KOTA Kobe, Jepang, jadi rumah baru untuk Andrés Iniesta dan keluarganya untuk sementara. Kota itu sedikit lebih tenang baginya ketimbang kota di mana ia pernah mengukir masa jayanya, Barcelona, Spanyol. Selain memberi ketenangan, Kobe juga memberi Iniesta kebebasan untuk menentukan senjakala kariernya.
Perbedaan itu digambarkan cukup jelas pada prolog dokumenter El Héro Inesperado: Andrés Iniesta (Andrés Iniesta: The Unexpected Hero) garapan Oriol Bosch. Sang sutradara memberi tiga cuplikan pembeda lewat beragam angle gambar tentang desa kecil Fuentalbilla tempat kelahiran Iniesta, Barcelona yang ramai, dan Kobe yang cukup tenang.
Di Kobe hanya sedikit orang yang mengenali Iniesta. Karena itulah ia bisa lebih menikmati hidup bersama istrinya, Anna Ortiz, dan empat anaknya. Saat jalan-jalan di taman kota pun, paling banyak hanya lima sampai enam pemuda Jepang yang mengenali dan minta berfoto bersamanya.
Baca juga: Senjakala "Raja Roma" dalam One Captain
Sungguh kontras dengan di Spanyol, terlebih Barcelona. Hampir tak ada orang yang tak mengenalinya. Maklum, ia adalah bagian dari masa keemasan Barcelona yang sejak 2004 merebut sembilan gelar La Liga, masing-masing enam trofi Copa del Rey dan Supercopa de España, empat titel Liga Champions, dan tiga trofi Piala Dunia Antarklub. Iniesta juga ikut mengantar timnas Spanyol merebut gelar juara Euro (Piala Eropa) 2008 dan 2012 dan Piala Dunia 2010.
Perannya sebagai gelandang sentral begitu krusial bagi Barcelona dan timnas Spanyol. Hal itu dibuktikan dari pujian yang datang dari berbagai pihak, mulai mantan pelatih hingga rivalnya, yang dimunculkan sang sutradara.
“Kata untuk menyimpulkan Andrés, saya akan katakan dia ‘penyihir’,” kata Neymar da Silva.
“Dia talenta terhebat dalam sepakbola Spanyol yang pernah saya lihat,” timpal Xavi Hernández.
Baca juga: Sejarah Panjang Nerazzurri dalam Inter 110
Bosch menghadirkannya dengan alur maju-mundur. Cuplikan-cuplikan komentar itu dijahit Bosch dengan cuplikan-cuplikan pertandingan berikut reaksi para rekan dan rival Iniesta.
“(Iniesta) seorang ilusionis. Anda bisa melihat pemain lawan berkeringat, kesulitan, mencoba mengambil bola dan dia tetap bisa tenang. Anda hanya bisa berkata: ‘Baiknya, hentikan! Ini tidak adil.’ Dia bermain di level berbeda dari yang lain dan itulah keistimewaannya,” kata kiper Italia Gianluigi Buffon.
“Anda bisa memberinya bola seperti apapun, dia akan mengontrol bolanya semau dia. Bahkan Ronaldinho, kadang ketika Anda memberinya bola, dia akan gagal. Tetapi Andrés, kasih dia bola dan dia akan mengontrolnya dengan hebat,” kata Samuel Eto’o.
Yang membuat Iniesta jadi pujaan bukan semata karena dia “penyihir”. Acapkali Iniesta juga menjadi pahlawan dengan gol-golnya di saat-saat genting. Itu antara lain terjadi di Stamford Bridge, London, 6 Mei 2009 kala Barcelona berhadapan dengan Chelsea di semifinal leg kedua Liga Champions. Gol tendangan keras ke pojok kiri gawang lawan Iniesta di menit 90+3 menyelamatkan Barcelona dari kekalahan.
“Dia bisa berada di ruang yang mustahil. Saat Anda melihat dia seperti terjebak, Anda akan mengatakan: ‘oke, dia akan kehilangan bolanya’. Tetapi dia bisa meloloskan diri! Dia pemain menentukan dan mampu keluar dari pengawalan ketat,” kenang Messi yang memberi umpan pada Iniesta.
Baca juga: Dinho Oh Dinho...
Tetapi tiada hal di dunia yang abadi. Suatu hari di tahun 2018, Iniesta memutuskan mundur. Padahal, setahun sebelumnya manajemen Barca memberinya kontrak seumur hidup. Iniesta meninggalkan Barca di musim 2018 dengan indah dengan memastikan titel La Liga musim 2017-2018.
