HUKUMAN mati bukan hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Gambaran proses eksekusi mati dengan keji dapat ditelusuri melalui beragam artefak. Di antaranya empat lukisan gua di Cingle de la Mola Remigia, kawasan pantai timur Spanyol, dari tahun 6500 SM. Lukisan-lukisan tersebut digambarkan oleh seorang ahli sebagai “pembunuhan tergorganisir”. Salah satunya menunjukkan seorang pria terbaring, tangan dan kakinya terikat, dan tubuhnya penuh anak panah. Dalam gambar tersebut juga terlihat tujuh belas orang tampak mengangkat busur mereka.
Sejak zaman kuno hingga era modern, berbagai metode penyiksaan diterapkan untuk mengeksekusi orang-orang bersalah atau pelaku kejahatan. Dalam banyak kasus, hukuman mati tak hanya dijatuhkan kepada pelaku pembunuhan. Menurut Joseph A. Melusky dalam “Old (and Gruesome) Methods of Execution”, termuat di Capital Punishment: An Encyclopedia of History, Politics, Culture, and the Law, hukuman mati di Roma kerap diberikan kepada mereka yang melakukan pencemaran nama baik, membuat maupun menyanyikan lagu-lagu yang menghina, membakar setumpuk jagung di dekat rumah, melakukan sumpah palsu, membuat keributan di malam hari di kota, hingga melakukan pencurian budak.
“Metode eksekusi disesuaikan dengan kejahatannya (pelaku pembakaran biasanya dibakar hidup-hidup) dan juga termasuk penyaliban, penenggelaman, penguburan hidup-hidup, penggantungan, pemukulan hingga mati dan penusukan. Hukuman penjara ditetapkan untuk kasus gagal bayar utang, tetapi bahkan di sana hukuman mati tetap menjadi pilihan yang sah; kreditur dapat ‘memotong-motong’ debitur,” tulis Melusky.
Baca juga:
Gubernur Jenderal VOC Dijatuhi Hukuman Mati
Sementara itu, John Bessler menulis dalam The Death Penalty’s Denial of Fundamental Human Rights, pada masyarakat awal, hukuman yang kejam dan berat dijatuhkan untuk orang yang melakukan dosa dan pelanggaran terhadap para tiran serta raja dan ratu yang bertangan besi. Selain itu, di bawah doktrin kuno Romawi tentang patria potestas, bahasa Latin yang berarti “kekuatan seorang ayah”, sebagai pemimpin keluarga, para ayah memiliki otoritas yang sangat besar dan bahkan dapat, jika diinginkan, memerintahkan kematian anggota keluarga mereka sendiri.
“Di bawah patria potestas, seorang ayah Romawi memiliki kekuasaan absolut atas keluarganya. Ia bisa menjual mereka sebagai budak; ia bisa membuat mereka bekerja di ladangnya bahkan dengan dirantai; ia bisa menghukum sesuka hatinya dan bahkan bisa menjatuhkan hukuman mati,” tulis Bessler.
Metode penyiksaan menjadi elemen penting dalam proses eksekusi mati. Banyak hukuman mati yang dilakukan dengan proses penyiksaan terlebih dahulu untuk menimbulkan rasa sakit. Menurut Lauren Good dalam “Stretched, Crushed and Impaled: 10 Shocking Torture Methods from Medieval History” termuat di HistoryExtra, 11 September 2024, berbagai macam metode dan alat penyiksaan yang mengerikan tak hanya digunakan untuk menghukum, tetapi juga sebagai cara untuk mendapatkan informasi dan mengorek pengakuan (terlepas dari kebenarannya) dan, mungkin yang paling penting, menanamkan rasa takut.
