Masuk Daftar
My Getplus

Senjakala "Raja Roma" dalam One Captain

Serial yang mengungkap sisi lain pengujung karier Francesco Totti. Disajikan dalam drama yang menguras emosi berpadu komedi.

Oleh: Randy Wirayudha | 05 Jun 2021
Drama biopik tentang masa-masa akhir Francesco Totti dalam versi serial diangkat dengan tajuk "One Captain" (Sky Italia)

LEGENDA hidup AS Roma Francesco Totti (diperankan Pietro Castellitto) terintimidasi oleh lampu-lampu mesin pemindai MRI (Magnetic Resonance Imaging). Di suatu hari pada Desember 2015 itu, Totti divonis dokter harus absen beberapa waktu gegara cedera betis.

Pelatih fisiknya, Vito Scala (Massimo De Santis), mencoba menenangkannya. Sementara, Ilary Blasi (Greta Scarano), istri Totti yang sedang hamil anak ketiga, dan ibunya, Fiorella Totti (Monica Guerritori), begitu panik di rumahnya. Mereka tak sabaran menunggu update tentang kondisi Totti.

Dalam lamunannya memikirkan cedera yang dialaminya untuk kesekian kali di pengujung kariernya hingga memunculkan pikiran untuk pensiun, Totti teringat akan masa kala pertamakali bersentuhan dengan si kulit bundar di usia 11 bulan. Dia juga ingat masa ketika mendapatkan anugerah berupa bakat sepakbola setelah kepalanya diberkati Paus Yohanes Paulus II di usia 10 tahun.

Advertising
Advertising

Baca juga: The Two Popes, Dua Paus dalam Sejarah Kelam

Kilas balik dengan cuplikan footage lawas asli Totti di masa dini itu menghiasi episode pertama biopik berseri One Captain (Speravo de Morì Prima) yang diracik sineas Luca Ribuoli. Ribuoli menggarapnya bertolak dari otobiografi Totti, Un Capitano, dengan bumbu-bumbu drama dalam enam episode yang berfokus pada dua tahun terakhir pengabdian Totti sebagai one-club man di klub ibukota berjuluk Il Lupi (Serigala Roma) tersebut.

Situasinya tambah pelik bagi Totti setelah Luciano Spalletti (Gianmarco Tognazzi) kembali melatih AS Roma pada 2016. Kendati saat periode pertama kepelatihannya (2006) ia bersahabat baik dengan Totti, satu dekade berselang keadaannya sama sekali berbeda. Perlahan justru muncul gejala api dalam sekam. Spalletti mulai menyingkirkan Totti dari sejumlah rencana permainannya.

Spalletti (kedua dari kanan) yang bertengkar hebat dengan Totti (Sky Italia)

Perseteruan Totti dan Spalletti mulai memanas di episode kedua. Totti menantang Spalletti untuk melihat para tifosi dan publik Roma akan berpihak ke dirinya atau Spalleti.

Totti yang sedang naik temperamennya tetiba memutar kembali ingatannya ke musim 2000-2001, kala Totti sedang di masa jayanya sebagai kapten yang mengantarkan AS Roma merebut Scudetto (juara Serie A) ketiga sepanjang sejarah klub. Sejak saat itu pula Totti menuai banyak julukan dari publik: Er Bimbo de Oro (Bocah Emas), Er Pupone (Bayi Besar), Il Gladiatore (Sang Gladiator), Il Capitano (Sang Kapten), hingga L’Ottavo Re di Roma (Raja Roma Ke-8).

Baca juga: Brutal Sejarah Roma dalam Romulus

Setelah bertengkar dengan Spalletti di markas latihan tim, Trigoria, Totti ngambek. Dia enggan hadir di pertandingan pada Februari 2016 dengan alasan sedang terkena flu. Namun Ilary Blasi menyadarkannya agar bersikap dewasa dengan tetap datang ke Stadio Olimpico walau sekadar duduk di tribun VIP. Totti kemudian meluapkan rasa haru lantaran fans di sekelilingnya menggemakan nyanyian “C’è un Solo Capitano…C’è Un Solo Capitano!” yang berarti “hanya ada satu kapten!”

Totti perlahan juga sadar bahwa ia tak bisa melawan waktu, baik karena usianya yang menjelang kepala empat maupun kondisinya yang sering cedera. Di episode ketiga itu Vito Scala dan rekan setimnya, Daniele De Rossi (Marco Rossetti), punya peran besar pada Totti dengan memberi suntikan moril agar Totti mau berlatih lebih keras dan disiplin terhadap dietnya –tanpa kalori, gula berlebih, serta alkohol–demi menjaga kebugaran.

