Ada dua prasasti Balitung yang memuat daftar penguasa Mataram Kuno sebelum dirinya. Namun, bukan berarti semua permasalahan mengenai Dinasti Sailendra, keluarga raja penguasa Mataram Kuno diawali dari Sanjaya, terpecahkan.
Sugeng Riyanto, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, mengatakan kemunculan Kerajaan Mataram Kuno seakan terjadi tiba-tiba. Prasasti yang diharapkan dapat memberi informasi tentang masa sebelum dimulai dan awal Mataram Kuno dengan Sanjaya sebagai rajanya, belum ditemukan.
“Selain untuk mendapat gambaran proses kontinuitas kedua fase secara lembut, jadi tidak terkesan Mataram muncul tiba-tiba, prasasti yang diharapkan itu juga dapat menjadi kunci menelusuri leluhur raja-raja Mataram lebih jauh ke belakang,” tulisnya dalam “Situs Liyangan Dalam Bingkai Sejarah Mataram Kuno” termuat di Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No. 2 2017.
Nama Kerajaan Mataram Kuno muncul pertama kali pada masa pemerintahan Sanjaya. Gelarnya, Rakai Mataram, artinya penguasa wilayah Mataram.
Nama Mataram masih dipakai sampai masa Raja Dharmawangsa Tguh, sebagaimana dalam Prasasti Wwahan dari 985 M. Kendati pusatnya sudah pindah ke Jawa Timur.
Baca juga: Berebut Takhta Mataram Kuno
Epigraf Boechari menjelaskan, Rakai Mataram san Ratu Sanjaya diketahui naik takhta pada 716 M. Itu berdasarkan hitungan arkeolog Louis Charles Damais atas penanggalan Prasasti Taji Gunung bertarikh 194 Sanjayawarsa dan Prasasti Timbanan Wungkal 196 Sanjayawarsa.
Damais menghitung, tahun itu sama dengan 832 dan 834 Saka. Kalkulasinya dibenarkan Prasasti Tihang dari Raja Daksa yang memuat dua angka tahun, 198 Sanjayawarsa dan 836 Saka.
“Jadi 1 Sanjayawarsa sama dengan tahun 638 Saka atau 716 M,” tulis Boechari dalam “Tafsiran Prasasti Wanua Tengah III” termuat di yang terbit dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.
Pemerintahan berikutnya dijelaskan lewat daftar raja-raja dalam dua prasasti masa Balitung. Prasasti Mantyasih (907 M) dan prasasti Wanua Tengah III (908 M) hingga kini menjadi sumber paling penting untuk merekonstruksi historiografi Mataram Kuno. Ini setidaknya sejak pemerintahan Sanjaya pada abad ke-8 M, hingga Balitung abad ke-10 Masehi. Kendati begitu daftar nama itu tak berarti menunjukkan silsilah keluarga Kerajaan Mataram.
Berdasarkan daftar raja yang tertulis dalam Prasasti Mantyasih (907 M) terdapat sembilan penguasa Kerajaan Mataram Kuno sampai masa Balitung. Diawali Rakai Mataram sang Ratu Sanjaya, Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Panunggalan, Sri Maharaja Rakai Warak, Sri Maharaja Rakai Garung, Sri Maharaja Rakai Pikatan, Sri Maharaja Rakai Kayuwangi, dan Sri Maharaja Rakai Watuhumalang. Terakhir adalah raja yang menulis prasastinya, Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung.
Baca juga: Perempuan Penguasa Masa Mataram Kuno
Sementara berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III, ada 13 raja yang pernah berkuasa di Mataram Kuno sebelum Balitung. Disebutkan Rakai Panangkaran naik takhta pada 746 M. Tiga puluh delapan tahun kemudian (784 M), dia digantikan Rakai Panaraban. Pada 803 M, rajanya berganti Rakai Warak Dyah Manara yang menjabat 24 tahun. Pada 827 M penggantinya Dyah Gula hanya bertahan tiga tahun. Pada 829 M, Rakai Garung menggantikannya. Delapan belas tahun kemudian, Rakai Pikatan Dyah Saladu naik ke singgasana pada 847 M.
