SUARA gamelan Bali mengalun rancak di Taman Blambangan Banyuwangi. Disusul sekira delapan lelaki bak punggawa kerajaan Blambangan bergerak lincah ke seluruh sudut panggung yang berlatar belakang gapura bentar berukuran besar. Beberapa saat kemudian, dari dalam gapura bentar, muncul Menak Jingga diiringi abdi setianya yang bernama Ki Dayun dan putri-putri dari Blambangan.
“Dayun, bagaimana prajurit Blambangan saat ini?” tanya Menak Jingga.
“Ya Lurahe, para wadyabala sigap dalam menghadapi mara bahaya,” jawab Ki Dayun, yang menenteng senjata andalan Menak Jingga, gada wesi kuning dan pedang Kunta Sokayana.
“Dayun, lalu bagaimana dengan putri-putri Blambangan?”
“Ya Lurahe, putri-putri Blambangan hari ini ikut hadir di paseban.”
Fragmen diatas adalah bagian dari pagelaran periodik pertunjukan seni Janger dari kelompok Sri Budoyo Pangestu Bongkoran Parijatah wetan, dengan mengambil lakon Minak Jinggo Digdaya yang digelar Oktober 2014.
Baca juga: Menak Jingga yang Ganteng
Kisah bermula dari keserakahan Patih Logender akan kekuasaan yang berbuah fitnah terhadap Menak Jingga. Atas usulnya pula, Ratu Kencanawungu memerintahkan Damarwulan untuk menumpas Menak Jingga.
Damarwulan pun berangkat ke Blambangan. Di perbatasan, rombongan disambut meriah oleh masyarakat Blambangan dengan tarian dan jamuan makan. Damarwulan sempat bimbang; gambaran mengenai Menakj Jngga yang diterimanya tak sesuai dengan kenyataan. Begitu pula ketika sowan dengan Menak Jingga. Dia mendapat informasi soal ulah Patih Logender yang sebenarnya membenci Damarwulan dan ingin mendudukkan putranya, Layangseta dan Layangkumitir, sebagai raja Majapahit.
Lakon Minak Jinggo Digdaya merupakan salah satu contoh citra baru yang ingin ditampilkan mengenai Menk Jingga melalui seni pertunjukan Janger.
Alih Rupa
Seni pertunjukan Janger menampilkan gabungan seni drama, tari, dan musik. Ia merupakan kesenian hibrida yang memadukan unsur Bali, Jawa, dan Banyuwangi. Unsur Bali terlihat pada gerak, kostum dan instrumennya. Unsur Jawa pada dialog dan tembang-tembang Jawa. Unsur Banyuwangi terlihat pada lawakan atau dagelan yang menggunakan bahasa Osing.
Akar dari seni pertunjukan ini adalah folklor Ande-ande Lumut, turunan dari cerita Panji yang berkembang dan popular di Jawa. Lakon ini lalu diangkat dalam seni pertunjukan. Di Jawa Tengah, lahirlah teater rakyat yang disebut Ande-Ande Lumut.
Kisah Ande-ande Lumut kemudian kalah pamor ketimbang kisah Damarwulan-Menak Jingga. Antara lain bersumber dari Serat Damarwulan yang ditulis sekitar abad ke-18.
Cerita ini menggambarkan “Si Buruk Rupa” Prabu Menak Jingga sebagai penindas yang memberontak terhadap penguasa Majapahit. Dia akhirnya dikalahkan dan dipenggal kepalanya oleh Damarwulan. Kemenangan diperoleh berkat bantuan Dewi Wahita dan Dewi Puyengan, istri Menak Jingga yang terpikat oleh ketampanan Damarwulan dan menyerahkan senjata andalan Menak Jinggo berupa gada wesi kuning.
Baca juga: Gesekan Biola Gandrung
Cerita Damarwulan-Menak Jingga popular di Jawa Tengah dan daerah lain. Bahkan, “sangat digemari oleh masyarakat Using Banyuwangi selama bertahun-tahun,” tulis Sri Mariati dkk dalam “Menakjinggo: Kepahlawanan dan Rekonsiliasi Budaya Using”, dimuat buku Dinamuka Budaya Indonesia dalam Pusaran Pasar Global.
Saking populernya, cerita Damarwulan-Menak Jinggo bukan hanya disalin tapi juga diadopsi dalam seni pertunjukan. Salah satunya pertunjukan Langendriyan, salah satu bentuk opera tari Jawa. Langendriyan lahir dan berkembang di Yogyakarta dan Surakarta (Mangkunagaran) pada abad ke-19.
Menurut Th. Pigeaud dalam Javaanse Volksvertonongen Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk (1938), pada 1930 di Banyuwangi, tepatnya di daerah Rogojampi, terdapat kesenian yang menampilkan cerita Damarwulan dan merupakan tiruan dari cerita rakyat sebelumnya yang menampilkan cerita Ande-ande Lumut.
