Masuk Daftar
My Getplus

Barong Penjaga Desa

Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, ritual adat digelar tanpa kemeriahan. Berharap pagebluk hilang.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 27 Mei 2020
Barong Banyuwangi yang digunakan dalam perayaan Ider Bumi. (Dok. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi).

PERAYAAN itu berlangsung sederhana. Dengan mengenakan masker dan menjaga jarak, belasan orang berjalan mengiringi barong keliling desa. Mereka dikawal beberapa petugas berpakaian APD (alat pelindung diri) lengkap yang mengingatkan warga agar menjaga jarak dan sesekali menyemprotkan disinfektan. Sejumlah warga hanya menonton di halaman rumah.

Di tengah pandemi Covid-19, pemangku adat warga Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi memutuskan tetap melaksanakan ritual Barong Ider Bumi pada 25 Mei lalu. Ritual ini diadakan sebagai upacara tolak bala atau penolak penyakit, bencana, dan sebagainya.

Pada tahun-tahun sebelumnya ritual digelar meriah. Ada acara seremoni, aneka hiburan, hingga tradisi makan tumpeng pecel pitik. Tapi pandemi Covid-19 memaksa mereka untuk memangkas prosesi untuk menghindari kerumunan orang. Tahun ini ritual hanya berupa arak-arakan barong dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Makan bersama yang biasanya dilakukan seluruh warga di tengah jalan juga ditiadakan. Sebagai gantinya pelaku adat makan bersama di rumah pemangku adat selametan desa.

Advertising
Advertising

“Semoga pandemi Covid-19 ini selesai. Tidak ada lagi Corona,” ujar Suhaimi, tokoh adat setempat, dikutip detikcom.

Mengarak Barong

Ritual Barong Ider Bumi adalah tradisi turun-temurun masyarakat Osing di Desa Kemiren. Tradisi ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas keselamatan dan keamanan sekaligus upacara tolak bal yang diadakan setiap tanggal 2 bulan Syawal dalam kalender Hijriah.

Sesuai namanya, unsur terpenting dalam ritual ini adalah barong, sosok binatang mitologi yang bisa dijumpai dalam masyarakat Jawa dan Bali. Keberadaannya diyakini memiliki kekuatan magis dan dianggap suci oleh masyarakat. Ia juga dipercara menjadi pelindung dari makhluk-makhluk jahat, penyakit, magi hitam, dan sebagai manifestasi kebaikan.

Sebagai salah satu ikon seni tradisi Banyuwangi, barong dimiliki beberapa  desa yang dihuni masyarakat Osing. Namun yang paling terkenal dan melegenda adalah barong Kemiren. Ia berwujud hewan raksasa; bersayap empat dan bermahkota, dengan mata besar melotot, serta taring mencuat keluar. Mahkotanya kerucut dikombinasikan dengan hiasan pelengkap dan dandanan rambut berbentuk udang. Barong dimainkan dua orang yang bertugas di bagian kepala dan bagian ekor.

Baca juga: Kuda Lumping Gaya Banyuwangi

Menurut Wiwin Indiarti dan Abdul Munir dalam “Peran dan Relasi Gender Masyarakat Using dalam Lakon Barong Kemiren-Banyuwangi” di jurnal Patrawidya, April 2016, barong Kemiren merupakan unsur terpenting dalam ritual Ider Bumi maupun upacara bersih desa Tumpeng Sewu. Di sisi lain, ia ditampilkan pada acara pernikahan, khitanan, penyambutan tamu, festival kesenian, dan acara lainnya. Barong Kemiren bertransformasi menjadi tontonan (hiburan), meski unsur spiritual magis tetap berperan.

“Dengan kata lain, seni tradisi ini berfungsi sakral sekaligus profan,” tulis mereka.

Menariknya, menurut Wiwin Indiarti dan Abdul Munir, kendati asal-usulnya selalu dikaitkan dengan Kemiren, pertunjukan barong berasal dari Dandang Wiring (sekarang daerah Perliman) di Banyuwangi yang saat itu dipimpin oleh Mbah Sukib. Mbah Sukib memiliki barong beserta perlengkapan musiknya. Pada 1920-an Mbah Sukib yang sudah mulai tua sepakat menjualnya kepada Mbah Salimah di bagian timur Desa Kemiren.

Mbah Salimah adalah salah satu juru kunci makam dan perantara roh Buyut Cili, danyang desa tersebut. Suatu saat dia diminta roh Buyut Cili untuk membeli barong dari Mbah Sukib. Sayangnya, upaya Mbah Salimah gagal karena beberapa anggota kelompok barong dari Dandang Wiring enggan melepas barong itu. Berutung Mbah Sukib akhirnya mau membuat tiruannya.

Baca juga: Buto Menari di Banyuwangi

Sebagai ritual, ritual Barong Ider Bumi menjadi salah satu tradisi tertua di Banyuwangi. Menurut Mudjijono dan Christriyati Ariani dalam Komunitas Adat Using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, upacara adat ini awalnya dimaksudkan untuk menghilangkan pagebluk yang menyerang warga Kemiren.

