JALANAN dusun itu penuh umbul-umbul. Sisi kanan dan kirinya terpasang tali pembatas. Di ujung jalan yang mengarah ke laut, gapura mungil nan cantik berdiri. Spanduk membentang di bagian atap. Tulisannya “Lautku Kehidupanku”.
Tak jauh dari gapura, ada tempat pelelangan ikan. Banyak orang berkumpul di sana. Tapi bukan untuk jual-beli ikan. Ada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, sesepuh dusun, warga dusun, anak-anak sekolah, peserta arak-arakan, nelayan dan wisatawan. Jumlahnya seribuan lebih. Hari itu, 9 September 2019, mereka berkumpul untuk merayakan hari “Petik Laut Pancer” ke-43.
Petik laut adalah ritual khas tahunan masyarakat Banyuwangi, Jawa Timur. Biasanya berlangsung dalam bulan Muharam (kalender Islam) atau Sura (tanggalan Jawa). Ada serangkaian acara yang digelar dalam ritual ini. Dari bersih dusun, doa bersama, khataman, pementasan wayang kulit dan hiburan rakyat, hingga melarung sesaji.
Sebelum melarung sesaji, ada prosesi menyematkan anting-anting dan pancing emas di kepala kambing yang sudah disembelih. Kepala kambing kemudian ditempatkan pada perahu kecil bersama sesaji lainnya untuk diarak menuju pinggir pantai Pancer dan dilarung ke tengah laut. Sebagai acara penutup, warga Pancer mandi bersama di laut. Air laut yang sudah dilarungi sesaji dipercaya bisa membuang sial dan memberikan keselamatan.
Interaksi Budaya
Pancer merupakan wilayah di pesisir selatan Banyuwangi, Jawa Timur. Jaraknya sekira 60 kilometer dari pusat kota Banyuwangi. Sebagian besar penduduknya mengandalkan hidup dari laut. Mereka turun-temurun menjadi nelayan dan berkarib dengan laut hampir sepanjang hidupnya. Bagi mereka, laut adalah karunia dari Tuhan. Hubungan timbal baik harus dijaga.
“Ritual ini merupakan cara kami dalam mensyukuri rezeki yang telah kami dapatkan sekaligus mohon do’a agar diberi keselamatan saat melaut,” kata Suwandi, ketua Panitia Petik Laut Pancer ke-43.
Berdasarkan tuturan lisan, ritual Petik Laut terbentuk dari interaksi budaya orang Osing (pemukim awal), Madura, dan ajaran Islam. Percampuran ini terjadi sekira akhir abad ke-19. Saat itu usaha perkebunan swasta tumbuh di Banyuwangi. Para pemilik perkebunan mendatangkan kuli dari Ponorogo, Madiun, Bojonegoro, Jawa Tengah, Yogyakarta, Madura, Makassar, dan Mandar.
Baca juga: Ikan-ikan dari Muncar
“Mereka terkonsentrasi di pesisir seperti Muncar, Grajangan, Pancer, dan Bulusan,” catat Novi Anoegrajekti dkk. dalam “The Oral Tradition of Petik Laut Banyuwangi Revitalization of Tradition and Local-Global Political Space” makalah untuk The 1st International Seminar on Language, Literature, and Education 2017.
Kedatangan orang-orang dari beragam wilayah ke Banyuwangi memungkinkan persentuhan, pertukaran, dan percampuran kebudayaan antar mereka. Dari sini pula pandangan mereka tentang alam dan manusia ikut terbentuk. Pandangan mereka menempatkan alam sebagai sesuatu yang hidup.
Alam dan manusia saling membutuhkan. Tuhan menitipkan alam kepada manusia. Hubungan keduanya mesti berjalan harmonis. Tuhan menyediakan segala sesuatu dalam alam bagi manusia untuk diolah sesuai kebutuhannya. Sebagai bentuk terimakasih kepada Tuhan, manusia memberikan sesuatu kepada alam lewat ritual Petik Laut.
Di Banyuwangi, ritual Petik Laut yang megah dilakukan nelayan di Muncar, sebuah kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. hal ini bisa dipahami karena di sana terdapat pelabuhan penghasil ikan terbesar di Jawa dan terbesar kedua di Indonesia setelah Bagansiapiapi, Riau.
