Masuk Daftar
My Getplus

Cara Kolonial Bangun IKN

Belanda dulu hanya bolehkan sewa lahan maksimal 75 tahun. Kini investor dijamin HGU-nya hingga 190 tahun.

Oleh: Petrik Matanasi | 16 Jul 2024
Para buruh sedang bekerja di kebun karet dengan pengawasan asisten kebun. Banyak perkebunan swasta berdiri usai pemerintah kolonial mengeluarkan Agrarische Wet 1870, yang mengizinkan sewa lahan hingga 75 tahun. (geheugenvannederland.nl)

KEHEBOHAN terjadi lagi di Indonesia. Biang keroknya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibukota Nusantara. Pasalnya, ada sebuah jaminan yang di luar kebiasaan di dalamnya.

“Otorita Ibu Kota Nusantara memberikan jaminan kepastian jangka waktu hak atas tanah melalui 1 (satu) siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali 1 (satu) siklus kedua kepada Pelaku Usaha, yang dimuat dalam perjanjian,” demikian bunyi pasal 9 ayat 1 Perpres tersebut.

Ayat 2 pasal tersebut kembali menjelaskan durasi hak guna usaha.  “Hak guna usaha untuk jangka waktu paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun melalui 1 (satu) siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk 1 (satu) siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi.”

Advertising
Advertising

Jadi, satu siklus Hak Guna Usaha (HGU) dalam Perpres tersebut durasinya 95 tahun. Jika ada perpanjangan satu siklus lagi, artinya total HGU yang akan diberikan kepada pengusaha yang menjadi investor untuk proyek IKN itu lamanya 190 tahun atau hampir dua abad.

“Kalau sudah diberikan kepastian bahwa ini Anda (investor) tidak perlu terlalu khawatir, jangkanya lebih panjang lagi. Maka harapannya investor dari mana pun itu lebih memiliki kepastian,” ujar Menteri Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono.

Perpres Nomor 75 Tahun 2024 itu ibarat mesin waktu yang membawa sebagian orang terpelajar Indonesia kembali ke tahun 1870. Pada tahun itu, ketika Sistem Tanam Paksa mulai dihapuskan, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad van Nederladsch Indie Nomor 55 tanggal 9 April 1870 atau yang dikenal sebagai Agrarische Wet 1870 (Undang-Undang Agraria Tahun 1870). Agrarische Wet itu juga mengatur tentang sewa-menyewa tanah macam HGU, yang juga dikenal sebagai hak Erfpacht.

“Menurut aturan-aturan yang ditetapkan dalam peraturan umum, tanah-tanah dialihkan untuk disewakan untuk jangka waktu tidak lebih dari 75 tahun,” bunyi Agrarische Wet 1870 yang  diberlakukan oleh Menteri Jajahan Engelbertus de Waal itu.

Agrarische Wet dikeluarkan pemerintah kolonial untuk melindungi hak petani dari pengusaha dan penguasa. Namun, kenyataannya berbeda. Durasi tanah yang disewakan pun terlalu lama.

“Undang-undang Agraria juga membuka kemungkinan bagi rakyat swasta, untuk mendapatkan hak guna usaha tetap yang disewa turun-temurun,” kata Dr. J. Stroomberg dalam Hindia Belanda 1930.

Agrarische Wet memang menarik minat pemodal asing dari Belanda, Inggris, Belgia, Amerika Serikat, Jepang, dan lain-lain. Perkebunan-perkebunan pun bermunculan di Jawa dan Sumatra.

Namun, penduduk setempat, yang mayoritas berpendidikan rendah, hanya bisa menjadi kuli kasar di perkebunan-perkebunan itu. Sebagai warga negara kelas tiga pun mereka mendapat berbagai perlakuan diskriminatif. Kisah kekejaman terhadap para kuli perkebunan tembakau yang dicambuk pada zaman pasca-Tanam Paksa dan dihapuskannya perbudakan bukan main juga sohornya.

Salah satu kisah menyedihkan dialami Atimah, perempuan buruh di perkebunan Deli. Saat sedang hamil delapan bulan, dia pernah gagal mengumpulkan ulat sesuai dengan yang telah ditargetkan kepadanya. Hal itu membuat Moens sebagai asisten perkebunan yang menjadi atasannya pun marah. Atimah langsung dipukuli dengan rotan dan kemudian pingganggnya diinjak-injak, sebut JTL Rhemrev dalam laporannya, “Tanpa mengindahkan keadaan sang perempuan yang sedang hamil tua.”  

Siksaan itu tak hanya membuat Atimah jatuh sakit, tapi juga tak bisa mendapat penghasilan lantaran tak bisa bekerja. Lebih jauh, bayi yang dilahirkannya dua minggu kemudian sudah dalam keadaan tak bernyawa. Bagian kiri kepala si bayi ringsek sampai mata kirinya tidak terlihat.

Kisah kekejaman yang dialami Atimah mungkin takkan dialami penduduk Indonesia saat ini yang berada di sekitar lokasi-lokasi bakal usaha yang dibuka lewat Perpres Nomor 75. Sebab, zamannya sudah berbeda.

Perbedaan lain dari kedua aturan beda zaman itu yakni, pemerintah kolonial dengan Agrarische Wet-nya hanya memperbolehkan sewa lahan maksimal 75 tahun. Sementara, pemerintah Indonesia melalui Perpres Nomor 75 memberi durasi izin nyaris tiga kali lipat kepada investor yang mendapat dua siklus izin. Dengan demikian, pemerintah kolonial yang dulu menjajah pun kalah dalam bermurah hati.

“Ini lebih kolonial dari aturan kolonial,” kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika.

Kendati detailnya berbeda, tetap ada kesamaan motif dari Agrarische Wet dan Perpres Nomor 75. Keduanya sama-sama dikeluarkan untuk membuat nyaman pengusaha. Pemerintah kolonial membuat Agrarische Wet untuk memperbanyak perkebunan yang memberi pemasukan bagi kas pemerintah kolonial, sementara Perpres Nomor 75 dimaksudkan untuk membangun ibukota baru dengan modal asing.

TAG

sejarah-agraria undang-undang perkebunan

ARTIKEL TERKAIT

Polonia, Tanah Tuan Kebun Polandia di Medan Lomba Bercocok Tanam di Masa Silam Helvetia, Tanah Tuan Kebun Swiss di Medan 28 Januari 1939: Ordonansi Kontrak Kopra di Manado Kala Perempuan Memberi Pelajaran Tuan Perkebunan Riwayat Buah Emas di Tanah Hindia Jeritan Petani di Tanah Sendiri Manis Pahit Kelapa Sawit Lumbung Padi yang Jadi Kawasan Industri Perempuan dalam Cengkraman Pergundikan