Adegan Ilary Blasi (kanan) menyemangati suaminya di masa pelik (Sky Italia)

Bak tokoh petinju fiktif Rocky Balboa di film Rocky III (1982), Totti pun mulai sering bangun lebih pagi. Saat fajar menjelang ia sudah lari pagi menyusuri jalan-jalan di Roma. Meniru adegan Rocky, Totti mengakhiri lari paginya dengan mengangkat kedua tangannya di Altare della Patria di halaman Monumento Nazionale a Vittorio Emanuele II.

Itu hanya satu dari sekian bumbu komedi ringan di film ini. Sisipan komedi lain terdapat dalam adegan saat Totti harus disembunyikan di bagasi mobil Vito Scala demi menghindari publik untuk bisa ke sebuah restoran. Adegan-adegan lucu itu menambah warna biopik berseri itu sehingga tak melulu bersuasana haru dan emosional.

Baca juga: Konflik Roberto Durán dalam Hands of Stone

Pasalnya penonton akan dibawa emosional saat adegan manajemen Roma memaksa Totti meneken kontrak setahun terakhir. Totti pun diterpa dilema, apakah akan gantung sepatu di AS Roma atau akan pergi ke klub di luar Italia demi bisa terus bermain.

Untuk mengungkap lebih detail bagaimana Totti menghadapi dilema-dilema itu, Anda bisa menonton sendiri kelanjutan One Captain di aplikasi daring Mola TV. Pastikan untuk menyaksikannya sampai episode keenam karena selain juga menghadirkan kejutan mantan pemain Andrea Pirlo dan Alessandro Del Piero, sosok Totti asli juga akan muncul sebagai cameo di salah satu dari enam episodenya.

Mendalami Emosi Totti

Bahasa Italia yang jadi bahasa utama dalam One Captain (Spravo de Morì Prima) ditemani rangkaian music scoring komikal dan lagu-lagu pop khas Italia. Atmosfernya kian berwarna lantaran di beberapa adegan disisipi lagu-lagu country khas Amerika Serikat, negeri asal Presiden AS Roma Dan Friedkin.

Lagu-lagu country itu begitu pas dengan beberapa humor ringan yang dibuat sangat khas Amerika. Selain peniruan adegan dalam Rocky III, sutradara Ribuoli menambah feel “Paman Sam” itu dengan adegan Totti  menatap tajam Spalletti di halaman Trigoria, bak koboi akan berduel.

Baca juga: Kuil Sepakbola "Kota Abadi" Roma

Mobil mainan DeLorean khas film Back to the Future yang jadi kado ultah Spalletti untuk Totti (Sky Italia)

Untuk menciptakan atmosfer yang membuat penonton bergidik, Ribuoli juga memanfaatkan sejumlah footage pertandingan dan memadukannya dengan gambar di Stadio Olimpico. Cuplikan-cuplikan berisi Totti di akhir kariernya itu banyak memuat kepahlawanan Totti meski lebih sering dimainkan di menit-menit akhir laga.

Feel makin campur aduk dengan sejumlah adegan di luar lapangan terkait dilema pelik yang dihadapi Totti akibat rentan cedera dan usia yang sudah tak lagi muda. Premis-premisnya di setiap episode yang disisipi cuplikan masa lalu dengan alur maju-mundur juga menghanyutkan perasaan penonton karena Ribuoli menggali sisi lain dalam batin Totti yang begitu emosional kendati terbungkus senyum Totti di hadapan publik.

“Saya sendiri banyak menghabiskan waktu dengannya untuk bisa lebih mengenal dia dengan cara yang lebih intim agar bisa menceritakan kisah dia lewat cara terbaik. Karena saya ingin menceritakan beberapa bagian dalam hidup Francesco Totti yang belum pernah terungkap. Penting untuk melihat film ini bukan sebagai film olahraga tapi film yang menceritakan sebuah akhir dari seseorang yang mencintai sepakbola tapi harus menerima kenyataan bahwa dia tak bisa terus melakukannya. Sebuah cerita yang bisa relate bagi siapapun,” tutur Ribuoli kepada Radio Gold, 18 Maret 2021.

Baca juga: Sejarah Panjang Nerazzurri dalam Inter 110

Sosok asli Francesco Totti (kiri) yang dalam serialnya diperankan Pietro Castellitto (Sky Italia)

Namun, Ribuoli menggambarkan sosok Totti cenderung subyektif. Dari enam episode, Totti selalu ditampakkan sebagai anak manis penuh bakat sepakbola yang kemudian menjelma jadi bintang pujaan publik Roma dan Italia. Ribuoli seperti mengesampingkan sejumlah kontroversi Totti, kecuali perseteruannya yang kekanak-kanakan dengan Spalletti.

Padahal di balik kharisma, jiwa pemimpin, dan teknik-teknik apiknya di lapangan, Totti juga punya pengalaman miring akibat sifat temperamentalnya dan kebiasaan buruknya mengejek pihak lawan. Pada Derby della Capitale (derbi ibukota) kontra SS Lazio, 11 April 1999, misalnya. Usai laga yang berkesudahan 3-1 untuk AS Roma itu, Totti menyingkap jersey-nya untuk memamerkan kaus putih bertuliskan “Vi Ho Purgato Ancora” (Saya menghabisi kalian lagi) ke hadapan Laziale (fans Lazio).

“Hinaan itu adalah jawaban Totti kepada fans Lazio yang sebelumnya memenuhi laman fans dengan foto Totti duduk di toilet. Bek-bek di Italia juga paham bahwa Totti kurang bisa menjaga temperamennya dan sering memprovokasinya. Dia paling jengkel jika dikawal dengan taktik man-marking dan sering menerima hukuman sanksi. (Bek Arsenal) Martin Keown mencoba menirunya pada partai Liga Champions di Highbury pada 2003 dan Totti masuk ke dalam perangkap itu dengan menyikut Keown yang berujung pengusiran oleh wasit,” ungkap John Foot dalam Winning at All Costs: A Scandalous History of Italian Soccer.

Baca juga: Di Balik Derby della Madonnina

Ulah Totti meludahi Christian Poulsen di Euro 2004 (Ekstrabladet)

Sayangnya Totti tak segera insyaf dirinya sangat mudah masuk jebakan provokasi lawan. Akibatnya antara lain, di laga partai Grup C Euro 2004 yang dimainkan  di Estádio D. Afonso Henriques, 14 Juni 2004, Totti sampai tiga kali meludahi gelandang Denmark Christian Poulsen akibat terprovokasi oleh pengawalan ketatnya.

“Si pemilik nomor 10 di Roma dan Azzurra yang dipuja bak kaisar Romawi, bikin dosa yang melanggar kepatutan dan juga sepakbola. Totti meminta maaf pada bangsanya, bukan pada Poulsen. Tetapi terlambat. Gara-gara ulahnya, Italia gagal mengungguli Denmark. Media-media se-Eropa menyerangnya: ‘Totti, unta Italia yang suka meludah!’” tulis Arief Natakusumah dalam Drama Itu Bernama Sepakbola.

Baca juga: Arena Sejarah Piala Eropa

Perilaku emosional Totti bahkan pernah mengakibatkannya mendapat kartu merah. Itu terjadi dalam laga Serie A Roma kontra Livorno pada Januari 2007. Totti diganjar wasit dengan kartu merah karena bertikai dan hampir memukul bek Livorno, Fabio Galante, untuk membalas sikutan yang dialami Totti.

Tetapi bukan insiden itu yang membuatnya dicerca dan dijatuhi sanksi 10 ribu euro oleh operator Serie A, melainkan sikap kasarnya pada pelatih fisik Vito Scala. Saat masih “misuh-misuh” kala keluar lapangan, Totti dihampiri Scala yang mencoba menenangkan. Tapi Totti yang masih emosi justru mendorong Scala sampai terjengkang.

“Selain ibunya, Scala adalah orang yang diakui Totti sangat dekat dengannya. Perbuatan itu (mendorong Scala sampai jatuh) sungguh gila!” kata Spalletti, dikutip Angryanto Rachdyatmaka dalam It’s Injury Time.

Loyalitas Vito Scala

Scala bukanlah sekadar pelatih fisik tapi juga sahabat bagi Totti. Sosok Scala sedikit digambarkan dalam serial One Captain sebagai figur yang paling setia menemani Totti sedari muda.

“Di samping saya adalah Vito Scala. Dia yang mengasuh saya sejak saya masih kecil dan tak pernah pergi dari sisi saya,” kata Totti yang diperankan Pietro Castellitto di adegan-adegan awal One Captain.

Tidak banyak yang bisa diketahui tentang masa lalu Scala. Kendati sosok Scala (Massimo De Santis) tak pernah absen dari enam episode, sineas Ribuoli seolah tak mau menyediakan tempat untuk menjelaskan latarbelakang figur kelahiran Roma, 30 Desember 1963 itu.

Baca juga: Sisi Terang dan Gelap Diego Maradona

Adegan Vito Scala (kiri) yang menemani latihan fisik Totti (Sky Italia)

Nama Vito Scala mulai dikenal di klub sebagai staf pelatih fisik tim Primavera AS Roma sejak 1 Juli 1989. Di tahun yang sama, Totti mulai meniti kariernya di tim yunior AS Roma setelah pindah dari SSB (sekolah sepakbola) Lodigiani.

Pada musim 1996/1997, Scala dipromosikan ke staf pelatih tim senior AS Roma, menyusul Totti yang naik ke tim senior Roma empat tahun sebelumnya. Persahabatan di antara keduanya perlahan tumbuh hingga kemudian Scala bersedia jadi pelatih fisik pribadi Totti.

“Scalalah yang diakui paling berjasa membangun karier si kapten Roma itu. Peran itu dimulai sejak Totti masih berumur 13 tahun saat Scala menjadi (staf) pelatih tim yunior Roma. Dalam perjalanannya, atas permintaan sang bintang, tiga tahun terakhir Scala diikat kontrak sebagai pelatih (fisik) pribadi,” sambung Angryanto.

Baca juga: Fernando Signorini Setia Dampingi Maradona

Sosok asli Vito Scala yang mengasuh Totti sejak dini (Twitter @OfficialASRoma)

Scala tidak hanya bertanggungjawab atas kebugaran Totti lewat sejumlah program latihan fisik serta disiplin dalam diet Totti, namun juga sudah menjadi manajer sang pemain. Scala paham sifat Totti yang temperamental hingga Scala berinisiatif jadi “filter” bagi Totti jika sudah membuat pernyataan di media-media.

Tidak hanya berjasa di balik kesuksesan Totti membantu AS Roma meraih scudetto, Scala juga berperan besar menyuntik moril Totti dalam pemulihan fisiknya akibat cedera jelang Piala Dunia 2006. Hasilnya, Totti mampu ikut membawa Italia meraih trofi Piala Dunia kendati persepakbolaan Italia belum lama dinodai Skandal Calciopoli.

Baca juga: AS Roma Menggebrak Eropa

Kendati jadi korban pelampiasan amarah Totti di laga tandang kontra Livorno pada Januari 2007, Scala tetap setia berada di sisi Totti. Scala sangat paham Totti sehingga memaafkannya.

“Apakah Totti sudah meminta maaf? Buat apa? Persahabatan kami tak terancam. Kami saling mendukung. Dalam situasi sulit, itu saatnya saya mendampinginya. Kami sudah melewati banyak masa suka dan duka bersama-sama,” papar Scala.

Saat Totti pensiun di musim panas 2017, Scala jadi salah satu sosok yang paling kehilangan. Jalinan persahabatannya dengan Totti masih lestari hingga kini.

“Dia (Scala) salah satu bagian besar dalam segala yang pernah saya raih. Dia menjaga setiap aspek kebugaran tubuh saya dan banyak hal lain. Penting bagi pesepakbola punya seseorang seperti dia di sisi Anda. Pengamatannya lebih tajam dari siapapun. Dia berperan besar dalam kehidupan sepakbola saya. Dia sudah seperti saudara,” aku Totti kepada Forza Roma, 3 Juni 2016.

Deskripsi Film:

Judul: One Captain (Speravo de Morì Prima) | Sutradara: Luca Ribuoli | Produser: Ludovica Damiani, Lorenzo Gangarossa, Mario Gianani, Virginia Valsechhi | Pemain: Pietro Castellito, Greta Scarano, Massimo De Santis, Gianmarco Tognazzi, Giorgio Colangeli, Monica Guerritore, Marco Rossetti, Gabriel Montesi, Francesco Totti | Produksi: Sky Studios, Wildside, S.r.l, Capri Entertainment, Freemantle | Genre: Drama Biopik | Durasi: 40 menit/6 episode | Rilis: 19 Maret 2021 (Sky Atlantic), Mola TV

TAG

molatv roma italia film sepakbola

ARTIKEL TERKAIT

Rahayu Effendi Pernah Susah di Awal Karier Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Yok Koeswoyo yang Tinggal dari Koes Plus Potret Pribumi Ainu di Balik Golden Kamuy Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Geliat Tim Naga di Panggung Sepakbola Mula Bahrain Mengenal Sepakbola