Petualangan Pangeran Anom dalam mencari cinta akhirnya selesai. Seorang gadis asal Kali Mas, Surabaya, berhasil mencuri hati si putra mahkota kerajaan Mataram tersebut. Oyi, putri mantri Ngabei Mangunjaya, telah benar-benar mengikat Pangeran Anom. Namun bukan kebahagiaan yang menanti mereka. Kemurkaan sang ayah, Amangkurat I, menghancurkan segalanya.
Sejak dibawa keluar dari rumah orang tuanya, garis takdir telah mengantar Oyi menjadi calon ratu di istana Mataram. Tetapi bukan sebagai pendamping Pangeran Anom, melainkan istri bagi Amangkurat I, yang baru saja kehilangan cintanya. Oyi yang kala itu masih berusia 11 tahun dianggap terlalu kecil untuk dipinang. Karenanya Amangkurat I meminta salah seorang mantrinya, Ngabei Wirareja, untuk mengurus hingga si gadis tumbuh dewasa.
Baca juga: Cinta Amangkurat I
Di sinilah kekacauan bermula. Menurut J.J. Meinsma dalam Babad Tanah Jawi: Javaanse Rijkroniek, Oyi yang sudah remaja secara tidak sengaja ditemukan Pangeran Anom. Seketika itu juga si pangeran jatuh cinta kepadanya. Meski telah diberitahu bahwa gadis itu kelak akan menjadi istri ayahnya, cinta telah membutakan Pangeran Anom. Berbagai resiko rela ia hadapi demi bisa bersama sang pujaan hati.
“Ia jatuh sakit karena cintanya itu. Berbaring beselimut kain dodot dan mengunci diri di dalam kamar, tidak makan dan tidak tidur,” tulis Meinsma.
Sementara itu H.J. De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram menyebut Pangeran Anom dibantu oleh kakeknya, Pangeran Purbaya, untuk memboyong Oyi ke luar dari rumah Wirareja. Dengan iming-iming harta berlimpah, Wirareja “menjual” Oyi ke Pangeran Anom.
Mengenai kakek yang membantu Pangeran Anom, di dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa sosok tersebut adalah Pangeran Pekik, mertua Amangkurat I. Namun hasil penelitian De Graaf berkata lain. Menurutnya Pangeran Pekik yang telah dihukum mati tahun 1659 tidak mungkin muncul kembali pada 1669. Sehingga ia meyakini bahwa Pangeran Anom dibantu oleh saudara Pangeran Pekik, yaitu Pangeran Purbaya.
“Menurut sumber Belanda, berbeda dengan sumber Jawa, Panembahan Purbaya selalu membangkan terhadap kemenakannya, Sunan Mangkurat I. Oleh karena itu, keluarga Purbaya juga terdapat di kalangan pihak pemberontak,” ucap De Graaf.
Hukuman Raja
Peristiwa diboyongnya Oyi dari kediaman Wirareja akhirnya terdengar juga ke telinga Amangkurat I. Raja yang sedang menata kembali pemerintahannya setelah sempat ia tinggalkan, dibuat tidak percaya dengan tindakan putranya itu. Sudah dua kali Pangeran Anom mengecewakan ayahnya. Kejadian itu pun sudah tidak dapat membendung kemarahan raja.
Dalam laporan seorang utusan Belanda, Abr Verspreet, pada 6 November 1668, disebutkan kalau kemurkaan Amangkurat I langsung ditujukan kepada putranya, Wirareja, dan Purbaya. Mereka dianggap sebagai pembangkan. Raja segera mengeluarkan titah untuk menghukum ketiganya.
Baca juga: Ketika Cemburu Membakar Amangkurat I
Sebagai permulaan, Amangkurat I menyuruh pasukannya menghancurkan kediaman ketiganya. Istana Pangeran Anom dibakar habis. Rumah-rumah di sekitarnya juga tidak luput dari keganasan pasukan raja. Beberapa sumber bahkan menyebut tindakan para utusan raja di kediaman Pangeran Anom telah diluar kendali. Mereka menjarah, merusak, serta menangkap orang-orang yang dianggap dekat dengan Putra Mahkota.
Pada 10 Juli 1669, pemerintah Belanda di pusat menerima laporan resmi dari Residen Amelis Valee tentang keadaan istana Pangeran Anom. Pejabat Belanda yang bertugas mengawasi Mataram itu menyebut istana pangeran telah dibakar habis.
Pangeran Anom diceritakan berhasil bertahan. Ia dan Oyi saat terjadi penyerangan sedang berada di dalam istana. Namun keduanya luput dari maut. Sejak diboyong Pangeran Anom, raja memang sudah tidak mengharapkan kehadiran Oyi di Istana Mataram. Sehingga keselamatannya sama sekali bukan prioritas.
“Siksaan apa yang dilakukan sunan terhadap putranya tidak disebutkan. Tetapi menurut Verspreet, soal itu lebih serius daripada yang diduga di Batavia,” tulis De Graaf.
Baca juga: Berebut Takhta Mataram Kuno
Sementara Si Pangeran didisiplinkan sang ayah, dua orang lainnya harus menghadapi nasib yang jauh lebih menyedihkan. Pangeran Purbaya beserta keluarganya diasingkan ke Lipura. Tempat tinggalnya dihancurkan. Banyak pengikutnya yang dihabisi. Dan belakangan keluar titah untuk mencabut nyawa Purbaya. Babad Tanah Jawi mencatat ada sekitar 40 orang korban kemurkaan Amangkurat I tersebut.
Wirareja sendiri mendapat hukuman terberat. Kemarahan dan kekecewaan Amangkurat I kepadanya begitu besar. Ia bersama istri dan anak-anaknya diusir ke Ponorogo. Menurut tutur Serat Kandha, Wirareja ditinggalkan di hutan belantara. Awalnya raja ingin membiarkan mereka hidup terasing di sana. Tetapi kemudian turun perintah baru untuk membunuh keluarga tersebut.
Nasib Rara Oyi
Meski pernah tergila-gila dengan Oyi, Amangkurat kepalang murka. Ia sudah tidak bisa menerima keberadaannya. Naskah Babad Tanah Jawi menceritakan, Amangkurat I lalu memberi kesempatan kepada Adipati Anom untuk menebus kesalahannya. Sang ayah tidak akan mengusirnya. Kedudukannya sebagai pangeran pun dipertahankan.
Namun titah raja begitu berat. Pangeran Anom harus menghabisi nyawa Rara Oyi dengan tangannya sendiri. Kali ini ia tidak bisa menentang perintah sang ayah. Pangeran Anom sudah kehilangan kekuasannya sehingga tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan.
Maka ia pun pergi menemui Oyi. Pangeran Anom memeluk perempuan yang dikasihinya itu, lalu menusuknya dengan sebilah keris. Nyi Oyi tewas dipangkuan lelaki pujaannya. Naskah Babad Tanah Jawi menggambarkan betapa pedihnya hati Pangeran Anom ketika mendapat titah tersebut.
Baca juga: Raja Mataram Menjaga Keberagaman
“Pangeran Adipati akhinya dimaafkan oleh ayahandanya dan kembali ke tempat asalnya. Hingga akhirnya memberontak melawan ayahandanya dengan bantuan Trunajaya,” kata Filolog Adi Deswijaya kepada Historia.
Sejak kembali kehilangan orang yang dicintainya, Amangkurat I sikapnya berubah. Menurut W.L. Olthof dalam Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647, ia jadi suka menyiksa orang, dan selalu menebar maksiat. Orang-orang di sekitarnya pun suka bertindak sembarangan dalam kedudukannya. Ketentraman negara terusik. Masyarakat mulai tidak nyaman tinggal di Mataram. Banyak fenomena alam tidak lazim terjadi. Memandakan negara sedang rusak.