Pesta pernikahan Airlangga dan putri Dharmawangsa Tguh belum juga usai. Tiba-tiba huru-hara datang. Haji Wurawari menyeruduk membawa petaka di tengah kemeriahan pesta. Orang-orang berteriak. Keraton dibakar, runtuh habis tak bersisa.
Seluruh Jawa bagaikan tertimpa pralaya. Banyak pembesar yang tewas. Pertama-tama Sri Maharaja Dharmawangsa Tguh.
Ketika peristiwa itu terjadi Airlangga masih berumur 16 tahun. Dia lari ke hutan menyelamatkan diri dengan hanya ditemani oleh Narottama, pengikut setianya. Semenjak itu hari-harinya dihabiskan di hutan, berpakaian kulit kayu, makan apapun yang dimakan oleh para orang suci dan penghuni hutan. Teman bicaranya adalah para pertapa (rsi).
Peristiwa tergulingnya kekuasaan Dharmawangsa Tguh oleh raja bawahannya, Haji Wurawari itu dikenang sebagai peristiwa pralaya, yakni kehancuran dunia pada akhir zaman Kaliyuga yang tak terelakan. Kisah itu diabadikan di dalam Prasasti Pucangan yang dikeluarkan oleh Airlangga, salah satu raja yang memerintah Kerajaan Mataram Kuno setelah pusatnya berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Baca juga: Pindah Ibukota Sudah Biasa
Ada dua prasasti berlainan yang terpahat pada satu batu Prasasti Pucangan. Di sisi depan memakai bahasa Jawa Kuno dari tahun 963 Saka (1041 M). Sedangkan di sisi sebaliknya memakai bahasa Sanskerta dari tahun 959 Saka (1037 M).
Menurut Vernika Hapri Witasari, arkeolog Universitas Indonesia dalam skripsinya “Prasasti Pucangan Sansekerta 959 Saka (Suatu Kajian Ulang)” tahun 2009, kedua prasasti itu ditulis dalam aksara Jawa Kawi akhir sebagaimana prasasti Airlangga lainnya. “Kedua prasasti sepertinya saling mengisi informasi,” jelas Vernika.
Sayangnya, belum diketahui pasti di mana prasasti ini ditemukan pertama kali. Airlangga sendiri menerbitkan Prasasti Pucangan untuk memperingati pembuatan pertapaan di lereng Gunung Pugawat. Jadi, menurut Vernika kemungkinan Prasasti Pucangan terletak tidak jauh dari pertapaan.
“Brandes dalam bukunya Oud Javaansce Oorkonden menyebutkan prasasti ini berasal dari daerah Surabaya,” tulisnya.
Baca juga: Tantangan Mengembalikan Prasasti dari Inggris
Penemu Prasasti Pucangan juga tidak jelas. Namun, prasasti itu ditemukan pada masa Thomas Stamford Raffles di Jawa. Dia kemudian mengirimkan Prasasti Pucangan kepada Gubernur Jenderal Lord Minto di Kalkuta, India. Sehingga prasasti ini juga dikenal dengan Calcutta Stone.
“Tidak ada keterangan yang menjelaskan mengenai fisik prasasti kecuali prasasti itu sudah tak terbaca lagi karena hurufnya sudah aus,” tulis Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, dalam Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI.
Menurut Ninie, Prasasti Pucangan salah satu prasasti Airlangga yang sangat penting karena memuat riwayat hidupnya dengan jelas.
Silsilah Wangsa Isana
Secara garis besar Prasasti Pucangan memuat silsilah Wangsa Isana. Silsilah keluarga yang tercantum dalam prasasti dimulai dari Mpu Sindok hingga Airlangga. Mpu Sindok atau Dyah Sindok bergelar Sri Isanatungga.
Kedudukan Mpu Sindok di masa pemerintahan Rakai Layang Dyah Tlodhong dan Rakai Sumba Dyah Wawa, yakni berturut-turut sebagai rakryan mapatih i halu dan rakryan mapatih i hino, yang biasanya dijabat oleh kerabat dekat raja.
“Tentu dia masih anggota wangsa Sailendra,” jelas Vernika.
Baca juga: Prasasti Berisi Kutukan
Mpu Sindok membangun kembali Mataram di Jawa Timur ketika pusat kerajaan itu berpindah karena sebab yang masih diperdebatkan. Dia pun dianggap sebagai cikal bakal wangsa yang baru, yaitu wangsa Isana. Selanjutnya Mpu Sindok memerintah sejak 929–948 M, menggantikan pemerintahan Dyah Wawa di Jawa Tengah.
Menurut Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta, Mpu Sindok mempunyai putri bernama Sri Isana Tunggawijaya yang bersuami Sri Lokapala. Dia sempat memerintah kerajaan menggantikan ayahnya. Dia disebut dengan Srisanatunggavijayeti rarajarajni, artinya yang mulia paduka Raja Isanatunggawijaya.
Vernika menjelaskan, nama putri Mpu Sindok disebutkan pula dalam Prasasti Silet (940 Saka). Dia disebut sebagai Srisanawijaya maharaja. “Dia diberi gelar maharaja untuk menunjukkan dialah yang menggantikan ayahnya duduk di atas takhta, bukan suaminya,” jelas Vernika.
