Sungguh malang nasib Amangkurat I. Di usia senjanya, ia harus hidup dalam pelarian yang melelahkan. Raja yang pada masa kejayaannya terkenal bengis itu gagal mempertahankan takhta setelah istana kebanggaannya jatuh dan pemberontakan rakyat tidak lagi dapat dicegah. Ditambah pula pengkhianatan dari orang-orang di sekitarnya, semakin melengkapi penderitaan penguasa Mataram itu. Sang raja benar-benar kehilangan kuasanya.
Pelarian Amangkurat I terjadi pada 1677. Saat itu sebagian besar wilayah ibukota Mataram telah diduduki oleh Raden Trunajaya. Bersama pasukan Maduranya, ia berhasil menjatuhkan pertahanan istana yang terkenal sulit ditembus. Trunajaya juga mampu menumpas perlawanan dari ketiga putra Amangkurat I (Pangeran Adipati Anom, Pangeran Puger, dan Pangeran Singasari) yang mati-matian mempertahankan takhta peninggalan ayahnya.
Baca juga: Murka Amangkurat I
Diceritakan sejarawan H.J. De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram, Amangkurat I meninggalkan istana pada suatu malam di bulan Juni 1677. Tujuan pertamanya adalah Imogiri, makam keluarga raja-raja Mataram. Dalam perjalanan tersebut ia hanya dikawal oleh sedikit keluarga saja. Hanya ada putra-putranya, beberapa pejabat yang setia, dan dua orang perempuan yang kemungkinan istrinya. Beruntung usaha raja keluar dari kediamannya itu berjalan mulus tanpa dihalangi oleh siapa pun, terutama pasukan Trunajaya.
Di Imogiri, Sunan mengumpulkan pasukan untuk menjaganya selama dalam pelarian. Ada cukup banyak orang yang bersedia mengikutinya. Sementara pasukan lainnya diperintahkan menjaga Imogiri dari serangan Trunajaya. Selain pasukan penjaga, ia juga membawa serta semua pusaka berharga istana Mataram, kecuali pusaka-pusaka berukuran besar yang bobotnya akan menghambat perjalanan, seperti meriam keramat Nyai Setomi dan harta kekayaan kerajaan sebesar 350.000 ringgit.
“Semua juga dibawa serta seekor gajah. Sempat beberapa lama raja naik gajah, kemudian berganti naik tandu. Akhirnya Pangeran Puger diberitakan menemukan hewan berkulit tebal itu di tepi jalan, atau mungkin juga telah dirampas dari ayahnya,” tulis de Graaf.
Baca juga: Cinta Amangkurat I
Setelah mengumpulkan segala kebutuhannya di Imogiri, Raja berusia lanjut itu pergi menuju Barat. Namun di Imogiri ia harus berpamitan dengan putranya yang berusia 12 tahun, bernama Raden “Goude”. Pangeran kecil itu dalam kondisi sakit parah sehingga tidak dapat melanjutkan perjalanan. Ia ditinggalkan bersama ibunya di Imogiri untuk perawatan. Sayang, tidak lama setelah itu si anak meninggal, dan ibunya dijadikan istri oleh Raden Trunajaya.
Mengenai kisah pelarian Amangkurat I itu, J.J. Meinsma dalam Babad Tanah Jawi: Javaanse Rijkroniek, mencatatnya sebagai perjalanan yang menyedihkan. Raja bersama pengawalnya beberapa kali menemui nasib malang. Seperti ketika di Karanganyar, sejumlah besar harta bendanya nyaris digondol sekawanan perampok. Tetapi menurut Meinsma, dengan kesaktiannya, Amangkurat I berhasil mengagalkan aksi tersebut. Malah para perampok harus kehilangan nyawanya.
Setiba di Jagabaya, Sunan mendengar kabar bahwa Pangeran Puger dan Pangeran Singasari berhasil keluar dari Mataram. Keduanya membangun benteng pertahanan di wilayah tersebut. Ia lalu berusaha bergabung dengan putra-putranya. Tetapi, kata de Graaf, penerimaan mereka terhadap ayahnya begitu dingin. Perselisihan dalam keluarga di masa lalu rupanya masih terbawa, meski mereka tengah menghadapi kesulitan seperti itu.
Baca juga: Ketika Cemburu Membakar Amangkurat I
Raja pun akhirnya memutuskan pergi meninggalkan kedua putranya. Ia kembali melanjutkan perjalanan seorang diri. Tetapi setelah memasuki wilayah Nampudadi, dijumpainya si putra sulung, Pangeran Adipati Anom. Tidak seperti kedua saudaranya, Adipati Anom menerima ayahnya secara terbuka. Ayah-anak itu pun pergi bersama menuju barat.
“Selama perjalanan, raja yang sudah tua itu jatuh sakit. Ia tidak dapat makan dan tidur. Di Banyumas terpaksa beristirahat selama tiga hari. Akhirnya orang tua yang sudah beruban itu pun meninggal di Wanayasa atau Ajibarang, yang letaknya berdekatan,” ungkap de Graaf.
Menurut seorang peneliti Belanda Francois Valentijn, Adipati Anom terlibat dalam kematian Amangkurat I. Dalam bukunya Oud en Nieuw Oost-Indien, Valentijn menyebut jika Adipati Anom memberikan sebutir pil untuk mempercepat meninggalnya sang ayah. Namun de Graaf mempertanyakan tindakan Adipati Anom tersebut. Ia tidak tahu keuntungan apa yang didapat Pangeran Mataram itu dengan membunuh raja yang tengah sekarat tersebut. Toh, hanya persoalan waktu sampai Amangkurat I menutup mata selama-lamanya.
Baca juga: Berebut Takhta Mataram Kuno
Sebelum wafat, Amangkurat I menyerahkan beberapa pusaka kerajaan kepada Adipati Anom, yakni gong Kiai Bicak dan keris Kiai Balabar. Ia juga minta kepada putranya untuk dimakamkan di Tegalwangi, tepat di sebelah pusara gurunya Tumenggung Danupaya. Sekarang makamnya berada di Komplek Makam Tegal Arum Dusun Pekuncen, Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal.
“Seperi ayah Raja yang dimakamkan di puncak gunung menantikan dini hari, begitu pula Mangkurat ini dimakamkan di atas bukit buatan, suatu piramida dengan tiga anak tangga, dan di puncaknya didirikan cungkup yang sederhana,” tulis de Graaf.