Buah dan Susu di Duren Tiga
Duren Tiga awalnya daerah penghasil buah, susu, dan tahu. Berkembang setelah dibangun kompleks perumahan pegawai pemerintah. Penduduk asli tersisih.
Duren Tiga di Jakarta Selatan tengah menjadi sorotan. Pasalnya, di Kompleks Polri telah terjadi pembunuhan anggota polisi, Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Tempat kejadian perkaranya di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Pol. Ferdy Sambo. Sebanyak 31 anggota polisi diperiksa dan empat pelaku ditetapkan sebagai tersangka termasuk Ferdy Sambo.
Sembari mengikuti kasus ini, kiranya menarik juga mengetahui sejarah Duren Tiga. Selain Kompleks Polri, di kawasan itu juga terdapat Kompleks PLN, Kompleks Pertamina, dan Kompleks Pertambangan.
Ilya R. Sunarwinadi dalam “Penduduk Asli Betawi dan Industri Kecil,” majalah Widyapura, No. 4 Th. IV, Maret 1984, menjelaskan, Duren Tiga mulai menjadi daerah permukiman bagi kaum pendatang sekitar tahun 1955, ketika PLN berniat membangun kompleks perumahan bagi para pegawainya. Pihak perusahaan melalui makelar-makelar tanah mengadakan pendekatan pada penduduk Betawi agar mau menjual tanahnya. Meski tidak dipaksa, banyak juga yang menjual tanahnya dengan harga relatif murah Rp90 per meter persegi, ketika itu hanya cukup untuk membeli tiga liter beras.
Sebelum pertengahan tahun 1950-an, daerah Duren Tiga masih merupakan tanah-tanah kosong yang sebagian ditanami buah-buahan (singkong, ubi kayu, pepaya, jeruk, mangga, dan durian), rawa-rawa, dan sawah. Duren Tiga diambil dari buah durian (orang Betawi menyebutnya duren), namanya menunjukkan daerah itu penghasil buah-buahan. Ada sumber yang menyebut nama Duren Tiga berasal dari merek korek api Tiga Durian produksi PT JAMAFAC (Java Match Factory) yang didirikan pada 1949. Ini diragukan karena kantor pusat PT JAMAFAC beralamat di Jl. Raya Pegangsaan Dua Km. 3, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sementara pabriknya berada di Padalarang, Jawa Barat.
Baca juga: Selayang Pandang Kisah Mampang
Buku Sejarah Kota Jakarta 1950-1980 yang disusun Edi Sedyawati, dkk. menyebut daerah-daerah di Jakarta yang menjadi penghasil buah-buahan adalah Pasar Minggu, Pasar Rebo, Kebon Jeruk, Kebayoran, dan Mampang Prapatan. Duren Tiga masuk ke dalam Mampang Prapatan dan Pancoran. Selain buah-buahan, tanaman bahan makanan pokok dan sayur-sayuran menempati areal yang lebih sempit.
Penduduk Duren Tiga sebagian besar orang Betawi. Hampir seluruhnya menjadi petani. Petani kaya mempunyai tanah sangat luas yang diolah oleh buruh tani. Hasil pertaniannya berupa buah-buahan dipasarkan oleh petani miskin atau para tengkulak.
“Tidak jarang para petani kaya mengusahakan peternakan sapi yang hasil susunya dijual ke langganan-langganan di kota,” tulis Ilya.
Selain penghasil buah-buahan, Duren Tiga termasuk daerah di Mampang Prapatan sebagai penghasil susu. Sejarah Kota Jakarta 1950–1980 mencatat, produksi susu dari daerah Mampang Prapatan mencapai 8.858 liter setiap hari.
Baca juga: Tiga Versi Asal Usul Warung Buncit
Sementara itu, menurut Ilya, petani miskin memiliki tanah sangat terbatas. Hasilnya tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Sehingga selain menjual buah-buahan hasil tanah sendiri, mereka juga masih harus menambah penghasilan dengan menjual buah-buahan milik petani kaya atau menjadi buruh tani. Kadang-kadang barang dagangan mereka tidak terbatas pada daerah setempat, terutama kalau pohon-pohonnya kurang atau terlambat berbuah.
Di antara petani miskin banyak juga yang mengusahakan pembuatan tahu secara kecil-kecilan di rumah untuk menambah pendapatan. Tenaga kerjanya dari lingkungan keluarga.
“Maka, mata pencaharian yang boleh dikatakan tertua (menurut istilah mereka ‘mulai zaman Belanda’) bagi penduduk asli Betawi di Duren Tiga adalah petani dan pedagang buah-buahan, peternakan sapi untuk diambil susunya, dan pembuatan tahu,” tulis Ilya.