Sejak lama Muncar menarik banyak orang untuk menggantungkan hidup. Jumlah nelayan di sana pun terus meningkat. Akibatnya Muncar menjadi wilayah yang padat penduduk. Banyak di antaranya hidup miskin. Maka, pemerintah menganjurkan nelayan-nelayan miskin itu pindah ke tempat yang baru.
“Banyak nelayan menerima anjuran yang bijaksana itu dengan sukarela dan kemudian pemerintah mendirikan beberapa bangunan di Pancer,” tulis Sugianto dalam “Cerita Dobel B”, dimuat Warta BRI tahun 1982.
Baca juga: Penghormatan dari Para Pemetik Laut
Menurut Sugianto, dulu orang-orang tak suka tinggal di daerah ini, kecuali para pemburu. Sebab, daerah itu ditutupi hutan rimba. Pada 1970, untuk mencapai Pancer bukanlah hal mudah. Mesti naik kuda atau jalan kaki. Kondisi itu berubah setelah pemerintah membangun rumah-rumah, pasar, dan tempat pelelangan ikan. Pancer pun berubah menjadi dusun kecil yang masuk wilayah Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran.
“Pancer, daerah perikanan yang baru, telah mengundang nelayan nelayan termiskin yang tak punya harapan untuk memperbaiki kehidupan mereka dan mengubah tanah terpencil itu menjadi sebuah daerah tempat tinggal yang nyaman,” tulis Sugianto.
Karena umumnya berasal dari Muncar, para nelayan pun membawa ritual Petik Laut Muncar yang konon sudah dilakukan sejak 1901. Ritual Petik Laut Pancers kali pertama diadakan pada 1976, tahun yang sama dengan pembukaan Pelabuhan Perikanan Pancer.
Kekhasan Lokal
Dalam masyarakat Pancer, alam yang paling dekat dengan mereka adalah laut. Kepada lautlah orang-orang tempatan berutang rasa. Melalui Petik Laut, utang itu ditunaikan. Semula ritual ini dilakukan oleh segelintir orang secara sederhana. Lambat-laun, ritual ini menyebar luas dan dirayakan secara meriah. Petik Laut pun menjadi ritual jamak di pesisir Banyuwangi.
“Upacara Petik Laut merupakan perhelatan besar bagi masyarakat nelayan, misalnya di Muncar, Pancer, Blimbingsari,” tulis Junus Melalatoa dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z.
Petik Laut di Banyuwangi secara umum memiliki makna dan tujuan yang sama. Tapi itu bukan berarti Petik Laut di Banyuwangi sepenuhnya sama. Ada beberapa unsur khas dari Petik Laut suatu daerah dengan daerah lainnya. Misalnya terkait dengan tokoh pionir dan perkembangan ritualnya.
“Setiap daerah pasti memiliki kekhasan lokalnya masing-masing seperti yang ada di Pantai Pancer ini. Ini adalah bagian budaya masyarakat yang akan selalu ada,” tutur Khofifah.
Baca juga: Di Balik Ritual Keboan
Petik Laut terbesar di Banyuwangi terdapat di Muncar. Tokoh pionirnya bernama Sayid Yusuf. Sedangkan Petik Laut Pancer merupakan terbesar kedua. Tradisi lisan menyebut nama Mbah Sutijo sebagai pionirnya. Tapi sebagian lagi menyebut nama Pancer sebagai nelayan pertama penggelar ritual. Kedua tradisi lisan tak memaklumatkan secara pasti kapan tahunnya.
Yang jelas, perkembangan Petik Laut Pancer tak lepas dari pembangunan Instalasi Pelabuhan Perikanan (IPP) Pancer pada 1976. “Semenjak dibuka pada tahun 1976 oleh pemerintah kabupaten, keberadaan IPP Pancer mempunyai peranan vital bagi masyarakat pesisir dalam menunjang perekonomiannya,” catat Ersy Martika dalam Analisis Persepsi Masyarakat Nelayan Terhadap Instalasi Pelabuhan Perikanan (IPP) Pancer, tesis pada Universitas Brawijaya.
IPP Pancer sempat rusak oleh tsunami besar pada 1994. Begitu pula dengan sebagian besar wilayah Pancer. Korban luka dan meninggal lebih dari seratusan. Orang tempatan mengalami trauma beberapa lama. Tapi mereka kemudian bangkit dan membangun kembali IPP Pancer dan wilayahnya. Ritual Petik Laut pun digelar kembali. Malah kian meriah sehingga menjadi salah agenda wisata tahunan unggulan dalam Banyuwangi Festival.