BUTUH waktu 36 tahun hingga akhirnya keris yang disimpan di Belanda diidentifikasi sebagai Kiai Nogo Siluman. Benda itu dipulangkan ke Indonesia dan diserahkan ke Museum Nasional, Jakarta, pada Kamis 5 Maret 2020. Namun, menyusul kepulangannya, keraguan apakah keris itu benar Kiai Nogo Siluman pun merebak.
“Secara ilmu padhuwungan (ilmu pengetahuan perkerisan Jawa, red.) nggak kena,” kata Toni Junus, konsultan keris yang menulis buku Tafsir Keris, kepada Historia.
Secara umum, Nogo Siluman dikenal sebagai salah satu dhapur atau tipologi bentuk keris. Adanya kepala naga dengan mahkota di kepalanya lalu unsur nama “Siluman” yang berkaitan dengan kemampuan untuk menghilang, kata Toni, setidaknya cocok dengan karakteristik keris Nogo Siluman.
Baca juga: Hilang Ratusan Tahun, Keris Diponegoro Ditemukan di Belanda
Ada cerita tradisi tentang penciptaan keris ber-dhapur Nogo Siluman. Dahulu kala, kata Toni, ada seorang raja meminta tolong kepada seorang mpu untuk dibuatkan keris yang bisa membuatnya memiliki kesaktian. Alhasil, keris itu rampung dan memberi sang raja kemampuan menghilang tatkala dikejar musuh.
“Nggak diketahui nama rajanya. Kemungkinan dari masa Hindu-Buddha; mungkin masa Kadiri,” jelas Toni. “Jadi keris ini memang untuk kesaktian.”
Namun, sebagai dhapur, biasanya Nogo Siluman hanya memiliki unsur kepala naga pada bagian bawah bilahnya, tanpa disertai badan dan ekor. “Naga kepalanya saja, badannya hilang. Makanya disebut siluman,” kata dia.
Karenanya Toni pun ragu bahwa keris yang baru saja pulang kampung itu adalah Kiai Nogo Siluman.
Keris Raja
Secara fisik, keris yang dianggap sebagai Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro itu bergagang kayu dengan ukiran kepala naga emas bermahkota pada sisi bawah bilahnya. Terlihat naga itu memiliki tubuh yang menjalar sampai ke ujung bagian tajam keris. Mungkin dulunya tubuh naga juga ditutupi tatahan emas, yang sekarang hanya menyisakan bagian kecil dekat ujung ekornya. Adapun bilahnya dihiasi ukiran tanaman rambat yang juga berwarna emas.
Pada bagian tengah, di pangkal bilah keris, tampak ukiran seekor kijang yang tengah duduk. Sementara di bagian yang sama, pada sisi sebaliknya, terdapat ukiran yang menurut Toni menyimbolkan matahari.
Melihat itu, kata Toni, keris ini jelas bukan ber-daphur Nogo Siluman, melainkan Nogososro. Cirinya, keris itu memiliki ukiran kepala naga yang lengkap dengan tubuh dan ekor.
“Nogososro itu naga bersisik seribu. Naga ini ada badannya. Kalau Nogo Siluman kan tidak. Jadi ini berbeda,” katanya.
Baca juga: Keris Pangeran Diponegoro Tiba di Tanah Air
Ditambah lagi, biasanya keris dengan tipologi Nogo Siluman jarang yang memiliki tinatah emas. Pun ornamen kijang atau rusa seringnya tak ditemukan.
“Makanya saya menyangsikan kalau ini Nogo Siluman,” lanjut dia.
Berdasarkan ilmu padhuwungan, kata Toni, pemakai keris ini pastilah seorang raja. Bisa dilihat dari pemakaian tatahan emas yang cukup banyak. Ini menyimbolkan kebesaran. Sulur-suluran yang disebut lung kamarogan pun menunjukkan maksud yang sama.
Sementara berdasarkan pakem pembuatan keris, tak mungkin kalau keris untuk raja kemudian dimiliki pangeran. Apalagi untuk berperang. Walau tak menutup kemungkinan seorang pangeran memiliki keris yang bagus.
“Secara ilmu paduwungan, stratanya tidak mungkin. Keris jenis ini disimpan oleh raja, semacam ageman, ditenteng ke mana-mana,” jelas dia.
Bukan Zaman Diponegoro
Lalu siapa raja yang sekiranya memiliki keris ini? Ada beberapa penafsiran.
Laporan Penelitian oleh National Museum of World Cultures (NMVW), diterbitkan pada 20 Januari 2020, menyebutkan beberapa pakar keris dari Indonesia sempat diminta untuk melihat keris yang diduga sebagai Kiai Nogo Siluman itu pada Januari 2019. Dalam pengamatan mereka, ditemukan adanya candrasengkala pada bilah keris. Candrasengkala yang dimaksud terdiri dari simbol binatang yang merujuk pada angka tahun tertentu.
Mereka menyebut terdapat tiga binatang, yaitu naga, rusa, dan gajah. Artinya, senjata itu ditempa pada 1633.
“Menurut para ahli, keris dimiliki oleh Sultan Agung (1593-1645), leluhur Pangeran Diponegoro. Kualitas besi dan desain senjata menunjukkan bahwa dulunya milik Sultan Agung,” catat Laporan Penelitian yang diterima Historia.
Baca juga: Memetakan Perjalanan Keris Pangeran Diponegoro
Setelah kunjungan para ahli keris dari Indonesia, NMVW mencari pendapat kedua. Pakar ini diminta untuk melihat candrasengkala pada keris. Hasil interpretasinya berbeda. Selain naga dan rusa, si pakar melihat hewan ketiga bukan sebagai gajah, tapi singa atau harimau.
Karenanya, kombinasi simbol-simbol ini mengarah pada abad ke-18, mungkin 1759. Si pakar yakin keris ini milik orang berpangkat tinggi di Kesultanan Yogyakarta tapi tak mungkin Sultan Agung.
Sri Margana, sejarawan UGM, punya pendapat lain lagi. Margana sebelumnya juga mengatakan kepada Historia kalau tipe keris ini adalah Nogososro. Namun menurutnya penamaan Nogo Siluman diberikan berdasarkan ukiran naga yang sebelumnya oleh tim verifikasi disebut sebagai gajah, singa atau harimau.
“Ketika saya melihat langsung keris itu, binatang yang dianggap gajah, harimau, atau singa itu ternyata justru kunci dari apa yang disebut Nogo Siluman,” kata dia.
Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman Tak Pernah Hilang
Naga, menurut pendapatnya, berada pada bagian paling bawah dari bilah keris, di dekat pegangan, atau istilahnya bagian wurung ganja. Ukiran naga tersembunyi ini memiliki kepala yang menoleh ke kanan. Tangan kanan dan kirinya seperti hendak mencakar.
“Lalu apakah di dalam keris ini memang ada candrasengkala, mungkin perlu diteliti lebih lanjut,” katanya.
Adapun Toni Junus punya argumen sendiri. Menurutnya, pada keris itu tak cuma ada tiga hewan, melainkan empat. Ada kepala naga bermahkota seperti dalam catatan Raden Saleh, rusa di bagian tengah pangkal bilah, lalu gajah dan singa yang distilisasi pada bagian wurung ganja. Sayangnya, pada keris ini ukiran gajah sudah tak jelas terlihat, tinggal bekas berwarna hitamnya saja.
Baca juga: Keris Diponegoro Dikembalikan Belanda, Ini Kata Peter Carey
Ukiran gajah dan singa pada bagian wurung ganja, kata dia, memang biasanya selalu berpasangan. Pasalnya tinatah gajah-singa pada bagian itu merupakan sengkalan yang berbunyi Gajah Singa Keris Siji. Ini menunjuk pada 1558 saka atau sama dengan 1636 M.
Tahun itu, kata dia, menandai kemenangan Mataram di bawah Sultan Agung dalam menumpas pemberontakan Kadipaten Pati.