Duren Tiga mulai menjadi daerah permukiman kaum pendatang sekitar tahun 1955, ketika PLN mulai membangun kompleks perumahan bagi para pegawainya. Pada awal 1970-an, instansi-instansi lain menyusul dengan membangun Kompleks Pertamina, Polri, dan Pertambangan. Bersamaan dengan itu, dibangun pula fasilitas dan infrastruktur penunjang seperti jalan-jalan yang diaspal, listrik, dan jaringan telepon.
Baca juga: Asal Usul Nama Kampung Bali
Pembangunan kompleks-komplek perumahan itu ditambah rencana pemerintah DKI Jakarta menetapkan Jakarta Selatan sebagai wilayah bagi perumahan, semakin mendorong para pendatang mencari tempat permukiman di Duren Tiga. Penduduk Betawi pun semakin banyak yang melepaskan tanahnya; tidak hanya tanah kosong, tapi banyak juga tanah perkebunan. Umumnya mereka kemudian tinggal di tanah sisa miliknya atau menyingkir lebih jauh, sering kali di belakang tanah yang telah mereka jual. Hasil penjualan tanah biasanya digunakan untuk ongkos naik haji, sisanya untuk konsumtif, tapi ada pula yang menggunakannya untuk modal usaha. Proses penjualan tanah seperti itu terus berlangsung hingga tahun 1980-an. Bedanya harga tanah sudah naik, rata-rata Rp100.000 per meter persegi, ketika itu harga beras terbaik Rp500 per liter.
Dengan semakin sempitnya tanah pertanian di Duren Tiga, maka penduduk Betawi yang berkebun buah-buahan semakin langka. Yang masih bertahan hanya berkebun kecil-kecilan, satu-dua pohon di pekarangan rumah. Jumlah pedagang buah pikulan pun bisa dihitung jari.
Baca juga: Penyebab Orang Datang ke Jakarta
Sejarah Kota Jakarta 1950-1980 mencatat, secara umum di Jakarta, perluasan areal pembangunan membuat areal pertanian semakin menyempit. Demikian pula dengan pekerjaan. Sejalan dengan naiknya tingkat pendidikan, persentase pekerja di sektor pertanian menurun. Kecuali pertanian, sektor lain yang menyerap tenaga kerja berpendidikan rendah adalah perdagangan, industri pengolahan, dan angkutan serta komunikasi. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1971 dan 1980, pekerjaan penduduk Jakarta terutama di sektor perdagangan, angkutan/komunikasi, keuangan, dan jasa (73,9 persen meningkat menjadi 75,1 persen). Sementara penduduk yang bekerja di sektor pertanian tinggal 3,8 persen dan turun menjadi hanya 1,9 persen. Angka-angka tersebut memberi gambaran bahwa ciri kehidupan kota semakin menonjol di mana sektor pertanian menjadi semakin berkurang, sebaliknya sektor indusri menjadi semakin menonjol (9,1 persen naik menjadi 14,9 persen).
Menurut Ilya, generasi yang telah menjual tanah-tanahnya pada tahun-tahun awal perkembangan Duren Tiga sudah tua-tua pada 1980-an, bahkan banyak yang sudah meninggal. Sebagian di antara mereka membuka warung untuk menghabiskan masa tuanya. Generasi penerusnya kebanyakan enggan memikul dagangan. Mereka memilih pekerjaan-pekerjaan lain.
“Industri pembuatan tahu dan peternakan sapi untuk diperah susunya masih banyak diteruskan di rumah penduduk asli dan merupakan jenis pekerjaan yang cukup menonjol bagi daerah Duren Tiga,” tulis Ilya.
Baca juga: Sejarah Tahu, Tahu Sejarah
Bagi yang telah menamatkan pendidikan SD atau lebih tinggi lagi, pekerjaan sebagai supir dan pegawai swasta tampaknya lebih menarik. Ada juga yang menjadi pegawai negeri, walaupun jumlahnya tidak begitu banyak dan mereka kebanyakan berpendidikan akademi atau perguruan tinggi.
Industri rumahan lain yang banyak dikelola oleh penduduk Betawi di Duren Tiga adalah industri pakaian jadi atau konveksi. Hasil produksinya dijual ke pasar-pasar di Jakarta sampai ke luar kota. Golongan muda yang hanya satu atau dua tahun mengenyam pendidikan di SD, memilih pekerjaan sebagai buruh bangunan, membuka usaha bengkel, atau calo rumah dan tanah.
“Banyak juga yang sehari-harinya menganggur, tetapi dapat hidup berkecukupan, karena dengan mengontrakkan rumah-rumah yang dibangun di atas tanah warisan orang tuanya, mereka menerima penghasilan setiap bulan seperti tenaga kerja tetap,” tulis Ilya.
Usaha kontrakan dan kos-kosan memang menjanjikan mengingat banyak perantau dari berbagai daerah yang mengadu nasib di Jakarta.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar