DI saat orang di berbagai belahan dunia tengah direpotkan oleh pandemi COVID-19 (virus corona), legenda hidup sepakbola Brasil Ronaldinho masih bisa menimang-nimang bola dan mencetak gol demi gol. Memang itu bukan di lapangan sepakbola seperti biasanya, namun di dalam penjara.
Sejak akhir pekan lalu hingga Senin, (16/3/2020), ia sudah mencetak 11 gol untuk sebuah tim di turnamen futsal di dalam penjara. Ya, Dinho (sapaan Ronaldinho) bersama kakaknya, Roberto de Assis Moreira, ditahan di penjara berkeamanan maksimal di Asunción, Paraguay sejak 6 Maret 2020. Penyebabnya, Dinho dan kakaknya mencoba masuk ke negeri berjuluk “Corazón de América” (jantungnya Amerika) itu menggunakan paspor dan identitas palsu. Mengutip The Guardian, Selasa (17/3/2020), Dinho ditahan di penjara itu dalam waktu yang belum ditentukan, sembari menunggu rampungnya penyelidikan.
Kuasa hukum Dinho dan Roberto meminta penangguhan penahanan, namun tak dikabulkan Kepolisian Asunción. Keduanya membela diri bahwa paspor dan identitas palsu itu didapat dari pihak sponsor yang mengundangnya datang ke Paraguay. Pasalnya paspor Brasil dan Spanyol Dinho disita penegak hukum Brasil sejak Juli 2019 akibat mengemplang pajak.
“Saya sedih mendengar apa yang terjadi kepada teman saya. Dia tak layak mengalaminya,” cetus eks-rekan setim Dinho di timnas Brasil, Rivaldo.
Baca juga: Wabah Virus Global yang Mengacaukan Sepakbola
Namun Dinho tetaplah Dinho. Selain masih menyisakan magis di kakinya dalam turnamen di balik dinding penjara itu, bekas bintang Paris Saint-Germain (PSG), Barcelona, dan AC Milan itu masih jadi pribadi yang murah senyum di setiap saat.
“Seperti biasa Anda melihatnya di televisi ketika tampil bermain bola, dia selalu tersenyum,” ungkap Nelson Cuevas, eks bintang timnas Paraguay yang menjenguknya.
Siapa Tak Kenal Dinho?
Para penikmat bola di manapun mengenal Dinho sebagaimana legenda-legenda penyerang Brasil lain macam Pelé, Zico, hingga Ronaldo. Sejak merumput di Eropa bersama tiga klub pada 2001 hingga satu dekade kemudian, Dinho berandil dalam tujuh trofi yang dimenangkan Barca, termasuk satu gelar Liga Champions musim 2005-2006.
Sukses itu membuat namanya masuk ke timnas Brasil. Di timnas, Dinho punya andil besar membawa tim Samba merebut Copa América 1999 dan trofi Piala Dunia untuk kelima kalinya di Korea-Jepang tahun 2002. Pada 2011, ia mudik ke Brasil di sisa-sisa kariernya bersama Atlético Mineiro, Querétaro (2014), dan Fluminense (2015) sampai gantung sepatu.
Seperti halnya banyak bintang sepakbola Brasil, Dinho bisa punya bab masa jaya di buku kariernya – dengan bergelimang prestasi pribadi, salah satunya trofi Ballon d’Or 2005– bukan tanpa perjuangan. Ia meniti kariernya sejak dini sebagai anak yatim.
Baca juga: Kiper Legenda Brasil yang Dilaknat hingga Akhir Hayat
Rebecca Thatcher Murcia dalam biografi bertajuk Ronaldinho menguraikan, Dinho lahir pada 21 Maret 1980 di Porto Alegre, provinsi Rio Grande do Sul dengan nama Ronaldo de Assis Moreira. Ia anak ketiga dari pasutri João de Assis Moreira dan Dona Miguelina Elói Assis dos Santos. Dua kakaknya, Deisi (perempuan) dan Roberto (laki-laki). Roberto kelak menjadi manajer Dinho dan turut mendekam di balik jeruji besi di Paraguay.
“Keluarganya hidup di lingkungan miskin di Porto Alegre. Ayahnya seorang buruh las di galangan kapal dan petugas jaga malam di markas klub Grêmio. Terkadang ayahnya juga bermain di klub amatir Esporte Clube Cruzeiro. Ibunya, selain membesarkan anak-anak, juga menyambi jadi sales kosmetik,” tulis Murcia.
Dinho pertamakali dikenalkan sepakbola oleh ayahnya kala berusia lima tahun. Ia jatuh hati pada permainan si kulit bundar meski belum di lapangan hijau. Dinho kecil sudah gemar belajar juggling bola seraya main-main sepakbola pantai dan futsal.
“Ayahnya dan kakaknya mengajarinya skill sepakbola di rumah. Dia akan bermain selama berjam-jam. Kadang dia belajar sendiri juggling bola di udara, tidak hanya dengan kakinya, tapi juga dengan lutut, kepala, dan dadanya. Dia juga belajar sendiri men-dribble bola cepat dan kemampuan mengontrol bola dari pesepakbola pro yang ia tonton lewat layar kaca,” sambungnya.
Saat usia tujuh tahun, ia bergabung ke akademi muda Grêmio. Privilege itu bisa ia nikmati mengingat Roberto merupakan salah satu pemain utama di klub berjuluk Imortal Tricolor tersebut. Dengan kemampuannya yang di atas rata-rata anak sebayanya, Dinho sering dimainkan di tim anak-anak yang lebih tua. Sejak itu ia mulai dipanggil teman-teman setimnya dengan “Ronaldinho” yang artinya “Ronaldo kecil” karena ia menjadi pemain termuda di tim.
Sementara, futsal dan sepakbola pantai masih gandrung dilakoninya beriringan dengan sepakbola lapangan hijau. “Banyak gerakan yang saya ciptakan sendiri datangnya dari futsal. Karena permainannya dilakukan di lapangan yang kecil dan kontrol bola sangat berbeda dalam futsal dan sepakbola. Kontrol bola saya selama ini sangat mirip dengan kontrol bola pemain futsal,” kata Dinho, dikutip John A. Torres dalam Soccer Star Ronaldinho.
Baca juga: Frank Lampard Legenda Bermental Baja
Setahun kemudian, keluarga mereka pindah ke rumah yang lebih layak di tengah kota Porto Alegre. Rumah itu diberikan klub untuk kakaknya, Roberto. Namun duka seketika mengusik kebahagiaan keluarga yang menempati rumah baru itu.
“Terjadi tragedi saat keluarganya tengah menyiapkan pesta ulangtahun Roberto yang ke-18 dan anniversary pernikahan orangtuanya yang ke-19. Ayahnya mengalami serangan jantung hingga terpeleset dan ambruk di tepi kolam renang. Ia tak sadarkan diri lantaran kepalanya terbentur lantai. Walau sudah berusaha diselamatkan dan dilarikan ke rumahsakit, nyawa ayahnya tak tertolong,” lanjutnya.
Dinho harus menjadi anak yatim saat usianya baru delapan tahun. Dukanya bertambah dengan cedera parahnya Roberto yang tak bisa disembuhkan sehingga harus tutup karier lebih dini. Dinho sempat mengurung diri di kamarnya beberapa waktu akibat kedukaan yang bertubi-tubi itu.
Dinho akhirnya teringat banyak wejangan mendiang ayahnya tentang sepakbola. “Semakin hari sentuhan bola di kakinya semakin baik. Dia selalu teringat banyak pesan ayahnya, salah satunya: ‘biarkan segalanya bergulir simpel’. Ia pun mengamalkannya di lapangan,” tambah Torres.
Di pundaknyalah harapan masa depan keluarganya diusung. Dinho bangkit. Namanya mulai dikenal luas setelah jadi sorotan sejumlah media lokal. Gara-garanya, saat berusia 13 tahun Dinho bikin geger usai mencetak 23 gol dalam sebuah laga yang berakhir dengan skor 23-0.
“Ada beberapa detail yang belum jelas tentang itu, apakah terjadi di sebuah laga sepakbola lapangan hijau atau futsal. Namun hal itu tak menjadi masalah karena banyak wartawan suratkabar dan televisi yang tertegun dan pemain belia itu menjadi selebritis instan,” lanjutnya.
Ditolak Madrid, Dipinang Barca
Sejak masuk tim utama Grêmio pada 1998, Dinho mulai menebar magisnya. Di final Campeonato Gaúcho Série A1 kontra tim sekota Internacional, Dinho kembali menjadi pemberitaan gegara mempermalukan Dunga, gelandang veteran cum kapten timnas Brasil saat menang Piala Dunia 1994.
Momen itu terjadi kala Dunga menempel ketat pergerakan Dinho. Si bintang muda melakukan trik bola lambung ke atas kepala Dunga agar ia lepas dari kawalan, lantas disusul dengan dribble bola cepat khasnya yang sudah dilakoninya sejak di tim muda Grêmio.
“Saya bekerja dengan beberapa pemain hebat di masa saya melatih di periode paling menarik dalam karier mereka kala masih berusia 19-20 tahun. Namun dengan tak mengurangi rasa hormat pada yang lain, kemampuan Ronaldinho berada di atas mereka semua,” sanjung Celso Roth, pelatih Grêmio periode 1998-1999, dikutip Jethro Soutar dalam Ronaldinho: Football’s Flamboyant Maestro.
Alhasil, sejak 1997 Dinho sudah masuk timnas Brasil U-17. Ia menjadi bagian tim Samba kala menggondol Piala Dunia U-17 pada 1997 yang digelar di Port Said, Mesir.
Baca juga: Pemain Tunadaksa Penentu Juara Piala Dunia
Meski di Grêmio ia hanya memberi gelar Campeonato Gaucho pada 1999, nama Dinho masuk catatan sejumlah pemandu bakat klub-klub top Eropa. Pada 2001, ia memukau Arsenal yang menjadi klub pertama yang naksir pada permainannya. Sayangnya ia batal merumput bersama klub berjuluk The Gunners itu di Liga Inggris karena tersandung izin kerja. Pun dengan pinangan klub Skotlandia, St. Mirren, dengan perkara yang sama.
Beruntung, Paris St. Germain berkenan mengurus izin kerjanya meski prosesnya rumit. Dinho akhirnya resmi berkostum PSG dengan nilai transfer 5 juta euro berdurasi lima tahun kontrak. Di musim perdananya, Dinho turut serta menyumbang gelar Piala Intertoto 2001.
Namun, ia tak akur dengan pelatih PSG Luis Fernandez. Penyebabnya lantaran Dinho mulai tertular kehidupan malam, hingga beberapakali terlambat latihan.
Pada jendela transfer 2003, nama Dinho sempat diincar dua raksasa Spanyol, Real Madrid dan Barcelona. Dinho yang kariernya sedang melangit setelah setahun sebelumnya memenangi Piala Dunia 2002, menjadi salah satu nama di bursa transfer yang paling santer dihubungkan dengan dua raksasa Spanyol itu. Selain Dinho ada David Beckham dan Thierry Henry.
Baca juga: Mesin Uang Bernama Beckham
Henry kemudian berada di luar radar lantaran akhirnya memutuskan bertahan di Arsenal. Sementara Real Madrid lebih memilih Beckham lantaran kerupawanannya masuk dalam kriteria bos Madrid Florentino Perez, yang menginginkan skuad Galaticos-nya terdiri dari para pemain tampan. Dinho pun disingkirkan karena wajahnya tak setampan Beckham.
Namun, dewi fortuna masih menaunginya. Bos baru Barca, Joan Laporta, kepincut performa Dinho. Ia sampai rela merogoh kocek klub 30 juta euro sebagai mahar yang melampaui penawaran Manchester United.
Keputusan Laporta tak salah. Ia jadi pembeda dan pengubah peruntungan Barca yang sebelumnya sedang mengalami masa-masa sulit. Berturut-turut, Dinho ikut menyumbang saham kala Barca juara La Liga musim 2004-2005, dan 2005-2006, serta Supercopa de España 2005 dan 2006. Tak ketinggalan satu trofi Liga Champions 2005-2006.
Dengan Dinho dan Lionel Messi yang kala itu tengah naik daun, Barca kembali jadi rival yang diperhitungkan Madrid. Setiap kali El Clásico (duel Barca-Madrid) terjadi, tak terhingga momen seru dan sengit terjadi, baik kala beradu di Camp Nou maupun Estadio Santiago Bernabèu.
Baca juga: Para Bintang yang Disanjung Standing Ovation
Dalam laga 19 November 2005 di markas Madrid, Dinho bahkan menceploskan doblete alias dwigol ke gawang Iker Casillas untuk menegaskan kemenangan 3-0. Aksi-aksi cantiknya kala menari-nari dengan bola sebelum mencetak dua golnya memaksa fans Madrid di Santiago Bernabeu memberi standing ovation.
Dinho tercatat jadi jugador Barca kedua setelah Diego Maradona yang menerima penghormatan itu pada 1983 di tempat yang sama. “Saya takkan melupakan momen ini karena sangat jarang bagi pesepakbola menerima penghormatan itu dari fans lawan,” ujar Dinho, dinukil The Independent, 21 November 2005.
Namun sejak 2008 kala pindah ke AC Milan, perlahan magis Dinho mulai pudar. Pun saat pulang kampung ke Brasil hingga pensiun pada 2015. Meski begitu, ia tetap legenda hidup yang takkan dilupakan Messi dkk.
“Ronaldinho adalah pemain yang bertanggungjawab atas perubahan di Barca. Kala itu kami mengalami masa yang buruk dan perubahan itu datang seiring kedatangannya dan itu hal yang luar biasa,” kenang Messi di laman resmi klub, fcbarcelona.com, 13 Oktober 2016.
Baca juga: Lionel Messi, Alien Sepakbola yang Membumi