Masuk Daftar
My Getplus

Muhammad Khan Mengikuti Jejak Shahrukh Khan

Film Kucumbu Tubuh Indahku garapan Garin Nugroho membuat Muhammad Khan membawa pulang Piala Citra untuk aktor terbaik.

Oleh: Nur Janti | 29 Des 2019
Muhammad Khan kala ditemui di kawasan Dharmawangsa. (Fernando Randy/Historia).

LEWAT karya Kucumbu Tubuh Indahku (selanjutnya disebut Kucumbu), Garin Nugroho berusaha menampilkan peleburan sifat maskulin dan feminine lewat tubuh seorang penari bernama Juno. Kisah hidup Juno yang berpindah-pindah dan penuh trauma menjadi pemandu bagi pemirsanya untuk memahami keberagaman seksualitas dan gender dalam budaya Indonesia.

Namun, karya Garin itu sempat mengalami pencekalan oleh kelompok konservatif karena dianggap mengkampanyekan LGBT. Bahkan, sempat muncul petisi online untuk memboikot Kucumbu.

Ibarat permata yang dibenamkan dalam lumpur namun tak kehilangan sinarnya, Kucumbu pada akhirnya mendapat apresiasi yang semestinya. Film ini memborong delapan penghargaan sebagai Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Penata Musik Terbaik, Pengarah Artistik Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, Penata Busana Terbaik, serta Pemeran Pendukung Pria Terbaik. Tak lupa pula, film ini juga mengantarkan Muhammad Khan memenangkan Piala Citra sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik.

Advertising
Advertising

Kemenangan ini menjadi pencapaian besar Khan mengingat Kucumbu merupakan film panjang pertamanya. Sebelumnya, Khan lebih banyak bermain di teater dan film pendek ketika masih kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Baca juga: Mencintai Tubuh dan Sejarah Kelamnya

Khan bernama asli Nurdiyanto. Ia lahir di Jepara, 28 Maret 1991. Nama Muhammad Khan ia pakai sebagai nama panggung karena kekagumannya pada Nabi Muhammad dan aktor Bollywood Shahrukh Khan. Pasalnya, cita-cita masa kecil Khan untuk menjadi aktor bermula dari kekagumannya pada sang idola.

“Aku sangat mengagumi Shahrukh Khan sejak kelas IV SD. Dia panutanku. Shahrukh Khan dapat best actor pertama di usia 28, aku ingin mengikuti jejaknya itu,” kata Khan pada Historia. Sejak itu, ia menelusuri karya-karya Shahrukh Khan dan belajar akting dari film-filmnya.

Begitu masuk SMA, Khan aktif di Teater Biassukma di Jepara dan menjadi ketua selama dua tahun. Setelah lulus SMA pada 2009, ia masuk ke jurusan teater dan fokus pada akting di ISI Yogyakarta.

Baca juga: Soegija dalam Film dan Buku

“Waktu kuliah aku juga ikut Saturday Acting Club, kelas akting yang digagas Rukman Rosadi. Dia itu dosenku di ISI. Waktu film Kucumbu dia yang jadi acting coach-nya,” kata Khan.

Setelah lulus, Khan bekerja di sebuah homestay di Yogyakarta hingga naik menjadi supervisor lantaran tak mendapat pekerjaan sebagai aktor. Pada titik itu ia berpikir, kalaupun tidak menjadi aktor, ilmu keaktoran amat bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari dan memahami beragam karakter manusia.

Sebelum bermain di Kucumbu, Khan pernah mengikuti casting film Garin sebelumnya, Mata Tertutup. Namun sayang, ia tak lolos. Begitu ada kabar Garin mau buat film tentang penari, Khan tertarik untuk ikut casting. Pada audisi pertama Garin memberi Khan PR.

Baca juga: Jejak Film dalam Poster

“Mas Garin minta kamu belajar tari lengger,” kata salah seorang kru.

“Lho memang aku keterima?” kata Khan.

“Ya belum sih.”

Sebagai aktor, Khan tak ambil pusing dengan homofobia yang masih menjamur di masyarakat Indonesia. Ia percaya pada kualitas Garin. Maka begitu diberi kabar bahwa ia mendapatkan peran Juno remaja, Khan amat gembira. “Ya bayangkan saja. Waktu itu aku kerja di homestay. Lalu dapat peran di filmnya Mas Garin Nugroho. Apa pun perannya aku mau,” kata Khan.