Laga terakhir Iniesta di Barca dimainkannya di final Copa del Rey kontra Sevilla di Estadio Metropolitano, Madrid, 21 April 2018. Lewat sebuah golnya, Iniesta sekaligus memastikan titel itu lagi lewat kemenangan 5-0. Maka ketika ia keluar lapangan di babak kedua, 62 ribu penonton serempak berdiri. Fans Barca maupun Sevilla memberinya standing ovation dan menyanjung namanya lewat lagu.
Iniesta pun berurai air mata saat keluar lapangan kala digantikan pemain lain. Semua bebannya seolah terangkat seiring berakhirnya laga pamungkasnya. Apa saja beban psikis yang dialaminya sepanjang berkarier namun tak pernah terungkap ke publik hingga memutuskan pergi? Saksikan selengkapnya di platform daring Mola TV.
Baca juga: Sisi Terang dan Gelap Diego Maradona
Kisah Tak Terungkap Seorang Iniesta
Bosch membingkai film ini dengan menyelingi scene-scene perbedaan suasana Desa Fuentalbilla yang terpencil, kota Barcelona yang riuh, dan kota Kobe yang tenang dengan rangkaian footage aksi-aksi Iniesta. Transisi peralihan gambar wawancara narasumbernya pun cukup rapi. Music scoring-nya juga cukup bervariasi, mulai dari musik orkestra hingga bit-bit melakonlis yang menyentuh hati.
Narasumber yang dihadirkan Bosch juga cukup berimbang. Ada Pep Guardiola, Luis Enrique, Messi, Eto’o, dan Carles Puyol yang pernah jadi pelatih Iniesta dan rekan-rekannya. Ada pula mantan rivalnya seperti Buffon atau Sergio Ramos. Keberimbangan itu ikut melegitimasi Iniesta sebagai salah satu pesepakbola terbaik yang dimiliki Spanyol.
Baca juga: Cristiano Ronaldo, Lebah Kecil dari Madeira
Dokumenter ini menggambarkan Iniesta sebagai sosok yang tak 100 persen sempurna. Masa-masa kelam Iniesta yang pernah diterpa depresi sampai harus menjalani terapi dengan psikolog bernama Inma Puig, juga ditampilkan Bosch.
Di bagian itulah peran keluarga yang vital mendukung ketenangan hati Iniesta dihadirkan Bosch. Selain menghadirkan ayah dan ibunya, Mari Luján dan José Antonio Iniesta, sebagai narasumber, Bosch mengajak penonton menengok sedikit masa kecil Iniesta yang punya sifat introvert dan pemalu.
Sifat itu membuat Iniesta kerap menangis di pojokan kamar di masa awal dia menempa diri di La Masia. Iniesta, yang mulai menekuni sepakbola di Albacete Balompié (1994-1996), harus tinggal jauh dari keluarga untuk pertamakali kala berasrama di La Masia di usia 12 tahun. Meski selalu kesepian di kamarnya, dia berusaha tegar. Iniesta pun mampu memberikan yang terbaik di lapangan. Puncaknya adalah saat Iniesta mengantar tim U-15 Barcelona merebut trofi Nike Cup 1999. Guardiola, bintang Barca yang diidolakan Iniesta, menyerahkan trofinya langsung.
“Saat menyerahkan piala, saya membisikkan sesuatu kepadanya. Bahwa dalam beberapa tahun ke depan saya akan pensiun. Saya akan duduk di luar lapangan dan menyaksikannya bermain untuk (tim utama) Barcelona. Tetapi yang penting di saat itu adalah, saya yang menjadi pelatih Anda,” kenang Guardiola.
Baca juga: Ronald Koeman Pahlawan Katalan dari Zaandam
Beternak Bibit Pemain di La Masia
Kebintangan Iniesta bermula dari La Masia. Pemain legendaris kelahiran Fuentalbilla, 11 Mei 1984 itu direkrut manajemen Barca untuk dididik di La Masia pada 1996. Ia seangkatan dengan Xavi, Thiago Motta, Víctor Valdés, dan Fernando Navarro.
Bernama lengkap La Masia de Can Planes, yang secara harfiah bermakna peternakan, bermula dari sebuah bangunan batu bertingkat dua di atas lahan 610 meter persegi yang didirikan pada 1702. Bangunan itu digunakan sebagai kantor peternakan beragam hewan ternak.
