INI film tentang seorang tokoh yang hidup pada masa lalu, tapi sarat pesan bagi yang hidup di masa kini. Semacam proyeksi dari masa lalu untuk masa kini dari kisah kehidupan seorang Katolik, yang umatnya di masa kini dihumbalang persoalan akibat meningkatnya intoleransi.
Adegan pembuka cukup mengesankan. Seorang pastor Jawa berkhotbah dalam bahasa Belanda di hadapan jemaatnya yang terdiri dari beragam suku bangsa: inlanders yang duduk lesehan sementara tuan-tuan Belanda duduk di kursi. Soegija, lakon utama film ini, menganjurkan manusia berbuat kebajikan, mengajarkan bahwa kemanusiaan itu satu adanya.
Film besutan sutradara Garin Nugroho merekam sepenggal babak kehidupan Soegija pada zaman pancaroba. Kala Hindia Belanda di ujung tanduk, Jepang datang dan tak lama kemudian tiba saatnya revolusi kemerdekaan. Film ini merekam pergulatan batin seorang pastor Jawa yang kemudian ditahbiskan sebagai uskup danaba, pemimpin tertinggi umat Katolik di Hindia Belanda, kemudian di Indonesia saat melintasi zaman yang penuh prahara itu.
Laiknya sebuah pohon yang dipenuhi dahan dan ranting, film ini terlalu banyak menampilkan kisah tentang dahan dan ranting ketimbang batang pokoknya sendiri (baca: kisah Soegija). Harapan untuk menonton biografi Soegija pupus ketika subplot lebih sering disuguhkan ketimbang plotnya sendiri.
Adegan demi adegan terlalu cepat melompat. Mengesankan terlalu banyak yang hendak disampaikan namun hanya tersisa sedikit waktu untuk mengatakan semuanya. Alih-alih memadatkan cerita, alur pengisahan yang berlompat cepat itu malah menimbulkan kebingungan tentang apa yang hendak dikatakan oleh film ini: tentang Soegija? Tentang Mariyem? Tentang laskar republikein? Atau tentang kehidupan tentara Belanda? Semua campur aduk sambil sesekali diselingi adegan-adegan lucu dan guyon Butet Kertaredjasa yang memerankan Koster Toegimin, orang dekat Soegija.
Agaknya pengisahan yang dipercepat itu mungkin karena film ini hendak bercerita secara kronologis babakan kehidupan Soegija. Problem kisah yang kronologis adalah urutan cerita berdasarkan periode. Maka itu membutuhkan waktu yang panjang untuk berkisah dari setiap zaman yang ditampilkan. Dan di film ini, ada hal-hal yang melompat jauh melampaui zamannya juga ada yang terkesan dipaksakan.
Ketika Jepang tiba, misalnya, Robert (Wouter Zweers) sang serdadu Belanda dan Hendrick (Wouter Braaf) kawannya masih menikmati permainan tenis seolah mereka tidak tahu bahwa Jepang akan datang. Padahal ketika Jepang datang pada Maret 1942, kendati tak ada perlawanan yang berarti dari tentara Belanda, semua tentara Belanda dalam keadaan siaga.
Menurut kesaksian AH Nasution, yang pada saat itu perwira KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger), seluruh pasukan Belanda ditarik keluar dari markasnya dan membuat pertahanan di pinggiran kota. Dan kita tahu bahwa tak ada sama sekali perlawanan dari Belanda sampai dengan Belanda bertekuk lutut kepada Jepang di Kalijati, Cirebon. Jadi, agak mustahil rasanya jika pada hari H kedatangan Jepang, tentara Belanda bersantai di markasnya, apalagi masih sempat main tenis.
Kejanggalan lainnya adalah bentuk stetoskop yang digunakan oleh Mariyem (Annisa Hertami) sebagai perawat. Bentuk stetoskop yang digunakan tak datang dari tahun 1940-an. Ia lebih mirip stetoskop produksi tahun 1960-an. Bentuk “chestpiece” stetoskop yang digunakan tahun 1940-an mirip corong kecil panjang, berbeda dari “chestpiece” stetoskop modern yang bentuknya bundar dan pipih.
Terang saja film ini mengandung beberapa kesalahan anakronisme. Belum lagi dialog-dialog kecil yang terasa mengganggu seperti perkataan komandan laskar tentang Tan Malaka yang melakukan pemberontakan di Banten. Pemberontakan mana yang dimaksud? Pemberontakan komunis 1926? Tan Malaka justru tak setuju dengan pemberontakan itu. Lantas pemberontakan mana? 1945? Tak ada pemberontakan yang dipimpin oleh Tan Malaka alias Ilyas Husein di Banten pada 1945.
Tapi Baiklah, seperti pemohonan maklum di awal film yang mengatakan bahwa film ini diangkat dari kisah kehidupan Soegija sementara tokoh-tokoh lain adalah fiktif, seyogianya juga dicantumkan keterangan bahwa tak sepenuhnya cerita dan alat-alat digunakan dalam film ini sesuai dengan zamannya.
Ini memang bukan film khotbah. Apalagi mengusung misi untuk mengubah iman penontonnya seperti banyak didesas-desuskan oleh mereka yang berpandangan minor terhadap film ini. Soegija di sini seperti ditampilkan sebagai seorang Katolik Jawa, seorang republiken sejati sekaligus nasionalis yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Itu mungkin sikap yang datang dari pribadi Soegija.
