Masuk Daftar
My Getplus

Sumber Hukum Masa Jawa Kuno

Tiga jenis hukuman pada masa Jawa Kuno: kutukan mengerikan, denda uang, dan hukuman badan.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 09 Agt 2018
Gambaran perbuatan yang melanggar aturan dalam relief Karmawibhangga, Candi Borobudur.

RAKYAT Desa Balingawan makin melarat. Mereka sering menanggung denda atas kejahatan yang tak mereka ketahui. Tak jarang warga menemukan darah berceceran. Sesekali sesosok mayat tergeletak begitu saja di tegalan Gurubhakti pada pagi hari. Namun, tak diketahui siapa pelakunya.

Malangnya, tegalan itu masuk wilayah desa mereka. Warga pun mesti membayar denda atas rāh kasawur (darah berceceran) dan wankay kabunan (mayat yang terkena embun). Mereka lalu memohon pada Rakryān Kanuruhan melalui tiga patih Desa Balingawan. Permohonan itu dikabulkan. Tegalan Gurubhakti ditetapkan sebagai sima. Warga desa tak lagi takut. Jalanan aman.

Demikian yang diberitakan Prasasti Balingawan yang dikeluarkan tahun 891 M.

Advertising
Advertising

Epigraf Boechari dalam "Perbanditan di Dalam Masyarakat Jawa Kuno" termuat di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti mengatakan apa yang terjadi pada warga Balingawan itu terjelaskan lewat naskah Hindu Sārasamuccaya. Penduduk Balingawan harus bayar denda karena lalai atas terjadinya pembunuhan di malam hari. Sampai-sampai pembunuhan itu tak diketahui siapa pun sehingga mayatnya terkena embun di pagi hari.

Menurut arkeolog Supratikno Rahardjo keputusan hukum pada masa lalu dilakukan berdasarkan kitab hukum tertulis yang bersifat nasional, hukum adat yang masih dijadikan sumber aturan tambahan, dan pengetahuan tentang hukum formal telah dikenal oleh penduduk pedesaan. Itu diketahui khususnya pada masa Majapahit. Prasasti Bendosari (1360 M) dan Parung memuat keterangannya.  

"Prasasti dari masa Majapahit, Bendosari dan Parung, memuat keterangan bahwa permasalahan hendaknya dapat diselesaikan menurut ketentuan yang termuat dalam kitab hukum, pendapat umum (adat?), kasus serupa yang terjadi sebelumnya, isi kitab Kutaramanawa, dan kebiasaan pejabat kehakiman yang ahli sejak dulu kala," tulis Supratikno dalam Peradaban Jawa.

Supratikno menjelaskan penyusunan kitab hukum secara sistematis muncul sejalan dengan makin bervariasinya jenis sanksi. Paling tidak ada tiga jenis hukuman yang pernah diterapkan di Jawa Kuno: kutukan yang mengerikan, denda uang, dan hukuman badan.

Namun, ada kecenderungan penekanan yang berbeda pada tiap zaman. Sumber prasasti dari periode Mataram hingga masa Tamwlang-Kahuripan, sebelum abad ke-12, umumnya menekankan kutukan terutama terhadap pelanggar ketentuan sima. Pada masa Mataram, sejauh ini belum ditemukan naskah hukumnya.

Sementara prasasti periode Kadiri, memasuki abad ke-12, mulai menyebutkan sanksi dalam bentuk uang. Sanksi kutukan tetap berlaku sebagaimana dalam mantra kutukan pancamahabhuta (lima kutukan besar) atau jagadupa-drawa (kemalangan di dunia).

"Belum diketahui apakah pembakuan hukum sudah dikenal atau belum dalam periode ini," tulis Supratikno.

Dari sana dapat dilihat kalau masa Kadiri mulai terjadi perubahan pandangan soal sanksi, dari memberikan efek takut bersifat magis ke efek jera. Ini, menurut Supratikno, bisa dianggap sebagai bentuk pengawasan yang lebih ketat ketimbang sekadar kutukan yang mengandalkan kesadaran. 

"Itu berupa sanksi tindakan nyata, seperti denda emas dalam jumlah satuan kati dan suwarna," tulis Supratikno.

