Belum lama ini jagat media sosial Indonesia kembali dibuat ramai dengan sebuah kisah berbau mistik dari salah seorang pengguna Instagram (@tasyabira). Unggahan yang dimuat ulang akun Twitter @yozerxx itu berisi hasil pemindaian x-ray seorang pasien yang memperlihatkan susuk dengan jumlah yang amat banyak.
Pemilik akun @tasyabira diketahui tengah mengerjakan studi kasus tentang kepemilikan susuk seorang pasien berusia 55 tahun yang terdeteksi alat pemindai kesehatan. Dia mendapati di dalam tubuh pasien itu bertebaran ratusan jarum kecil di bagian perut, serta tiga buah di bagian mulut dan gigi.
Menurutnya, susuk jarang menimbulkan komplikasi sehingga terkadang tidak terdeteksi di mesin pemindai kesehatan. Kalaupun terlihat, itu terjadi secara kebetulan. Dan biasanya ketika diambil foto x-ray kembali, letak susuk itu akan berubah. Susuk umumnya terbuat dari bahan emas atau tembaga, jadi bisa terlihat di mesin x-ray.
Baca juga: Meleburkan Seks dan Mistik
“Terus nih, menurut kepercayaan sebagian orang kalo dia ketahuan pake susuk, bisa-bisa susuk itu jadi ga manjur lagi, makanya pasien-pasien ini kadang gamau ngaku karena itu sebabnya, juga karena malu of course,” tulis @tasyabira. “Dokternya juga lebih memilih diam aja kalo kasusnya begini selama susuk ini ga bermasalah buat kesehatan si pasien.”
Sebagian masyarakat Indonesia, percaya atau tidak, memang masih mengandalkan susuk untuk media memperindah diri. Namun rupaya pemakaian susuk tidak hanya ditujukan bagi paras manusia semata, tetapi juga dikenal di dalam tradisi Hindu Buddha. Istilah “susuk” digunakan untuk menandakan sebuah tempat suci.
Uniknya, baik susuk yang ditanam di dalam tubuh manusia, maupun susuk yang ditanam di tanah sebagai penanda sebuah tempat suci, sama-sama dipercaya memiliki daya magis. Menjadi bagian dari keyakinan yang dipertahankan masyarakat.
Tanda Lokasi Suci
Pada era kekuasaan Hindu Buddha di Nusantara, setiap daerah memiliki sebuah lokasi yang dianggap suci oleh masyarakat di sekitarnya. Sebuah tempat yang tidak bisa dimasuki sembarang orang. Di dalam naskah kuno, serta prasasti, tempat itu dikenal sebagai sima.
Menurut Timbul Haryono dalam “Sang Hyang Watu Teas dan Sang Hyang Kulumpang: Perlengkapan Ritual Upacara Penetapan Sima pada Masa Kerajaan Mataram Kuna” dimuat Humaniora No. 12 Tahun 1999, kata ‘sima’ berasal dari bahasa Sansekerta ‘siman’ yang artinya batas, tapal batas. Secara harfiah, sima berarti sebidang tanah sawah atau kebun yang telah diubah statusnya menjadi wilayah perdikan atau swatantra sehingga para petugas pemungut pajak tidak boleh melakukan kegiatannya di wilayah tersebut. Biasanya tanah sima menjadi lokasi bangunan suci.
Baca juga: Kisah Mistis Candi Borobudur
“Penetapan tanah menjadi sima merupakan peristiwa yang amat penting di dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno karena sejak saat itu terjadi perubahan pertanggungjawaban. Semula penduduk bertanggung jawab kepada raja, setelah tanahnya ditetapkan menjadi sima maka mereka bertanggung jawab kepada kepala sima,” tulis Haryono.
Di setiap lokasi sima yang suci itu akan dijumpai sebuah penanda berupa prasasti, atau di beberapa tempat dijumpai tanda lokasi hanya berbentuk batu yang ditancapkan ke tanah. Di beberapa prasasti, seperti Prasasti Tihang 836 S di era Mataram Kuno, penanda lokasi sima disebut sang hyang watu sima. Namun di prasasti lain dijumpai penyebutan lain, yakni susuk sima. Batu penanda itu, imbuh Timbul, kemungkinan bentuknya menyerupai lingga dan ditempatkan di tengah-tengah tempat upacara.
Pemakaian susuk juga dilakukan untuk menandai batas tanah yang sudah ditetapkan menjadi sima. Di dalam prasasti dijumpai sebutan wungkal susuk sima. Fungsinya sama seperti batu patok, yang keberadaannya sangat penting. Batu itu ditanam di pinggiran sekitar lokasi sima. Dalam Prasasti Peradah 865 S disebutkan: “… I tlas sang wahuta hyang kudur umaratistha sang hyang wungkal susuk ing sahinga (iparadah i) tagi.” artinya “setelah sang wahuta hyang kudur menancapkan batu sima di batas (sudut) tanah sima (di Pradah) dan di Tagi”.
Baca juga: Raja-Raja di Singgasana Mataram Kuno
Arkeolog R. Soekmono dalam The Javanese Candi: Function and Meaning, menyebut bahwa di dalam beberapa prasasti tertulis istilah susuk yang merujuk pada lokasi tanah sima, baik menunjukkan pusat maupun batas tempat suci tersebut. “Fakta bahwa sebuah batu menandai pusat sima menimbulkan pertanyaan apakah penanda lain ada di batas luar. Meskipun orang mungkin berpikir bahwa penanda seperti itu tidak penting sebagai inti batu, tidak memerlukan ritual terpisan,” ucapnya.
Tidak hanya di dalam prasasti, susuk juga tertulis di dalam naskah kuno. Di dalam penelitian sastra Jawa Tantu Panggelaran, Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran, Dwi Ratna Nurhajarini dan Suyami menemukan istilah susuk juga dipakai sebagai penanda sebuah tempat bagi orang-orang suci. Naskah Tantu Panggelaran sendiri merupakan buku panduan tentang bangunan suci di Pulau Jawa.
Dalam karya sastra yang ditulis pada 1557 dalam bentuk prosa itu didapati istilah susuk sina brata, yang dianggap sebagai “batu suci penanda lahan bebas untuk bertapa”. Keberadaan susuk itu juga menandai sebuah tanah larangan (bathara) di wilayah Sang Hyang Mahameru untuk tempat berdiam orang-orang suci.
“Tampaknya sima dibatasi secara magis-religius dengan ritual penempatan batu di tengahnya dan pilar batu di perbatasannya,” tulis Soekmono.