Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Amangkurat I Dikhianati

Para pengkhianat mulai bermunculan ketika Sultan Mataram itu kehilangan kekuasaan. Mulai dari pejabat istana, kemenakan raja, hingga rakyat biasa.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 29 Mei 2021
Kompleks pemakaman keluarga Mataram Imogiri (Troppen Museum/Wikimedia Commons)

Awal Juli 1677, pasukan Raden Trunajaya berhasil menguasai ibu kota Mataram seutuhnya. Raja beserta keluarga, serta para pangeran yang seharusnya bertanggung jawab atas pertahanan istana, telah lama hengkang. Mereka memilih menyelamatkan diri dan menyerahkan keraton berusia seratus tahun beserta seluruh harta di dalamnya setelah tidak mampu membendung kekuatan para pemberontak tersebut.

Menurut H.J. De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram, peristiwa jatuhnya istana Mataram ke tangan para pemberontak sebenarnya bisa dihindari, mengingat Mataram masih memiliki persenjataan lengkap: sepuluh meriam besar, dan 20.000 prajurit yang siap diterjunkan ke medan tempur. Dengan kekuatan seperti itu mungkin mereka masih dapat bertahan dari gempuran pasukan Trunajaya, yang meskipun unggul jumlah tetapi kalah pengalaman berperang.

“Tetapi pertahanan Mataram hancur dari dalam karena anarki dan pengkhianatan,” kata De Graaf.

Advertising
Advertising

Pengkhianatan yang dimaksud De Graaf tersebut berasal dari orang-orang di sekitar Amangkurat I, termasuk para pembesar istana dan kemenakan raja. Menurut M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, para pejabat tinggi Mataram memiliki keinginan memberontak jauh sebelum Raden Trunajaya melakukan kekacauan di Mataram.

Baca juga: Hari-hari Terakhir Amangkurat I

Sejarawan asal Australia itu menyebut jika pengkhianatan para pembesar istana terhadap Amangkurat I terjadi lantaran Sultan dianggap sudah tidak memiliki kemampuan untuk membawa kemajuan kepada kerajaan. Usianya pun sudah lanjut dan tubuhnya sudah digerogoti penyakit. Selain itu juga tersiar ramalan-ramalan di masyarakat tentang akhir abad Jawa. Mereka meyakini bahwa kekuasaan Mataram di bawah trah Amangkurat sebagai penghujung siklus abad tersebut.

“Banyak pembesar Jawa tidak mau lagi mengakui Amangkurat I sebagai raja mereka dan bergabung dengan kaum pemberontak,” kata Ricklefs.

Pilihan yang sama juga ditunjukkan para kemenakan Amangkurat I. Orang-orang terdekat raja satu per satu menunjukkan gelagat berkhianat saat Trunajaya secara terang-terangan menentang pemerintahan Mataram. Satu yang mungkin paling keras dalam melakukan pemberontakan adalah keluarga Kajoran. Raden Wirakusuma, Putra Raden Kajoran, menjadi pemimpin pasukan penyerangan ke keraton Mataram. Dia berada di bawah pimpinan langsung Panglima Madura Mangkuyuda.

Keluarga Amangkurat dan Keluarga Kajoran, imbuh De Graaf, memiliki tali persaudaraan yang kuat. Mereka terikat oleh hubungan perkawinan yang telah berlangsung sejak Ki Ageng Pamanahan, pendiri dinasti Mataram, bekuasa. Seorang putri Panembahan Agung ing Kajoran menikah dengan putra Ki Ageng Pamanahan. Putri Kajoran itu pun dikenal dengan nama Raden Ayu Mataram. Sedjarah Dalem juga menuturkan bahwa putri Amangkurat, Raden Ayu Wangsacipta menikah dengan Pangeran Raden ing Kajoran. Setelah itu ada beberapa kemenakan Mataram dan Kajoran lain yang mengikat hubungan persaudaraan melalui perkawinan.

Baca juga: Murka Amangkurat I

“Mungkin ada perbedaan mengenai bagian-bagiannya, tetapi pada pokoknya cerita-cerita tutur itu sependapat bahwa pada mulanya terdapat hubungan baik antara keluarga Kajoran dan keluarga Mataram yang terwujud dalam perkawinan kedua belah pihak,” kata De Graaf.

Anggota keluarga Mataram lain yang turut berkhianat terhadap Amangkurat I berasal dari Kemenakan Purbaya. Dia bernama Raden Wirayuda, putra Wiramenggala, saudara Pangeran Purbaya. Bersama Wirakusuma, Wirayuda mendapat tempat istimewa di kubu pemberontak. Dia memerintah pasukan berkekuatan 100.000 prajurit untuk menyerang wilayah kekuasaan Amangkurat.

Bahkan ketika pasukan Trunajaya berhasil memporak-porandakan ibu kota Mataram, istana Pangeran Purbaya menjadi satu dari sedikit bangunan (setelah masjid besar, dan istana putra-putra sunan) yang tidak dibakar pihak pemberontak. Menurut De Graaf, hal itu tidak mengherankan sebab telah lama leluhur Purbaya melakukan pembangkangan terhadap Amangkurat dan dianggap sebagai bagian dari pemberontakan.

Baca juga: Ketika Cemburu Membakar Amangkurat I

“Panembahan Purbaya selalu membangkang terhadap kemenakannya, Sunan Mangkurat I, dan berkomplot dengan putranya. Oleh karena itu, keluarga Purbaya juga terdapat di kalangan pihak pemberontak,” ungkap De Graaf.

Tidak hanya para pembesar istana dan kemenakan raja yang melakukan tindakan pengkhianatan terhadap Amangkurat di penghujung masa kekuasaannya, tetapi juga rakyat di bawah pemerintahan Mataram yang sebelumnya bersumpah setia kepada Sunan dan keluarganya.

Ada berbagai alasan mengapa rakyat Mataram melakukan pembangkangan. Di dalam Daghregister April 1667, seperti dikutip De Graaf, disebutkan bahwa pengkhianatan rakyat terjadi lantaran pihak Trunajaya melakukan intimidasi dengan cara menjalankan berbagai praktek kekerasan di desa-desa yang mereka lewati selama perjalanan menuju ibu kota Mataram. Para pemberontak itu menebar teror dan berbuat onar terhadap rakyat Mataram. Mereka juga memaksa rakyat ikut  bergabung dalam aksi pemberontakan.

“... mendengar nama Trunajaya dan laskar Maduranya itu saja rakyat kecil sudah gemetar. Karenanya, pasukan Trunajaya hanya menghadapi perlawanan kecil saja,” tulis De Graaf.

TAG

mataram amangkurat i

ARTIKEL TERKAIT

Raja Airlangga Mengembalikan Kejayaan Mataram Kuno Menggali Isi Prasasti Airlangga di Museum India Perselingkuhan Berdarah di Mataram Jatuhnya Istana Mataram Bertahan Hidup di Tanah Bencana Hari-hari Terakhir Amangkurat I Jawa Terbelah Tiga di Salatiga Dari Bagelen ke Purworejo Ketika Mataram Dilanda Kelaparan Murka Amangkurat I