Pada masa Singhasari dan Majapahit, sanksi kutukan dan denda tetap dipertahankan. Namun, hukuman badan mulai berjalan. Pada periode ini pula bentuk pelanggaran tertentu diatur dalam undang-undang hukum antara lain termuat dalam Kutaramanawa, Purwadigama, dan Rjapatigundala.

"Meski kitab aturan hukum itu dinyatakan secara jelas pada masa Majapahit, tetapi tidak harus berarti pada masa itu pula baru dilakukan kodifikasi," tulis Supratikno.

Berkaitan dengan hal itu, berita Tiongkok tentang Jawa pada abad ke-12 dan ke-13 menyebut waktu itu orang bersalah didenda dengan sejumlah emas. Sedangkan merampok atau mencuri dihukum mati.

Menurut Supratikno keterangan itu memberikan petunjuk awal penyusunan kitab hukum mungkin telah dimulai sejak masa Kadiri. Walaupun sejumlah naskah hukum yang kini masih bertahan hampir semuanya ditulis pada masa pasca-Majapahit.

Alasannya, menurut Boechari dalam “Kerajaan Mataram dari Prasasti" termuat di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, banyak naskah dari masa sebelum itu tak bertahan hingga kini. Mungkin naskah hukum itu tak ditulis di bahan yang awet dan mudah rusak seperti daun lontar atau karas. Setelah berpuluh tahun naskah pun rusak.

Alasan lain karena rusak naskah perlu disalin. Tentunya butuh penyesuaian terhadap perkembangan masyarakat dan bahasa. Naskah hukum yang sampai pada masa sekarang, meski berbahasa Jawa Kuno, memuat istilah dari kerajaan di Bali pasca-Majapahit, seperti awig-awig dan bandesa.

Adapun di era Majapahit, peranan hukum nampaknya makin penting. Naskah seperti Kutaramanawa, Dewagama, Adigama, Swarajambhu, Canakya, Kemandaka, Kertopati, Dharmmopapati, Dustakalabaya, Dewadanda, Purwadigama, dan Sarasamuchaya diduga dibuat pada masa itu. Sayangnya, baru sebagian kecil yang diterbitkan, yaitu Dewandanda, Kutaramanawa, Krtopapati, Wratisasana, dan Sarasamuccaya. Selebihnya hanya ada deskripsi dan ikhtisar isi naskah dalam katalog naskah di Leiden dan di Museum Nasional.  

Bagaimanapun, menurut Boechari, naskah hukum merupakan unsur yang wajib ada dalam institusi kerajaan. Ini mengambil kebiasaan dari institusi kerajaan di India. Jadi, bukan berarti pada masa sebelum Majapahit hingga Majapahit tidak ada naskah tertulis yang digunakan dalam institusi pengadilan.  

“Semua kerajaan kuno di Nusantara menggunakan naskah hukum dalam bahasa negaranya yang merupakan terjemahan dari naskah hukum India,” tulis Boechari.

Buktinya, besaran denda ada dalam satuan uang dari India seperti krsnala dan pana. Dua satuan ini tak pernah muncul dalam prasasti berbahasa sanskerta dan Jawa Kuno yang ditemukan di Nusantara. Biasanya istilah yang digunakan adalah swarna, masa, dharana, dan kupang.

Baca juga: 

Hukuman bagi Penjahat pada Zaman Kuno

TAG

Hukum Pidana Prasasti undang-undang Peraturan

ARTIKEL TERKAIT

Seputar Prasasti Pucangan Prasasti Damalung Wajib Dipulangkan, Begini Kata Arkeolog Prasasti Damalung yang Hilang Ditemukan di Negeri Seberang Secuplik Kisah Salah Tangkap Sengkon dan Karta Lika-liku Peninjauan Kembali Sengkon-Karta hingga Kasus Vina Cara Kolonial Bangun IKN Kehidupan Anak-anak di Zaman Kuno Produk Hukum Kolonial Terekam dalam Arsip Menonton Eksekusi Hukuman Mati di Batavia Gubernur Jenderal VOC Dijatuhi Hukuman Mati