“Tidak menutup kemungkinan bahwa Damarwulan adalah kesenian dari daerah Jawa Tengahan yang dibawa oleh para migran karena cerita yang dibawakan memiliki kesamaan latar tempat,” tulis Hervina Nurullita dalam “Dari Damarwulan ke Jinggoan: Dinamila Kesenian Janger di Banyuwangi 1930’an-1970”, dimuat Istoria, September 2019.
Konon, adaptasi cerita Damarwulan dalam seni pertunjukan dilakukan seorang pedagang sapi bernama Mbah Darji asal Dukuh Klembon, Singonegaran, Banyuwangi. Mulanya Mbah Darji memiliki kesenian Ande-ande Lumut. Sebagai pedagang sapi, dia kerap pergi ke Bali. Di sanalah dia terpikat pada kesenian teater Arja. Setelah mempelajarinya, dia memasukkan unsur tari dan gamelan Bali dan mengubah kesenian Ande-ande Lumut menjadi Kesenian Agawe Rukun Santoso (KARS).
Baca juga: Seblang Menolak Bala
Pada 30 Agustus 1930 wedana mengundang KARS untuk pentas di pendopo Kawedanan Banyuwangi dalam perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina. KARS menampilkan cerita Bhre Wirabumi Gugat. Namun, atas perintah Belanda, wedana melarang pementasan lakon tersebut karena isinya dianggap melawan pemerintah. Sebagai gantinya wedana memberikan naskah Damarwulan Ngenger untuk dipentaskan.
“Pergantian naskah tersebut bertujuan agar masyarakat Blambangan tidak mengenal Wirabumi dan hanya mengetahui bahwa raja Blambangan adalah Minakjinggo yang merupakan pemberontak buruk rupa namun sakti mandraguna,” tulis Hervina Nurullita.
“Karena KARS hanya diizinkan memainkan cerita Damarwulan, maka orang menyebutnya sebagai kesenian Damarwulan.”
Seni pertunjukkan ini menarik perhatian orang. Setelah itu lahirlah grup-grup kesenian Darmawulan di seantero Banyuwangi.
Masyarakat Banyuwangi sering menyebut kesenian Damarwulan dengan nama Janger. Hal ini karena adanya pengaruh kesenian Bali. Juga karena Mbah Darji membawa seorang guru tari Janger dari Bali.
Ada banyak lakon atau cerita yang kemudian dibawakan teater ini. Dari cerita Ande-ande Lumut hingga Damarwulan-Menak Jingga. Ada juga lakon yang diambil dari legenda rakyat setempat dan kisah-kisah Islami.
Keterbukaan
Selama bertahun-tahun lamanya, dalam setiap pementasan Janger atau seni Damarwulan, Menak Jingga digambarkan buruk rupa dan bertabiat buruk.
Sekira tahun 1970 muncul kesadaran masyarakat Banyuwangi, terutama Wong Osing, untuk mengoreksi sosok Menak Jingga. Kisah Damarwulan-Menak Jingga dengan perspektif baru kemudian direkonstruksi Hasan Ali, pegawai negeri dan budayawan Banyuwangi.
Sebagai raja dan pahlawan Blambangan, Menak Jingga digambarkan tampan dan berwibawa. Dia raja bijaksana, dicintai rakyatnya, dan menentang kelaliman Majapahit yang menghisap rakyat Banyuwangi. Sebaliknya Damarwulan dilukiskan perusak rumah tangga orang. Perang tanding keduanya tak berakhir dengan kematian Menak Jingga, yang moksa dan mendapat penghormatan dewata dalam mencapai kesempurnaan hidup.
Versi lain menceritakan Damarwulan yang mengemban misi membunuh Menak Jingga berubah pikiran setelah bertemu langsung dengan raja Blambangan.
“Rekayasa Hasan Ali yang didukung pemerintah setempat dalam menyikapi cerita tersebut didukung oleh sebagian besar masyarakat Using,” tulis Sri Mariati dkk.
Baca juga: Temu Legenda Banyuwangi
Janger atau seni Damarwulan atau Jinggoan dalam sebutan masyarakat Osing masih disukai masyarakat. Penggambaran citra baru Menak Jingga misalnya ditampilkan dalam sedratari sendratari Paseban Agung Kedhaton Manikjingga pada Festival Kuwung 2018. Fragmen ini mengisahkan perkembangan seni Janger, yakni kreativitas Mbah Darji dalam mengadaptasi seni Arja dan Ande-Ande Lumut dari pulau seberang.
Janger menunjukkan kreativitas dan keterbukaan warga Banyuwangi. Perjumpaannya dengan seni budaya dari daerah lain menjadikannya lebih beragam. Menurut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, hibriditas kebudayaan merupakan perlambang dari inklusivitas warga Banyuwangi. "Orang Banyuwangi tidak anti keanekaragaman, baik suku, agama, maupun budaya. Keanekaragaman itu mampu diolah menjadi modal sosial dalam memajukan daerah,” ujar Anas.
Karena kekhasannya, Janger Banyuwangi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda 2010 oleh Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan.