Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan
Sangat sedikit orang Indonesia jadi peternak susu di masa kolonial. Kini setelah banyak seperti di Boyolali, peternak dibatasi produksinya.
DUKA sedang menyelimuti para peternak susu Indonesia. Sebab, pemerintah baru membatasi kuota produksi susu lokal masuk pabrik. Padahal, pemerintah katanya hendak membagi-bagikan susu gratis ke anak sekolah. Alhasil, puluhan ribu peternak sapi susu di Boyolali protes dengan mandi susu. Selain itu, ada pula peternak sapi susu yang ditagih pajak tak wajar hingga Rp671 juta.
Susu dari sapi adalah minuman atau asupan bergizi yang kaya kalsium, vitamin B, dan mineral. Orang Indonesia masa kini cukup banyak yang menggemari dan merasa kurang lengkap tanpa susu. Namun tidak di masa dua abad silam.
“Produk susu tidak menjadi bagian dari ekonomi domestik Jawa, baik susu itu sendiri maupun olahannya, tidak dihargai atau digunakan oleh pribumi,” catat Letnan Gubernur Jenderal Inggris di Jawa Thomas Stanford Raffles dalam History of Java.
Baca juga:
Kendati menjadi gambaran kondisi persusuan di masa awal abad ke-19, catatan Raffles sejatinya menggambarkan minimnya pengetahuan dia soal kondisi sosial masyarakat.
“Raffles tampaknya tidak bisa menerima landasan keyakinan Hindu dalam menyucikan sapi yang dianggapnya berlebihan. Ia menyayangkan potensi susu sapi di Jawa terlalu disia-siakan manfaatnya,” catat Fadly Rachman dalam Jejak Rasa Nusantara Sejarah Makanan Indonesia.
Keyakinan tersebut membuat sapi hanya dimanfaatkan penduduk untuk tenaganya semata. Sapi dan yang dihasilkan dari tubuhnya minim pemanfaatan. Sehingga sapi hanyalah kawan petani dalam mengolah sawah. Itulah mengapa sapi menjadi hewan umum yang bertebaran di rumah-rumah penduduk di banyak desa.
“Sapi yang dikembangbiakkan di Hindia Belanda sebagian besar merupakan sapi spesies lokal, meskipun banyak juga sapi yang merupakan keturunan dari hasil perkawinan dengan sapi impor,” catat J. Stroomberg dalam Hindia Belanda 1930.
Sapi lokal diperkirakan keturunan banteng atau sapi liar. Sapi Bali dianggap sapi terbaik di nusantara.
Baca juga:
Berbeda dari para pribumi, orang Eropa yang tentu punya gaya hidup ala Eropa, menaruh perhatian terhadap susu. Di masa kedatangan Raffles di Jawa, sudah ada orang Eropa yang berusaha menggenjot produksi susu. Biasanya mereka tinggal di daerah berhawa sejuk. J. Stroomberg dalam Hindia Belanda 1930 mencatat pengusahaan susu dari sapi di banyak tempat lebih banyak dilakukan orang Eropa dan pada daerah-daerah tertentu orang Tionghoa pun terlibat dalam pemerahan susu. Menurut Stroomberg, pribumi nyaris tak terlihat.
Namun, umumnya susu yang dihasilkan sapi-sapi itu tergolong sedikit. Alhasil, pemerintah kolonial menaruh perhatian lebih pada industri susu sapi. Untuk tujuan itu, Umar Basalim dkk. dalam Perekonomian Indonesia, Krisis dan Strategi Alternatif mencatat, sejak abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda mengimpor sapi perah dari Australia dan Belanda untuk menggenjot produksi susu segar.
Baru jauh setelah era Raffles, mulai ada satu-dua pribumi mencari cuan dengan jualan susu sapi. Salah satunya, Wakidin Wirjopawiro yang berternak sapi dan menjual susunya di era akhir abad ke-19.
Baca juga:
Wakidin, seorang Kristen asal Bantul, Yogyakarta yang menganut Calvinis, punya koneksi orang-orang Belanda yang suka minum susu. Koneksi itu didapatnya karena di masa mudanya pernah ngenger pada sebuah keluarga dr. Pruys yang orang Belanda. Dari lingkungan Belanda itulah Wakidin belajar persusuan.
“Di daerah Sentul, sebuah kampung tidak jauh dari Pura Pakualaman Yogyakarta, ada perusahaan susu perah yang dikelola oleh orang Kristen. Perusahaan itu dikenal dengan nama ‘SK’. Salah satu kemungkinan, Kakek Wakidin mula-mula memperoleh seekor sapi dari perusahaan tersebut dengan sistem nggadhuh (bahasa Jawa yang berarti menjadi pemelihara, dengan imbalan bagi hasil berupa anak sapi yang dilahirkan oleh induk yang dipeliharanya atau dengan memperoleh santunan tertentu sesuai perjanjian). Versi kedua menceritakan Kakek Wakidin memperoleh seekor sapi dari orang Belanda (kemungkinan diberi hadiah oleh dr. Pruys) dan kemudian berhasil mengembangkannya sehingga menjadi banyak,” Sudarno Sumarto, Irzan Tanjung dkk. dalam Radius Prawiro: Kiprah, Peran, dan Pemikiran.
Usaha Wakidin berkembang, peternakan sapi miliknya di Jalan Klitren Lor terbilang modern. Menurut koran De Locomotief tanggal 12 Agustus 1932, produk susunya masuk kategori kualitas pertama dengan komposisi susu dinilai bagus, kondisi susu (sangat bagus), dan perusahaan (sangat bagus). Salah satu pegawai dari perusahaan susu itu adalah cucu Wakidin yang bernama Radius Prawiro (kelak menjadi orang kepercayaan Presiden Soeharto di bidang ekonomi), yang bertugas mengantar susu ke para pelanggan tiap pagi.
Namun, bisnis susu Wakidin merosot drastis ketika zaman pendudukan Jepang. Selain pelanggannya banyak yang pergi karena ditawan, makanan sapi-sapinya pun amat sulit didapat. Alhasil sapi-sapinya tak terurus.
Kondisi tersebut kian parah ketika era revolusi kemerdekaan. Perang membuat hampir semua hal yang umum menjadi sulit.
Kendati tertatih-tatih, perusahaan susu Wakidin masih hidup pada 1960-an. Kendati di masa itu situasi keamanan telah jauh lebih baik dan pakan ternak lebih mudah didapat, persaingan telah semakin keras. Banyak orang Indonesia telah beternak sapi untuk diperah susunya. Pemainnya pun tak semata penduduk, tapi pengusaha. Maka skalanya pun banyak yang besar.
“Akhirnya perusahaan itu ditutup pada 1968 setelah kondisinya memang tidak dapat dipertahankan lagi,” sambung Sudarno Sumarto, Irzan Tanjung dkk.
Sejak era itu, industri susu tanah air kian berkembang. Banyak orang mengais rezeki, bahkan menggantungkan hidup pada jualan susu. Terlebih, setelah progam "4 Sehat 5 Sempurna" dicanangkan Orde Baru pada akhir 1970-an hingga menjadikan susu bagian dari konsumsi harian orang-orang. Namun, kini kondisi para peternak dan pengusaha susu lokal kembali menjadi berat akibat kebijakan pemerintah.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar