Kerusuhan besar terjadi di Mataram pada penghujung abad ke-17. Raden Trunajaya beserta pasukannya merangsak masuk ke wilayah ibukota kesultanan. Mereka mengambil alih takhta Mataram yang pengaruhnya saat itu begitu besar, serta menjatuhkan trah Amangkurat dari pucuk kekuasaan raja-raja di Jawa.
Menurut Dennys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya jilid 2, salah satu tujuan Trunajaya melakukan penyerangan ke Mataram itu adalah membalaskan dendam atas penghinaan yang pernah diterima keluarganya dari penguasa Mataram. Di samping juga keinginan untuk memperluas kekuasaan Madura ke daratan utama Jawa.
Upaya pendudukan Mataram dilakukan Trunajaya pada 1677. Kala itu pasukan pangeran Madura tersebut berusaha merangsak masuk ke Istana Plered, tempat Sultan Amangkurat I berada, tetapi mendapat hadangan dari barisan penjaga istana. Di bawah pimpinan tiga pangeran Mataram -Pangeran Adipati Anom, Pangeran Puger, dan Pangeran Singasari- bala tentara Mataram berjuang mati-matian mempertahankan benteng terakhir penguasa Mataram tersebut. Bentrokan pun tidak dapat dihindarkan.
Baca juga: Raja Mataram Menjaga Keberagaman
Usaha penghadangan pasukan Trunajaya telah dilakukan ketiga pangeran jauh sebelum para pemberontak mendekat ke wilayah ibukota. Diceritkan sejarawan H.J. De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram, pertempuran pertama kedua kubu terjadi di daerah Pingit, Temanggung, Jawa Tengah. Sepasukan besar Mataram di bawah komando para pangeran memukul mundur bala tentara Trunajaya, pimpinan Adipati Wiramenggala dan Aria Wangsenggati, berkekuatan 50.000 orang.
Namun tidak lama, keadaan menjadi berbalik. Pasukan Mataram mulai terdesak oleh gelombang serangan dari Wangsenggati. Mereka dipaksa mundur hingga Desa Pandan. Wilayah Pingit pun harus direlakan. Menurut de Graaf, dalam upaya penyerangan tersebut, Amangkurat I yang telah lanjut usia turut serta memimpin pasukannya sendiri. Dia berada di barisan belakang, memberi arahan kepada putra-putranya.
“Sejam kemudian terpaksa mereka mundur, tetapi dibiarkan saja. Setelah itu, Raja kembali pulang, dan menyerahkan pimpinan tentaranya kepada ketiga putranya,” tulis de Graaf.
Pasukan Trunajaya lalu bergerak ke daerah Kedu. Mereka memilih jalan memutar menuju Mataram guna menambah kekuatan di kubu pemberontak. Dari Kedu Wangsenggati dan pasukannya maju ke Bantul. Di sana, mereka sudah disambut oleh Pangeran Puger. Membawa tentara berkekuatan 10.000 orang, Pangeran Puger memberikan perlawanan yang gagah selama sehari penuh. Meski pada akhirnya terpaksa menyerah juga.
Baca juga: Berebut Takhta Mataram Kuno
Setelah melalui pertempuran lain di daerah Trayem, dengan lagi-lagi membawa kemenangan, pasukan Madura akhirnya tiba di ambang ibu kota Mataram. Namun terpaksa mundur karena mendapat hadangan dari pasukan Adipati Anom dan Puger. Wangsenggati dan Wiramenggala memutuskan menghentikan sejenak perlawanan agar bisa bergabung dengan bala tentara Trunajaya lain, pimpinan Panglima Madura Mangkuyuda, di Tegalwana.
Setelah bergabung, pasukan Madura kembali maju ke Mataram. Di tengah jalan, ketiga pangeran telah menunggu untuk melakukan serangan besar. Selama kira-kira lima belas hari bertempur, angin kemenangan mengarah ke kubu Mataram. Mereka hanya kehilangan 10 orang saja, sementara korban tewas di pihak Trunajaya cukup besar.
Kemudian masalah mulai timbul di kubu Mataram. Ketiga pangeran terlibat perselisihan yang berujung pada perpecahan di antara mereka. Pangeran Adipati Anom ditinggalkan oleh kedua saudaranya, Pangeran Puger dan Pangeran Singasari. Perpecahan itu membuat Adipati Anom harus berjuang sendiri menghalau serangan pasukan Trunajaya. Setelah terdesak hingga ibu kota, Adipati Anom memilih melarikan diri bersama keluarganya.
Baca juga: Hari-hari Terakhir Amangkurat I
Dengan tidak adanya sang putra mahkota, Amangkurat I yang masih bertahan di istana menyerahkan pimpinan pasukan kepada Pangeran Puger. Raja lalu pergi meninggalkan istana setelah situasi semakin memburuk. Praktis, kepemimpinan Istana Plered sepenuhnya berada di bawah kendali Pangeran Puger. Namun kemampuan memimpin adik Adipati Anom itu tidak cukup baik, sehingga kendati memiliki cukup persenjataan dan pasukan, Mataram tidak mampu mempertahankan kelangsungan pemerintahannya.
“Kronik-kronik Jawa menyebutkan bahwa ketika musuh semakin mendekat, prajurit-prajurit Raja berkerumun di depan istana, tetapi Raja mengatakan supaya mereka tidak menentang kehendak Tuhan: hari terakhir abad itu telah tiba dan bersamaan dengan itulah saat runtuhnya Mataram,” ungkap M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.
Tradisi Jawa juga, imbuh Ricklefs, telah lama meramalkan kepada penguasa Mataram Kuno bahwa kerajaannya akan jatuh pada zaman cicit laki-lakinya, yaitu Amangkurat I. Ramalan itu kiranya benar adanya. Istana Plered Mataram yang sudah berusia ratusan tahun itu jatuh ke tangan Trunajaya pada Juni 1677.