Mengutip Adam Crafton dalam From Guernica to Guardiola: How the Spanish Conquered English Football, lahan dan bangunanya dibeli manajemen FC Barcelona saat sebagai markas klub, seiring peresmian Stadion Camp Nou pada 1957.
“Pada 1957 (bangunan) itu jadi markas klub, lalu ketika Barça meluaskan proyek fasilitas latihan, La Masia direnovasi dan dijadikan pusat akademi pada 20 Oktober 1979, ketika presiden klub Josep Lluis Nuñez menerima saran (Johan) Cruyff dan (Oriol) Tort membaktikan dirinya jadi koordinator jaringan pemain muda,” tulis Crafton.
Baca juga: Lima Pelatih Barcelona dari Belanda
Markas klub lalu dipindah ke sana dan bangunan tua La Masia diperbesar untuk dijadikan asrama dan pusat latihan sebagaimana Ajax Academy yang eksis sejak 1900. Mulanya, pemain-pemain yang diterima adalah hasil pemantauan para scout Barça. Asramanya juga dikhususkan sebagai tempat tinggal para pemain muda dari luar kota Barcelona dan dari luar Spanyol untuk dibina dan kemudian “dipanen” tim utama Barça atau dijual ke klub lain.
“Anak-anak Masia dilatih keras. Dalam 30 tahun hanya ada dua alumninya yang datang dari luar Spanyol dan menjadi pemain reguler di skuad utama: Messi dan Thiago (Alcântara). Keduanya diperbolehkan tinggal bersama keluarganya di asrama,” ungkap Simon Kuper dalam The Barcelona Complex: Lionel Messi Making and Unmaking of the World’s Greatest Soccer Club.
Selain Tort, Cruyff berperan besar memberi pengaruh program-program àla Ajax Academy. Ada metode cara memantau pemain, lalu latihan-latihan sentuhan bola dan passing, yang kemudian dimodifikasi di La Masia.
“Pada 1980-an Cruyff menyukai sepakbola jalanan dan berpikir bagaimana menirunya di sesi latihan Ajax. Setelah ia menukangi Barça pada 1988, dia mengirim asistennya, Tonny Bruins, untuk menjelaskan metode-metode latihan baru ke para pelatih tim muda. Lalu La Masia menjadi universitas (ilmu) umpan. Bertukar umpan kepada rekan setim dengan komunikasi yang baik, ibarat sesi musik jazz yang alat-alat musiknya bisa seirama,” imbuh Kuper.
Baca juga: Derita Barcelona
Porsi latihan fisik tak sebesar latihan sentuhan bola dan passing. Anak-anak yang dilatih di La Masia pun tak asal dipilih para scout. Selain harus punya karakter menyerang, anak-anak yang dipilih juga mesti punya kecerdasan bermain.
“Rahasia terbesar La Masia sebenarnya bukanlah pada pelatihan tetapi pada scouting. Cruyff senang merekrut para pemain menyerang karena biasanya pemain dengan karakter itulah yang punya skill paling baik. La Masia mencari anak-anak yang bisa menerima bola dan mengarahkannya dengan cara yang baik, bermain dengan otak, bisa memindai lapangan dan mengetahui rekan setimnya dengan jeli,” lanjutnya.
Para jebolan La Masia era 1990-an yang kemudian memasuki milenium baru banyak yang jadi pemain top dunia dalam penguasaan bola dengan sentuhan dan umpan-umpannya. Sebut saja Guardiola, Albert Ferrer, Carles Puyol, Xavi, Iniesta, Sergio Busquets, Messi, Francesc Fàbregas, atau Gerard Piqué. Mereka tidak hanya jadi tulang punggung Barça di masa emasnya tapi juga Timnas Spanyol saat merebut Piala Eropa 2008 dan 2012, serta Piala Dunia 2010.
“Anda bisa melihatnya dalam setiap umpan, bagaimana Spanyol bermain selaiknya Barcelona. Mereka sulit dikalahkan. Mereka sangat percaya diri dan begitu tenang dalam cara mereka mengalirkan bola,” tandas pelatih Timnas Jerman, Joachim Löw usai dikalahkan Spanyol di semifinal Piala Dunia 2010.
Deskripsi Film:
Judul: El Héro Inesperado: Andrés Iniesta (Andrés Iniesta: The Unexpected Hero)| Sutradara: Oriol Busch | Produser: Martha Villarrasa, Ramon Lara, Victor Morilla, Xavi Roca | Produksi: Rakuten TV, Producciones Del Barrio, Sports&Life | Genre: Dokumenter | Durasi: 86 Menit | Rilis: April 2020, Mola TV