Sembilan bulan pandemi Covid-19 menyerang Indonesia. Sekolah merumahkan siswanya dan mengganti sistem kelas tatap muka dengan sistem dalam jaringan untuk menekan penyebaran virus. Mendikbud, Menag, Mendagri, dan Menkes berencana membolehkan sekolah kembali menggelar pembelajaran tatap muka mulai Januari 2021 dengan persyaratan ketat.
Sembilan bulan bukan waktu singkat bagi siswa menjalani hari-hari bersekolah yang berbeda. Hal serupa juga pernah terjadi pada masa Jepang. Menjelang kedatangan Jepang pada akhir 1941, sekolah-sekolah di Hindia Belanda meliburkan siswanya tanpa berbatas waktu. Para guru berbangsa Belanda kembali ke negerinya.
Maret 1942, Jepang mengambil alih Hindia Belanda. Pemerintah militer Jepang menutup semua jenis dan jenjang sekolah. Mereka ingin merombak ulang pendidikan di Indonesia. Buku-buku sekolah berbahasa Belanda disita, diperiksa, dan dinilai ulang. “Semua itu dimaksudkan untuk menghilangkan pengaruh Barat,” catat tim Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dalam Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang yang Mengalaminya.
Baca juga: Libur Puasa Anak Sekolah Zaman Belanda
Selama masa perumusan ulang pendidikan itu, murid-murid telantar. Murid-murid tingkat akhir di sekolah menengah atas terpaksa mengubur mimpinya memperoleh ijazah untuk mencari kerja. Ujian kelulusan ditunda. Mereka hanya memperoleh ijazah darurat.
Murid-murid tingkat lebih rendah juga bernasib serupa. Mereka gagal naik kelas. Sebab tak ada ujian kenaikan kelas.
Berbulan-bulan lamanya para murid merindukan dunia sekolah. Sebagian menghabiskan waktu dengan berdagang. Sisanya bermain-main saja. Hingga datanglah kabar gembira itu. Jepang akan membuka sekolah lagi untuk murid menengah pertama dan atas.
“Pembukaan Sekolah Menengah besok jam 9 pagi. Besok hari Selasa tanggal 8 September 2602 (1942, red.) dari pukul 9 pagi. Sekolah Menengah Tinggi dan Sekolah Menengah Pertama di Jakarta akan dibuka dengan mengadakan upacara,” demikian pengumuman surat kabar Asia Raya, 7 September 2602.
Baca juga: Libur Puasa Anak Sekolah Zaman Belanda
Sekolah Menengah Tinggi Jakarta menjadi sekolah tingkat atas pertama yang dibuka di seluruh Indonesia. Semua murid dari berbagai jenis sekolah di seluruh Indonesia boleh mendaftar. Ini membedakan sekolah masa kolonial. Kala itu sekolah terbagi dalam beberapa jenis berdasarkan latar belakang sosial dan ras orangtua atau wali murid.
“Di situlah untuk pertama kali murid-murid Indonesia yang berasal dari bermacam-macam sekolah menengah dan dari berbagai lapisan masyarakat kelas menengah ke atas, berkumpul dan belajar bersama dalam situasi yang bagi sebagian besar murid merupakan keadaan yang jauh berbeda daripada yang pernah dialami,” sebut Miriam Budiardjo, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia yang pernah menjadi murid SMT, dalam Jembatan Antar Generasi: Pengalaman Murid SMT Jakarta 1942–1945.
Baca juga: Alasan Libur Puasa Anak Sekolah Ditiadakan
Jepang merombak kebijakan pendidikan masa sebelumnya. Misalnya mengganti bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari di sekolah. Bagi murid-murid sekolah swasta, keputusan ini tak berarti banyak. Sekolah mereka telah menerapkannya sebelum kedatangan Jepang. Tapi bagi murid sekolah elite milik pemerintah kolonial Belanda, jadi pengalaman baru.
“Jadi di situ pertama sekali belajar dengan seorang Empu yang mengajar bahasa Indonesia,” ungkap Peki Sanyoto, menuturkan pengalamannya bersekolah pada masa Jepang dalam Di Bawah Pendudukan Jepang.
Baca juga: Mengulik Gelar-gelar Akademik di Indonesia
Murid-murid sekolah elite itu menggunakan bahasa Belanda dalam kesehariannya, termasuk di sekolah. Mereka asing sekali dengan bahasa Indonesia. Mereka lantas belajar bahasa Indonesia. Beberapa dari mereka mempelajarinya dari novel-novel terbitan Volkslectuur atau Balai Pustaka.
Dari mempelajari bahasa Indonesia, rasa kebangsaan murid-murid itu mulai muncul. Terlebih lagi pembukaan sekolah memungkinkan mereka bergaul kembali dengan rekan-rekannya dari berbagai lapisan masyarakat.
Setelah membuka SMT di beberapa kota, Jepang menyelenggarakan lagi sekolah-sekolah khusus seperti teknik, kedokteran, kemiliteran, dan khusus remaja putri (wakaba). Sekolah-sekolah swasta juga diizinkan beroperasi kembali. “Namun harus memasukkan pelajaran bahasa Jepang, olahraga (taiso), dan kerja bakti dalam kurikulumnya,” sebut tim ANRI.
Baca juga: Pertunjukan Propaganda untuk Anak-Anak
Jepang tak mengubah drastis mata pelajaran di tiap jenjang. Mereka tetap mempertahankan pelajaran umum seperti ilmu pasti, sejarah, ilmu bumi, kimia, fisika, ekonomi, dan seni. Tapi Jepang menghapus mata pelajaran bahasa Eropa seperti Prancis, Jerman, Inggris, Yunani Kuno, dan Romawi.
Di dalam kelas, para murid lebih banyak mencatat apa yang diomongkan guru. Sebab waktu sekolah kembali dibuka, Jepang belum menyiapkan buku-buku pelajaran baru.
Baca juga: Sekolah Masa Revolusi
Jepang menambah porsi mata pelajaran fisik seperti olahraga untuk semua jenjang sekolah. Murid-murid wajib ikut senam pagi (taiso), baris-berbaris, dan lari. Penekanan porsi fisik ini bertujuan mempersiapkan para murid menghadapi perang Asia Raya demi kepentingan Jepang.
“Oleh karena itu pelajar-pelajar diharapkan mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi ketat,” catat tim Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan dalam Pendidikan di Indonesia 1900–1974.
Baca juga: Dari Sekolah Liar hingga Anarkisme
Para murid juga mengalami upacara bendera tiap senin pagi, penggundulan rambut bagi siswa laki-laki, dan mengenakan seragam sekolah untuk kali pertama. Tiga hal ini tak pernah tersua di sekolah umum pada masa kolonial.
Pengalaman baru murid-murid lainnya ialah tindakan keras para pengawas sekolah dalam pendidikan. Pengawas sekolah terdiri dari orang-orang Jepang. Tangan mereka mudah berayun ke kepala murid dan guru yang berbuat salah dalam pandangan mereka.
Semua guru sekolah zaman Jepang berasal dari Indonesia. Sebagian terdiri atas bekas mahasiswa tingkat terakhir perguruan tinggi masa kolonial. Dengan demikian, jarak usia mereka sangat dekat dengan para murid sekolah menengah tinggi. Tak jarang ada pula guru berasal dari satu angkatan yang sama dengan salah satu murid.
“Jadi memang dari sudut gurunya tentu tidak mempunyai tingkat kualitas sama seperti Belanda punya,” kata Daan Jahja, mantan murid SMT Jakarta, yang kelak menjadi Panglima Divisi Siliwangi.
Baca juga: Sejarah Pengangkatan Guru Besar dan Profesor di Indonesia
Meski kualitas pendidikan guru-guru Indonesia jauh di bawah guru Belanda, secara personal hubungan mereka dengan para murid jauh lebih dekat dan kuat. Ini terbentuk setelah perilaku keras para pengawas sekolah dan orang-orang Jepang kepada orang Indonesia.
“Antara guru dan murid, antara kami sesama murid demikian dekatnya karena menghadapi ancaman yang sama dari luar... Hubungan erat seperti itu belum pernah kami rasakan di sekolah manapun di zaman Belanda,” ungkap Eddy Djoemardi Djoekardi dalam Jembatan Antar Generasi.
Pendidikan bikinan Jepang berakhir setelah kekalahan Jepang dari Sekutu pada Agustus 1945. Murid-murid pun kembali menghadapi dunia sekolah yang baru.