Menurut cerita tutur, Desa Kemiren dilanda wabah penyakit dan hama tanaman. Melihat kondisi desa yang sangat memprihatinkan, beberapa sesepuh desa memutuskan berziarah ke makam Mbah Cili. Mereka berdoa meminta petunjuk dan pertolongan guna mengembalikan keadaan desa seperti semula. Beberapa hari kemudian, para sesepuh mendapat wangsit dari Buyut Cili agar warga Desa Kemiren mengadakan upacara slametan dan arakan-arakan barong mengelilingi desa. Setelah melakukan ritual yang dimaksudkan, Desa Kemiren terbebas dari pageblug.

“Di sini terlihat bahwa upacara adat dapat 'mengikat' penduduk Kemiren dalam satu tujuan yang sama, yakni keselamatan desa beserta warganya,” tulis Mudjijono dan Christriyati Ariani.

Baca juga: Ketika Orang Mandar Berlabuh di Banyuwangi

Sosok Buyut Cili menjadi bagian penting dalam ritual Barong Ider Bumi. Masyarakat Using meyakini Buyut Cili selalu hadir di setiap pelaksanaan Barong Ider Bumi. Keyakinan itu telah ada sejak pelaksanaan ritual yang pertama; beberapa sumber menyebut tahun 1800-an, namun sumber lain menyebut awal 1900.

Pada setiap ritual Barong Ider Bumi, barong selalu diletakkan pada urutan pertama dan diikuti kesenian-kesenian lain yang ada di Kemiren. Iring-iringan biasanya terdiri atas barong, pitik-pitikan (ayam-ayaman), macan-macanan dan para pemusik yang membawa alat musik berupa kethuk, gong, ceng-ceng, dan kendang.

“Prosesi mengarak barong mengelilingi desa dalam ritual Ider Bumi merupakan bagian penting dan keharusan bagi masyarakat Kemiren,” tulis Wiwin Indiarti dan Abdul Munir.

Pelaksanaan Ritual

Selain barong, elemen lain yang tak kalah penting di dalam ritual Ider Bumi adalah sesajen. Ada tiga jenis sesajen yang disiapkan: sesajen di makam Buyut Cili, rumah barong, dan jalan desa.

Sesajen di makam Buyut Cili dan jalan desa memiliki kemiripan menu, yakni tumpengan, pecel pitik, jenang merah dan putih, kemenyan yang dibakar, dan toya arum (air bunga kenanga). Sementara sesaji di rumah barong tak terlalu beragam  karena di tempat ini hanya dilaksanakan ritual kecil sebagai wujud permintaan izin. Di sana para pemangku adat melakukan penataan untuk segala keperluan arak-arakan, terutama pemasangan pernak-pernik barong serta alat musik sebagai pemandung iringan barong.

Baca juga: Masjid di Jantung Banyuwangi

“Menurut kepercayaan mereka, setelah pelaksanaan ritual di makam Buyut Cili, barong tersebut sudah dimasuki danyang desa tersebut, maka pendukung yang terlibat tidak berani memegang barong, yang diperbolehkan dan berani hanya pemiliknya,” tulis Sulistyani.

Pelaksanaan ritual Barong Ider Bumi melibatkan seluruh warga Desa Kemiren. Persiapan dilakukan dengan melaksanakan upacara adat di makam Buyut Cili dan rumah barong untuk meminta izin agar ritual berjalan lancar dan keselamatan diberikan selama prosesi.

Prosesi pemberangkatan iring-iringan barong dimulai dari sisi timur desa (Dusun Kedaleman) menuju sisi barat desa (Dusun Krajan). Di setiap sudut desa, sesaji diletakkan.  Setelah itu iring-iringan kembali lagi ke tempat pemberangkatan awal. Acara ditutup dengan doa bersama dan selametan yang hidangan utamanya bubur merah-putih (jenang abang-putih) dan tumpeng-pecel pitik.

Baca juga: Temu Legenda Banyuwangi

Menurut Sulistyani dalam “Ritual Ider Bumi di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi” di jurnal Mudra tahun 2008, pelaksanaan dari timur ke barat ini sesuai keyakinan di dalam Islam, sebagai agama mayoritas masyarakat desa Kemiren bahwa kiblat berada di barat.

“Dengan demikian tampak dengan jelas bahwa segala aktivitas masyarakat Using di Desa Kemiren selalu terdapat penggabungan antara agama yang dianut dengan warisan budaya yang masih dijalani,” tulis Sulistyani.

Ritual Barong Ider Bumi sejatinya masuk dalam agenda wisata tahunan Banyuwangi Festival 2020. Namun pandemi Covid-19 membuat ritual ini digelar tanpa konsep festival. Toh, meski dilakukan di tengah keterbatasan, makna ritual tetap ada: sebagai penghilang pagebluk.

TAG

banyuwangi wisata

ARTIKEL TERKAIT

Kebiasaan Tidur Siang di Masa Lalu Panduan Kebiasaan Mandi untuk Wisatawan Asing Jaminan Keselamatan Rakyat saat Melakukan Perjalanan Kecak dari Sakral Jadi Profan Merekam Dua Sisi Pematangsiantar Hanandjoeddin dan Sejuta Pesona Pariwisata Belitung Awal Mula Pelesiran Lebaran ke Kebun Binatang Tari Kecak Mencoba Terus Menari Kala Pandemi Cerita di Balik Pembangunan TMII Wisata Sumatra Era Kolonial