Berbeda dengan istrinya, Sri Lokapala tak disebutkan dalam prasasti lain selain Prasasti Pucangan. Di Prasasti Pucangan, dia pun disebutkan setelah nama istrinya. Namun, dia kemudian mengambil pemerintahan kerajaan. Dalam Prasasti Pucangan terdapat keterangan “seorang anak laki-laki yang unggul yang memerintah bumi”.
Baca juga: Syarat Perempuan Bertakhta
“Jadi kemungkinan takhta kerajaan yang sebelumnya sempat dipegang Sri Isanatunggawijaya, beralih ke Sri Lokapala setelah mereka menikah,” jelas Vernika.
Disebutkan mereka memiliki putra bernama Sri Makutawangsawarddhana. Darinya lahir putri yang diberi nama Mahendradatta atau Gunapriyadharmmapatni.
Gunapriyadharmmapatni kemudian menikah dengan Udayana, raja Bali dari wangsa Warmadewa. Kemudian lahirlah Airlangga.
Berikutnya disebutkan kalau Dharmawangsa Tguh yang mewarisi takhta di Jawa Timur. Airlangga, mungkin keponakannya, yang lahir di Bali diundang ke istananya di Jawa Timur dan dinikahkan dengan putrinya.
“Maka segeralah tersebar luas kemasyhuran tabiat mulia Erlangga di mana-mana,” catat prasasti itu.
Baca juga: Gajah Mada Memadamkan Pemberontakan Kuti
Menurut Ninie dalam laporan penelitian berjudul “Prasasti-Prasasti Sekitar Masa Pemerintahan Raja Airlangga: Suatu Kajian Analitis” tahun 1996, dengan menerbitkan prasasti yang memuat silsilah keluarganya, Airlangga sedang melegitimasi kedudukannya di singgasana. Silsilah semacam itu tak disebutkan dalam Prasasti Pucangan berbahasa Jawa Kuno.
Sisi prasasti yang berbahasa Jawa Kuno berisi tentang maklumat Airlangga agar wilayah Pucangan, Barahem, Bapuri, tanah milik Wargga Pinhai ditetapkan sebagai sima untuk pembangunan bangunan suci.
Serangan Raja Airlangga
Maklumat Airlangga berupa pemberian gelar kehormatan, hak istimewa, dan hak tanah sima merupakan penghargaan kepada orang-orang yang berjasa memperkuat kedudukannya. Di dalam Prasasti Pucangan, Airlangga memberitakan pula musuh-musuh yang berhasil ditundukkan sebagai pengakuan atas hegemoninya.
Prasasti Pucangan berbahasa Jawa Kuno mencatat beberapa penyerangan yang dilakukan Airlangga antara tahun 1029 (951 Saka) sampai 1037 (959 Saka). Di antaranya serangan Airlangga ke wilayah Wuratan. Dia mengalahkan rajanya yang bernama Wisnuprabhawa pada 1029 (951 Saka). Rupanya raja ini adalah putra dari raja yang ikut menyerang Dharmmawangsa Tguh hingga terjadi Pralaya.
Baca juga: Jayakatwang Mengakhiri Hegemoni Singhasari
Selanjutnya pada 1031 (953 Saka) Airlangga mengalahkan Haji Wengker yang bernama Panuda. “...yang hina seperti Rawana,” catat peasasti itu.
Panuda sempat melarikan diri meninggalkan keratonnya di Lewa. Namun, dia dikejar ke Desa Galuh dan Barat. Pada 1031 (953 Saka) anaknya dapat dikalahkan, keratonnya pun dihancurkan sampai tak bersisa.
Pada 1032 (954 Saka), giliran Haji Wurawari yang dilibas Airlangga. Dengan dikalahkannya Haji Wurawari, maka lenyaplah segala perusuh di tanah Jawa.
Sementara dalam Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta disebutkan bahwa pada tahun itu Airlangga juga menyerang seorang ratu perempuan yang gagah perkasa seperti raksasa. Walaupun sulit, Airlangga berhasil menang. Dia mendapat banyak sekali harta rampasan yang dibagikan kepada pasukannya.
Baca juga: Strategi Perang Jayakatwang Tumbangkan Kertanagara
Prasasti Pucangan masih menyebut satu serangan lagi kepada Haji Wengker. Ia mungkin memberontak pada 1035 (957 Saka).
“Dengan dibinasakannya Raja Wijayawarmma dari Wengker, maka disebutkan gerakan penaklukan Raja Airlangga telah selesai,” jelas Ninie.
Menurut Ninie, dalam Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta, masa kemenangan dan aman ini diungkapkan dalam kalimat, “maka dia pun duduk di atas singgasana dan meletakkan kakinya di atas kepala musuh-musuhnya”.
Maksudnya adalah semua musuh, mulai dari sebelah timur, selatan, dan barat, telah ditaklukkan Airlangga. “Untuk melepas nazarnya raja membangun pertapaan di Gunung Pugawat,” jelas Ninie.
Masa konsolidasi berakhir bersamaan dengan mulainya masa keemasan. Raja Airlangga memerintah dengan damai. “Masa tenang dan tentram tanpa peperangan berlangsung antara 1035 sampai 1042,” jelas Ninie.
Baca juga: Penobatan Raja pada Masa Hindu-Buddha