Serba-serbi Kepala Babi

Sering dijadikan simbol ancaman, kepala babi dalam beberapa peradaban punya makna beragam. Tak selalu miring.

Oleh: Randy Wirayudha | 25 Mar 2025
Serba-serbi Kepala Babi
Ilustrasi hewan babi (pertanian.go.id)

KANTOR Tempo dua kali diteror kiriman paket tak menyenangkan. Pertama paket berisi kepala babi pada 19 Maret 2025 dan tiga hari berselang paket berisi bangkai-bangkai tikus yang kepalanya terpenggal. Seiring penyelidikan kasusnya oleh Bareskrim Polri, sejumlah pihak mulai berkomentar. Salah satunya kepala Kantor Kepresidenan Hasan Nasbi yang mengatakan baiknya kepala babi itu dimasak saja. 

Tentu ini bukan kasus pertama kantor media massa mengalami intimidasi dan teror. Namun, itu menjadi persoalan tersendiri di alam demokrasi seperti sekarang. 

“Tahun 1978 sebagai dampak pemberitaan terhadap demonstrasi mahasiswa suratkabar Indonesia Raya, Kompas, serta Sinar Harapan dilarang terbit. Pada 1982 majalah Tempo mengalami nasib yang sama akibat memberitakan kerusuhan yang terjadi saat kampanye Golkar. Media massa yang dibredel akan diizinkan kembali terbit jika telah membuat surat pernyataan ketertundukan untuk menjalankan proses ketertiban yang disyaratkan rezim,” tulis Sri Yanuarti dalam artikel “Intelijen dan Para Pengganggu: Menghilangkan Para Pengusik Kekuasaan Soeharto” yang termaktub dalam buku Intelijen dan Kekuasaan Soeharto. 

Advertising
Advertising

Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim dan mengharamkan babi, kepala babi jadi simbol sesuatu yang diharamkan. Oleh karenanya, belakangan seringkali kepala babi dijadikan medium teror dan intimidasi, hingga ancaman pembunuhan secara umum. 

Padahal, di masa lalu babi bukan dianggap fauna laknat. Banyak peradaban, mulai Mediterania hingga daratan China, menghormati babi sebagai hewan. Bahkan di era kemudian, babi mendapat tempat dalam pop culture dengan eksisnya tokoh-tokoh fiksi seperti Peppa (animasi Peppa Pig), Lila (animasi Pinkfong), Oolong (karakter komik Dragon Ball), Porky Pig (karakter animasi Looney Tunes), Pumba (karakter babi hutan Lion King), Piglet (karakter Winnie the Pooh), hingga karakter Zhu Bajie alias Chu Pat Kai (karakter kisah Xiyou Ji/ Perjalanan ke Barat) dan shio babi dalam astrologi China.

Baca juga: Sigap Menangkal Babi-Babi Suap 

Kepala Babi dalam Aneka Budaya 

Dalam peradaban China, babi tidak hanya jadi bagian vital dalam kehidupan pertanian tapi juga jadi simbol dalam spiritual. Menurut Robert J. Dorman dalam Everything You Need to Know About the Chinese Sign: Pig, babi melambangkan kekayaan melimpah, ketekunan hingga mendapatkan tempat terhormat dalam tradisi China. 

“Ribuan tahun lalu babi jadi salah satu hewan pertama yang dipelihara sebagai bahan makanan di peradaban China kuno. Bukti arkeologis dari periode Neolitikum menunjukkan babi jadi sumber utama dan tidak hanya kemudian dipandang sebagai daging makanan belaka tapi juga kekayaan dan keselamatan. Memiliki babi pertanda kesuburan dan kesejahteraan,” tulis Dorman. 

Dalam penanggalan China pun, babi jadi salah satu dari 12 shio. Dalam penanggalan itu, orang-orang yang lahir di shio babi konon disebutkan punya sifat jujur, toleran, tulus, lembut, dan bisa dipercaya. 

Baca juga: Serba-serbi Politik Gentong Babi

Dalam konteks spirutual, bagian kepala dan ekor babi juga dijadikan medium dalam beberapa ritual. Kadang dalam ritual pernikahan dan tak jarang pula kepala dan ekor babi yang sudah dimasak disajikan sebagai sheng-li (sesaji) untuk para dewa dalam ritual pemakaman. 

Sheng-li, utamanya kepala babi dan ekornya, menjadi sesaji kehormatan, sesaji untuk menghargai para dewa-dewi. Baik dalam tradisi Kanton dan Taiwan juga sesaji kepala babi dan ekornnya disimbolkan sebagai awal yang baik dan akhir yang baik,” ungkap Stuart E. Thompson dalam artikel “Death, Food, and Fertility” yang termaktub dalam buku Death Ritual in Late Imperial and Modern China. 

Dalam peradaban Lembah Indus dan mitologi Hindu, terdapat sosok Varaha yang merupakan penjelmaan Dewa Wisnu bertangan empat dan berkepala babi. Seperti diungkapkan Farrin Chwalkowski dalam Symbols in Arts, Religion and Culture: The Soul of Nature, sosok Varaha dengan empat tangannya masing-masing menggenggam cakra Sudarshana, sebuah sankha, sebuah gada, dan sebuah kelopak bunga teratai untuk mengusir iblis dari bumi. 

Baca juga: Babi Ngepet, Mitos, dan Krisis

Sedangkan dalam mitologi Buddha, terdapat sosok Vajravarahi, dewi berkepala babi dan berkulit merah. Dewi Vajravarahi disembah umat Buddha di Tibet karena merepresentasikan Buddha dalam sosok feminim tetapi memiliki kekuatan seperti yang digambarkan pada sosoknya yang memegang kapala (cangkir tengkorak) di tangan kanan dan darah di tangan kirinya. 