Selain itu, bentuk singa dan gajah sering dianggap sebagai lambang dari dua kekuatan yang bermusuhan. Singa melambangkan Kerajaan Mataram. Tafsirannya, singa nggero atau getak Mataram. Artinya, singa yang mengaum sebagai gertak pasukan Mataram. Gajah melambangkan Kadipaten Pati. Tafsirannya, gajah nggiwar. Artinya, gajah menghindar karena takut, yang akhirnya menyerah pada kekuasaan Kerajaan Mataram.
“Makanya kalau gajah singa begini, ini gaya Mataram, bukan naga yang tersembunyi,” tegas Toni.
Nama Keris Sesungguhnya
Menurut Toni Junus, yang paling mungkin mewarisi keris itu justru ayah Pangeran Diponegoro, Hamengku Buwono (HB) III. “Bisa sampai ke HB III karena diwariskan turun-temurun. Kalaupun diwariskan lagi seharusnya kepada pewaris takhtanya, raja berikutnya,” ujar Toni.
Ada dua cara yang ditempuh Toni dalam memahami keris. Selain lewat ilmu padhuwungan, dia meraih pengetahuan lewat ilmu batin. “Percaya nggak percaya, malam Jumat kemarin saya begadang, istilahnya tahajud untuk ini,” jelas dia.
Dalam olah rasanya, dia mengaku mendapat gambaran sinar yang terang benderang. “Kalau sinar terang itu di-Jawa-kan berarti gemilang atau gumilang,” lanjut dia. “Dugaan saya ini cahaya yang melindungi, atau namanya Kiai Reso Gumilang.”
Baca juga: Riwayat Keris Bertuah Milik Diponegoro
Dari penelusuran batin, kata dia, keris itu dimiliki HB III. Entah kenapa, ketika dirampas Belanda, keris itu tengah dibawa sang istri, ibunda Pangeran Diponegoro.
“Tapi coba dicocokkan saja di catatan ada tidak nama keris Kiai Reso Gumilang. Kalau ada berarti ini (kerisnya, red),” ujar Toni. “Saya nggak pernah ngikutin ya (apa saja keris yang dipunyai Pangeran Diponegoro, red). Saya pakai olah roso.”
Sejarawan Peter Carey pernah mendata pusaka-pusaka milik Pangeran Diponegoro. Dimuat pada bagian apendiks XI dalam biografi Pangeran Diponegoro yang ditulisnya dengan judul Kuasa Ramalan.
Nama yang mirip seperti disebut Toni ada di antara daftar tersebut. Di sana disebut kalau Belanda merampas keris Kiai Reso Gemilar ketika menangkap Raden Ayu Mertonegoro dan ibunda Diponegoro, Raden Ayu Mangkorowati, di Desa Karangwuni, Kulon Progo.
Dalam buku hariannya, Mayor Edouard Errembault de Dudzeele, mencatat: “…dengan gampang bisa saya ambil, sebab itu adalah senjata: suatu keris yang sangat bagus dengan sarung emas, yang dipakai putri belia itu, istri Ali Basah Mertonegoro…”
Baca juga: Keris yang Dikubur Bersama Pangeran Diponegoro
“Itu dia!,” seru Toni ketika diperlihatkan daftar pusaka itu. “Cuma orang Belanda salah, harusnya bukan Gemilar. Kiai Reso Gumilang, cahaya yang melindungi maksudnya.”
Lalu di mana Kiai Nogo Siluman sekarang?
“Saya kira keris Nogo Siluman yang sebenarnya bukan yang kita lihat sekarang,” ujar dia. “Keris ini namanya Kiai Reso Gumilang, bukan Kiai Nogo Siluman.”
Kendati begitu dia tetap bersyukur keris hasil budaya Nusantara itu dibawa pulang ke tanah air. Pasalnya keris ini merupakan salah satu karya masterpiece yang pernah ada. “Bagus sekali. Ini keris raja lho,” ujarnya.*