Salah satu metode penyiksaan yang terkenal dan mengerikan adalah brazen bull atau banteng penghukum yang tak kenal ampun. Sejarawan James William Ermatinger menulis dalam All Things Ancient Greece: An Encyclopedia of the Greek World, metode penyiksaan ini berkaitan erat dengan Phalaris, seorang tiran dari Acragas (Agrigento modern), Sisilia, yang terkenal akan kekejamannya. Setelah berhasil menyelesaikan pembangunan kuil Zeus Atabyrios di benteng Acragas, Phalaris mempersenjatai para pekerjanya dan merebut kekuasaan. Seperti yang biasa dilakukan oleh para tiran di masa awal, Phalaris membuat dirinya disukai oleh penduduk dengan memperbaiki kondisi kehidupan mereka.
Baca juga:
Menonton Eksekusi Hukuman Mati di Batavia
“Ia membangun tembok besar, hampir tujuh mil kelilingnya dengan sembilan gerbang, untuk melindungi kota dan menjadikannya salah satu yang paling kuat di Sisilia. Ia juga memasok air segar untuk kebutuhan di dalam kota dan mendirikan banyak bangunan yang indah. Selama masa pemerintahannya, Phalaris memperluas kekuasaan dan wilayah Akragas. Orang-orang di Himera yang berdekatan juga memilihnya sebagai pemimpin dengan kekuasaan absolut, yang memungkinkannya untuk mengendalikan sebagian besar wilayah untuk waktu yang singkat,” tulis Ermatinger.
Dikenal sebagai penguasa bertangan besi, Phalaris juga dikaitkan dengan jenis penyiksaan dan eksekusi tertentu. Dikisahkan, ia meminta seorang perajin logam bernama Perillos dari Athena untuk membuatkan patung banteng dari tembaga. Orang-orang yang bersalah akan ditempatkan di dalamnya, lalu api dinyalakan di bawah patung tersebut, yang selanjutnya akan mengubah patung itu menjadi oven panas yang memanggang mereka.
Perillos membuat patung tersebut dengan ukuran dan bentuk yang sama persis dengan banteng. Di bagian dalamnnya terdapat ruang berongga dan pintu masuk-keluar di bagian perut banteng. Ruang berongga itu mampu menampung satu orang dewasa. Perillos juga mendesain banteng buatannya agar asapnya mengepul seperti dupa. Mengingat pelaksanaan eksekusi mati dilakukan secara terbuka, Perillos melengkapi banteng dengan sistem yang menarik perhatian penonton.
Melusky menyebut Perillos merancang bagian dalam kepala banteng dengan serangkaian tabung dan sumbat yang membuat jeritan orang dari dalam terdengar seperti auman banteng. Penderitaan manusia yang meronta-ronta di dalam patung tersebut membuatnya menjadi tampak hidup. “Ini menjadi salah satu metode eksekusi yang paling umum di Yunano Kuno,” sebutnya.
Baca juga:
Hukuman bagi Penjahat pada Zaman Kuno
Meski alat eksekusi ini diakui oleh banyak sejarawan, tetapi para ahli menyakini fakta-fakta seputar penggunannya telah dibumbui berbagai kisah. Salah satu yang paling terkenal menyatakan bahwa Perillos menjadi orang pertama yang dieksekusi di dalam patung banteng buatannya.
Perillos yang mengetahui reputasi sang tiran, membawa patung banteng kepada Phalaris untuk diperiksa dan menjelaskan alat eksekusi tersebut. Penjelasan mengenai brazen bull menarik minat sang penguasa. Ia kemudian memerintahkan Perillos untuk mendemonstrasikannya. Setelah masuk ke dalam patung itu, api dinyalakan dan tak butuh waktu lama, pencipta alat penyiksaan itu pun tewas mengerikan dengan cara yang ia ciptakan sendiri.
“Terlepas dari asal-usulnya, apakah alat ini digunakan pada periode abad pertengahan, para sejarawan berpendapat bahwa pengetahuan tentang brazen bull, seperti halnya alat penyiksaan lainnya, dipertahankan sebagai kisah peringatan –atau sebagai sarana untuk menunjukkan tirani para penguasa,” tulis Good.