Khan mengaku bukan peran feminine Juno yang membuatnya agak khawatir. Ia merasa agak tertekan karena menjadi pemeran utama dalam film Garin. Ia tak ingin mempermalukan atau membuat Garin berpikir salah pilih pemain. Dus, Khan membawa nama almamater ISI Yogyakarta. “Kalau mainku jelek, aku bisa dimaki-maki satu jurusan. Masak anak teater mainnya kayak gitu,” kata Khan.

Baca juga: Pemberontakan Terhadap Sastra India

Bagi Khan, memerankan tokoh adalah memahami manusia dengan segala kompleksitasnya. Lewat ilmu akting itu, ia merasa lebih menghargai hidup dan lebih dekat dengan tuhan. “Tiap memerankan tokoh kan kita perlu riset, mempelajari ilmu baru, semacam wisata karakter,” katanya.

Muhammad Khan, pemenang piala citra di film pertamanya. (Fernando Randy/Historia).

Aktor Terbaik dalam Film Bertema Homoseksual

Kemenangan Khan sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik FFI semacam mengulang sejarah. Di masa lalu, ada pula aktor yang menang penghargaan dalam film bertema homoseksualitas. Dialah Mathias Muchus, yang memenangkan aktor terbaik pada FFI 1988 lewat Istana Kecantikan.

Film yang rilis pada 1988 itu menjadi film pertama bertema homoseksual di Indonesia. Istana Kecantikan disutradari Wahyu Sihombing dengan Asrul Sani sebagai penulis naskahnya. Kisahnya dibuka oleh Nico (Mathias) seorang gay yang didesak untuk segera menikah oleh orangtuanya. Ia akhirnya menikahi Siska (Nurul Arifin) meskipun Nico sejatinya tak punya hasrat sama sekali pada perempuan.

Baca juga: Razia Homoseksual Zaman Kolonial

Menurut Ben Murtagh dalam artikelnya “Istana kecantikan: the First Indonesian Gay Movie” yang dimuat South East Asia Research, Istana Kecantikan bisa dilihat sebagai gambaran reflektif tentang isu gay yang sedang hangat pada 1980-an. Film menceritakan tentang kesulitan Nico untuk hidup sebagai seorang gay di tengah masyarakat yang heteronormatif (hanya hubungan lelaki-perempuan yang dianggap normal). Meski demikian, beberapa tokoh terdekat Nico yang mulanya kecewa mengetahui bahwa dia gay, perlahan mengerti dan simpatik.

Mathias Muchus dalam wawancara dengan Ben Murtagh menyebut keinginan Wahyu Sihombing dan Asrul Sani mengangkat tema homoseksual karena merupakan hal baru dan kontroversial. Lebih jauh, pembuatan film tersebut bukan untuk membangun prasangka melainkan menghadirkan isu tentang homoseksual ke muka publik. Beberapa adegan dalam film itu kena gunting sensor, seperti dua lelaki bergandengan tangan, pesta khusus lelaki gay, dan adegan ciuman. Namun, penontonnya bejibun, ada di berbagai kota khususnya kaum gay dan waria.

Baca juga: Selamat Jalan Emon, Si Anak Manja

Berbeda dengan film Garin yang mendapat banyak pujian dari pengamat film, Istana Kecantikan dinilai kurang bagus. Menurut Salim Said dalam Pantulan Layar Putih, film arahan Sihombing itu punya banyak kekurangan. Istana Kecantikan seperti naskah yang kurang menyatu dengan lingkungannya. Lebih lanjut, Salim menyebut film ini baru sampai pada tingkat informatif, belum sampai pada taraf yang subtil. Meski secara umum filmnya kurang memuaskan, Salim amat memuji akting Mathias yang jadi penolong film.

Salim menyebut permainan Mathias luar biasa. Karakter gay yang ditampilkannya tak semata fisikal namun mendalam, secara utuh, dan lentur. “Secara amat subtil dan penuh nuansa, Muchus memainkan tokoh gay yang diciptakan Asrul Sani lewat skenario dan cerita aslinya dalam film Istana Kecantikan,” tulis Salim.

TAG

film

ARTIKEL TERKAIT

Ibu dan Kakek Jenifer Jill Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea Sisi Lain dan Anomali Alexander Napoleon yang Sarat Dramatisasi Harta Berdarah Indian Osage dalam Killers of the Flower Moon