“Sedangkan Dewi Nut dari Mesir seringkali digambarkan sebagai seekor babi yang setiap pagi memangsa anak-anak babi, bintang-bintang, yang kemudian ia lahirkan kembali di malam hari. Dewi Isis digambarkan menunggangi seekor babi dengan kakinya terbuka lebar, memicu kesuburan tak terbatas, darah menstruasi, dan siklus kematian dan kelahiran. Orang Mesir Kuno juga menganggap babi lebih terhormat sebagai hewan tumbal saat bulan purnama untuk para dewa ketimbang dijadikan suguhan pesta,” ungkap Chalkowski. 

Di Nusantara, masyarakat non-muslim umum mengonsumsi daging babi dalam berbagai kuliner mereka. Sebagian masyarakat juga menggunakan kepala babi sebagai bagian dari ritual upacara adatnya. Salah satunya masyarakat Minahasa. Menurut Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa, babi biasanya jadi bagian dari hewan-hewan kurban yang kemudian dibagikan sebagai simbolisasi selesainya sebuah upacara adat. 

“Ketua Potu’usan dewan tua-tua mendapat kaki belakang dan depan; Kepala Walak atau Ukung Wangko atau Hukum Besar mendapat Wo’wo atau kepala babi rahang atas, wakilnya atau Hukum Kadua mendapat rahang bawah; Kepala perang atau Kapitan atau Teterusan mendapat daging punggung kiri; Gumigirot atau hakim mendapat daging punggung kanan; Walian In Uma (wanita) atau Walian Lele’en (Pria) mendapat rusuk kiri; Walian Peposanan atau pemimpin Walian (wanita/pria) mendapat rusuk kanan,” tulis Jessy. 

Baca juga: Babi dalam Masyarakat Nusantara

Di balik pembagian sejumlah potongan babi itu, lanjut Jessy, kepala babi alias wo’wo punya makna gegenang atau berpikir, simbol makan atau ekonomi serta menggigit sebagai simbol berperang, dan simbol berbicara kepada masyarakat. Lantas bagian kaki depan dan belakang merupakan penggambaran melangkah ke tujuan kehidupan. Rusuk sebagai simbol pelindung hati dan jantung. Daging punggung simbol hukum-hukum perang. 

Dalam ritual tanam padi masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan pun, babi jadi hewan yang turut dikurbankan. Potongan-potongannya dibagikan sesuai aturan adatnya. Biasanya daging babi yang besar diberikan kepada indo’padang (tokoh yang bertanggungjawab menjaga aturan penamaman padi) dan kepala babi khusus diberikan untuk tomina (imam kampung). 

“Karena tanggung jawab itulah indo’padang mendapat bagian daging bagi yang lebih besar yakni paha kaki depan sebelah kanan. Kepala babi dan lehernya juga dipotong-potong dan diberikan khusus kepada tomina dan para tokoh masyarakat/kepala kampung (tomakaka). Pemberian kepala babi sebagai simbol kepemimpinan dalam kampung; lidah babi diberikan kepada anak yang belum bicara dengan harapan dapat cepat berbicara,” tulis Binsar Jonathan Pakpahan dalam Bunga Rampai Teologi Kontekstual & Kearifan Lokal Toraja. 

Baca juga: Babi dalam Masyarakat Batak Toba

Sementara, dalam masyarakat Pulau Nias di Sumatera Utara, kepala babi yang diberikan dalam bentuk sajian simbi (rahang babi) jadi hal vital dalam sejumlah upacara atau pesta adat. Menurut Ketut Wiradnyana dalam Legitimasi Kekuasaan pada Budaya Nias: Panduan Penelitian Arkeologi dan Antropologi, orang atau tamu yang berhak mendapatkan simbi itu adalah orang dengan status paling tinggi dan dihormati dalam pesta atau upacara adat. 

Kepala babi bagi juga berharga bagi beberapa suku dan kelompok masyarakat di Papua. Ia melambangkan kekayaan dan status sosial sehingga selalu jadi bagian penting dalam sejumlah upacara adat, bahkan menjadi mas kawin dalam upacara perkawinan.

Masyarakat Bajawa di Nusa Tenggara Timur menjadikan kepala babi bagian dari ritual Bhei Bhodo. Di sana, kepala babi dengan nasi dipikul lalu dibawa keliling sebagai simbol perayaan akan suatu pencapaian, semisal keberhasilan pembangunan kampung adat atau panen. Serupa dengannya, masyarakat Hindu di Bali juga menggunakan kepala babi sebagai upacara kepada dewa-dewa tertentu. 

“(Pendiri ajaran Syiwa Bali) Danghyang Nirartha memasyarakatkan dengan membuat persembahan Gayah dalam Upacara tingkatan besar, di dalam Sate Gede/Gayah (upakara dengan menghias kepala babi) dengan simbol-simbol Dewa Nawa Sanga, di dalamnya dilengkapi senjata, dan perlengkapan lainnya, dengan menggunakan daging pembuatannya bisa babi, itik, dan sebagainya,” tukas I Made Pageh dalam Model Revitalisasi Ideologi Desa Pakraman Bali Aga Berbasis Kearifan Lokal. 

Baca juga: Babi Guling Bali

TAG

teror media massa media babi

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Media Amerika Memberitakan Sukarno dan Dukun Akhir Pelarian Teroris Kiri Bobo dari Belanda ke Indonesia Jenderal Hobi Berburu Babi Makanan Tadi Malam Dendam di Balik Peledakan Pesawat United Airlines 629 Babi Guling Bali Teror Armenia di Paris Selain Jadi Babi Ngepet Babi Ngepet, Mitos, dan Krisis