahli di bidang kesehatan dan pembaharu yang terus bertambah, akhirnya beralih ke pasteurisasi untuk menghasilkan susu murni dengan biaya yang terjangkau. Hal ini menuai pro dan kontra di masyarakat karena pasteurisasi dikhawatirkan mengubah kealamian dan kemurnian susu. Oleh karena itu, para pemerhati susu membutuhkan sesuatu yang dapat mendorong para ibu untuk memberikan lebih banyak susu kepada keluarganya. Kepentingan ini menggeser penekanan citra susu dari higienitas menjadi kesehatan, dengan klaim bahwa susu memberikan pertumbuhan dan manfaat yang istimewa bagi tumbuh kembang anak-anak.
Sejak periode awal abad ke-20, para industrialis susu dengan bantuan pemerintah dan profesional medis menggunakan iklan untuk menampilkan anak-anak yang sehat dan aktif dengan pesan-pesan yang memuji kandungan gizi di dalam susu. Hal ini dilakukan seiring berkembangnya ilmu gizi dan nutrisi, mulai dari penemuan vitamin dan mineral tahun 1920-an, hingga rekomendasi nutrisi USDA (United States Department of Agriculture) yang memungkinkan industri susu menciptakan pesan citra kesehatan bahwa konsumsi susu yang tidak memadai pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan kekurangan kalsium yang berbahaya.
Konsumsi susu terus melonjak setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II, serta mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 1940-an. Tingginya permintaan susu membuat produsen memproduksi susu dalam jumlah besar. Hal ini mulai menjadi masalah ketika permintaan merosot pada 1980-an dan 1990-an, seiring berkembangnya pasar minuman berperisa seperti soda, jus, dan minuman berenergi. Lambat laun susu dianggap membosankan sehingga minat konsumen terhadap minuman kaya manfaat ini semakin menurun.
Baca juga:
Sekali lagi, industrialis susu mencari cara untuk meningkatkan penjualan dengan menyesuaikan citra susu pada kebutuhan dan minat masyarakat, salah satunya memfokuskan citra susu pada masalah kesehatan yang berkaitan dengan berat bedan. Selain memasarkan susu sebagai penurun berat badan yang sehat, di mana susu tak hanya dipromosikan sebagai minuman yang mampu membuat tubuh menjadi kuat tetapi tetap ramping; para produsen juga memproduksi dan memasarkan susu yang mampu membantu konsumen meningkatkan berat badan dengan cara yang sehat. Seiring meningkatnya perhatian masyarakat terhadap dampak lingkungan imbas aktivitas industri, para produsen susu kembali muncul dengan citra baru yakni susu organik untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat masa kini.*