Rake Kayuwangi Dyah Lokapala bertakhta delapan tahun kemudian pada 855 M. Dia bertahan selama 30 tahun untuk kemudian diganti Dyah Tagwas pada 885 M.
Berdasarkan informasi prasasti itu, Dyah Tagwas hanya berkuasa tujuh bulan kemudian tersusir (kādəh) dari istana. Dia digantikan Rake Panumwangan Dyah Dawendra yang hanya sanggup mempertahankan kedudukannya dua tahun. Pada 887 M, Rake Gurunwangi Dyah Bhadra menggantikannya. Tak sampai sebulan kekuasaannya berakhir.
Setelah itu, selama kurang lebih tujuh tahun Mataram tak ada yang memimpin. Baru pada 894 M, Rakai Wungkalhumalang Dyah Jəban bertakhta selama empat tahun. Pada 898 M, Rakai Watukura Dyah Balitung gantian dimahkotai.
Persoalannya, masih ada beberapa prasasti lain yang menyebut beberapa nama raja. Mereka diberitakan memerintah dalam waktu yang bersamaan dengan tokoh dalam Prasasti Wanua Tengah III.
Baca juga: Perjanjian Giyanti Membelah Mataram
Misalnya, Prasasti Kelurak dari 782 M, menyebut Sri Samgramadhananjaya dengan julukan Sri Wirawairimathana. Adapula Prasasti Abhayagiriwihara 792 M menyebut Raja Dharmatungga. Sementara prasasti dari 824 M menyebut nama Raja Sri Samaratungga yang mempunyai putri bernama Pramodawardhani. Lalu prasasti yang ditemukan di depan percandian Plaosan Lor menyebut Raja Bhujayottungga.
“Mungkin raja-raja yang disebut dalam empat prasasti itu hanya menyebut gelar penobatannya saja,” kata Boechari. Sementara Prasasti Wanua Tengah III dan Prasasti Mantyasih hanya mencantumkan gelar rakai-nya.
Padahal gelar lengkap raja-raja wangsa Sailendra dalam prasasti biasanya terdiri atas tiga unsur. Pertama adalah gelar rakai yang diiikuti nama daerah lungguhnya. Selanjutnya adalah nama yang mereka terima waktu lahir diikuti gelar penobatan.
Contohnya Rakai Kayuwangi dyah Lokapala Sri Sajjanotsawatungga. Nama ini menunjukkan sebelum menjadi raja Mataram, dia adalah penguasa dari Kayuwangi. Nama lahirnya adalah dyah Lokapala. Gelar penobatannya Sri Sajjanotsawatungga.
Baca juga: Tradisi Minum Tuak Zaman Mataram Kuno
Menurut Boechari, itu mungkin sama halnya dengan Sri Samgramadhananjaya dalam Prasasti Kelurak. Nama itu, melihat tahunnya, merupakan gelar penobatan Rakai Panangkaran. Nama lengkapnya pun menjadi Rakai Panangkaran dyah Sangkara Sri Samgramadhananjaya.
“Sementara kita belum tahu kapan percandian Plaosan Lor dibangun kita belum dapat mengidentifikasikan Bhujayottungga,” kata Boechari.
Balitung sendiri bukanlah raja terakhir Mataram Kuno.
Sugeng Riyanto menjabarkan Daksa atau Sri Dakṣottama Bahubajra Pratipakṣakṣaya menggantikannya pada 910/911 M. Dia mengangkat Rakai Layang Dyah Tlodhong sebagai putra mahkota yang kemudian menggantikan Daksa pada sekira 918/919 M. Itu sebelum akhirnya digantikan oleh Rakai Sumba Dyah Wawa pada 928 M.
Berita berikutnya, Mpu Sindok memindahkan kerajaannya ke bagian timur Jawa. Dia membangun pusat kerajaan di Tamwlang sekaligus membangun wangsa yang baru, yaitu Isana.
“Meskipun sebenarnya masih anggota wangsa Sailendra,” jelas Sugeng.
Alasan kepindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur ini pun hingga kini masih memiliki banyak versi dari beberapa ahli.