Dalam sejarah, Vatikan justru diminta oleh Partai Katolik Rakyat (KVP, Katolieke Volkspartij) di Belanda untuk tidak mendukung kemerdekaan Indonesia. Sementara itu di Belanda sendiri terjadi pro kontra atas apa yang terjadi di Indonesia. Kalau pun ada elemen politik Belanda yang mendukung kemerdekaan Indonesia, itu justru datang dari Communistische Partij van Nederland (CPN), Partai Komunis Belanda.
Film ini unggul dalam gambar. Jernih. Pencahayaannya bagus. Akting orang per orang para pemainnya pun boleh dapat acungan jempol. Anissa Hertami sangat alamiah memerankan sosok Mariyem. Nirwan Dewanto yang sastrawan itu pun berhasil menjadi Romo Soegija. Sementara Wouter Zweers, sang mesin perang, pun tak kalah mahirnya memainkan lakon tentara Belanda.
Sebagai film yang merespon kondisi di zaman sekarang, di mana kerinduan akan sosok panutan dari masa lalu makin terasa, film Soegija berhasil memenuhi itu. Namun sebagai kisah sejarah, yang membutuhkan kejelian dan ketelitian dalam menampilkan konteks faktual dan pernak-pernik yang sesuai dengan jiwa zamannya (zeitgeist), film ini belum berhasil mencapainya. Tapi lagi-lagi baiklah, ini film. Ia tetap punya unsur hiburan, sekaligus ajakan kepada kita untuk kembali merenungkan apa tujuan didirikannya republik ini. Seperti kata Sukarno: semua untuk semua.
Itu tentang film, kini tentang buku yang juga ditulis dalam rangka pemutaran film Soegija. Buku Soegija 100% Indonesia ditulis oleh Ayu Utami, sastrawan yang mahir menulis dengan gaya bertutur ala prosa. Penulis novel Saman (1998), Larung (2001), Bilangan FU (2008) dan Cerita Cinta Enrico (2012) itu berhasil meramu dan menulis kisah Soegija seperti derasnya aliran sungai. Di tangan Ayu, kisah Soegija bak novel. Ada ritme naik turun, menggelundung dan kadang-kadang berhenti mendadak.
Berbeda dengan film yang bercerita secara kronologis, buku Soegija ditulis tak seperti itu. Ia dimulai dari kisah tentang pengabdian Soegija sebagai pastor di gereja Bintaran Yogyakarta lantas pindah ke Semarang setelah pentahbisannya sebagai uskup danaba. Kemudian cerita berlanjut tentang perjalanan Soegija ke Belanda untuk belajar sebagai calon imam di kolese milik Ordo Salib Suci di Uden, Eindhoven, Belanda.
Buku ini tak sepenuhnya soal Soegija. Pada beberapa bagian ada sisipan tentang berbagai istilah dan sejarah dalam khasanah ajaran Katolik. Ini sangat membantu para pembaca tak memahami istilah dan aturan yang berlaku dalam ajaran Katolik.
Pada bab ketiga, Ayu mulai menuturkan latar belakang Soegijapranoto. Seorang anak Jawa yang sebelumnya tak beriman Katolik, tak tahu menahu soal Katolik dan tak pernah berniat untuk memeluk iman Katolik. Tapi jalan hidup membawanya kepada Kristus. Bahkan orang tuanya sendiri kaget ketika Soegija memohon izin untuk belajar di Kolese Xaverius Muntilan. Mereka khawatir Soegija menjadi belanden, potongan Jawa tapi gaya Belanda.
Buku ini juga menempatkan dinamika para imam Katolik dalam peta politik dunia dan di Indonesia: tentang bagaimana Paus Pius XI berupaya keras menghindari aneksasi Mussolini terhadap Vatikan dan mengutuk Hitler secara terbuka atau cuplikan kisah soal keberpihakan Frater Van Lith, seorang Belanda yang “merasa menjadi Jawa”. Van Lith adalah figur yang sangat berpengaruh dalam kehidupan Soegija. Sayang sekali dalam filmnya, tak sebersit pun ditampilkan sosok Van Lith.
Tentu buku selalu punya kelebihan dari film. Ia punya ruang luas untuk bercerita dan penulisnya memiliki keleluasaan untuk menampilkan sosok tokoh yang hendak dikisahkan. Nilai plus buku yang ditulis Ayu Utami ini, sekali lagi, adalah kemampuannya untuk menuturkan sosok Soegija seolah-olah dia menulisnya dari dekat, sedekat sosok Koster Toegimin kepada Soegijapranoto.
Tapi imajinasi dalam penulisan bernuansa sejarah seyogianya berangkat dari fakta, dari kenyataan. Bukan pengandaian-pengandaian yang fiktif. Ayu, dalam buku Soegija ini, pada beberapa bagian, beberapa kali menggunakan kata “barangkali” untuk menafsir apa yang dilakukan dan dilamunkan Soegija. Padahal sejarah bukan tentang apa yang “barangkali” terjadi, tapi sejatinya tentang apa yang telah terjadi.
Lebih dari itu semua, buku ini bisa menjadi referensi bagi mereka yang ingin mengetahui sosok Soegijapranoto yang terkenal dengan semboyan “100% Katolik, 100% Republik” itu.
[pages]