Masuk Daftar
My Getplus

Buto Menari di Banyuwangi

Joko Umbaran kehilangan ketampanan setelah menang melawan Kebomarcuet. Namun jiwa ksatrianya tak hilang meski wujudnya berubah menjadi buto.

Oleh: Nur Janti | 18 Mei 2020
Tarian Jaranan Buto di Banyuwangi. Sumber: Banyuwangi.go.id.

SEORANG lelaki datang diiringi empat rekannya yang masing-masing membawa kuda dari kulit kerbau, cemeti, dan kepala buto. Tak lama setelahnya ia terduduk di tengah lapangan, berdoa, sembari menyanding kemenyan yang terbakar. Sejurus kemudian ia menari dengan cemeti yang ia lecutkan sekali dua.

Lelaki yang membawa kuda dari kulit kerbau maju, mengasapi kudanya dengan kemenyan, lantas menemani si lelaki cemeti menari. Lelaki yang membawa kepala buto menyusul kemudian. Begitu ritual pembuka selesai dilakukan, sebanyak 234 buto masuk ke lapangan Krandenan, Purwoharjo. Gelombang pertama yang masuk ialah buto prajurit, diikuti patih, dan terakhir raja.

Dengan wajah merah bertaring, rambut gimbal, dan mengapit replika kuda mereka menari ramai-ramai (flashmob) dalam Festival Jaranan Buto Millenial, yang masuk agenda Banyuwangi Festival, pada 8 Maret 2020. Para penari buto yang pentas malam itu merupakan murid SD-SMA di Banyuwangi. Suara gamelan, seperti bonang, gong, kempul, seruling, kecer, dan kendang mengiringi tarian perang mereka. Dua kubu saling hadap, berbalas tarian dan lecutan cemeti.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Kuda Lumping Gaya Banyuwangi

 

Ada tiga karakter dalam tarian Jaranan Buto, yakni raja, patih, dan prajurit. “Iya butonya juga memiliki nama, rajanya bernama Dosomuko, patihnya bernama Kumbokarno, dan prajuritnya bernama Patih Sekipu,” kata Setro Asnawi, pencipta tari Jaranan Buto Banyuwangi.

Setro jadi salah satu seniman tari Jaranan Buto yang mendapat apresiasi dari Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Dikabarkan Banyuwangi.go.id dalam kesempatan tersebut Abdullah meyampaikan terima kasihnya kepada Setro, Kayid, dan Jumar yang terus melestarikan Jaranan Buto sebagai kesenian khas Banyuwangi.

 

Penciptaan

Setro Asnawi pindah dari Trenggalek ke Banyuwangi pada 1963. Kala itu usianya 23 tahun. Tahun pertama di Banyuwangi ia habiskan untuk bergaul dengan para seniman tari tradisional di Desa Cluring.

“Saya mengamati daerah Banyuwangi tentang keseniannya. Di situ saya mempunyai ide ingin menambah kesenian di Banyuwangi,” kata Setro kepada Annisa’ul Fitriyah yang mewawancarainya untuk skripsi “Mitos Dalam Kesenian Tarian Jaranan Buto ‘Sekar Dhiyu’ Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi”.

Baca juga: 

Masjid di Jantung Banyuwangi

Menurut Setro, jaran kepang di berbagai wilayah relatif sama. Maka ia punya ide untuk menjadikan tokoh Minak Jingga yang punya akar kuat dalam sejarah Banyuwangi sebagai lakon dalam tari jaranan ciptaannya.

“Minak Jinggo, yang dulunya ganteng dan bagus setelah bertempur dengan Kebomarcuet jadinya menjadi seperti buto. Jadi menurut saya jika saya menciptakan suatu kesenian jaranan bergambar buto sangat cocok berkembang di daerah Banyuwangi,” kata Setro.

Kesenian Jaranan Buto ia ciptakan dari hasil perpaduan kesenian Trenggalek dan Banyuwangi. Banyak orang Osing, suku asli Banyuwangi, tinggal di Kecamatan Cluring. Sementara kecamatan Gambiran yang berbatasan dengan Cluring mayoritas penduduknya keturunan Mataram. Masyarakat Osing mengenal Minak Jingga sebagai pahlawan dari Kerajaan Blambangan, bahkan ada upaya penggambaran ulang sosok Minak Jingga sebagai ksatria tampan dan gagah. Namun dalam kisah Damarwulan, Minak Jingga digambarkan jahat dan berwujud buto. Kisah inilah yang lebih dominan hidup di masyarakat Jawa. Dari kedua cerita rakyat tersebut, Setro menciptakan tarian Jaranan Buto yang menggambarkan pertarungan dan perwujudan Minak Jingga sebagai buto.

Baca juga: 

Ketika Orang Mandar Berlabuh di Banyuwangi

“Jaranan Buto itu banyak berkembang di daerah Banyuwangi Selatan yang basisnya memang masyarakat Mataraman. Jadi Jaranan Buto itu akulturasi antara budaya masyarakat Mataraman dan idiom masyarakat Osing,” kata Hasan Basri, budayawan Banyuwangi kepada Annisa.

Setro menyebut gerakan dalam Jaranan Buto sebagai lincak gagak, lantaran mirip burung gagak yang melompat-lompat. Gerakan tarinya lebih fokus pada kaki dan para pemain saling berhadapan, seolah siap baku hantam. Setro juga memberi sentuhan pada jaranan yang digunakan. Ia membuatnya dari kulit lembu (bukan anyaman bambu) dan berwujud kuda buto. Wujud itu ia ambil dari wayang buto.

Pada awal penciptaanya, orang yang menaiki jaranan merupakan ksatria, sehingga tak boleh berhias seperti buto. Namun pada perkembangan selanjutnya, para penari berhias seperti buto untuk alasan seni. “Buto ini kebanyakan jahat, namun ada juga buto yang memiliki kemanusiaan, dan sebenarnya dulu itu yang menaiki adalah ksatria, bukan buto,” kata Setro.

Baca juga: 

Perlawanan Jagapati sebagai Hari Jadi Banyuwangi

Setelah berhasil menciptakan Jaranan Buto, Setro bergabung bersama Darni Wiyono dan beberapa seniman lain untuk mendirikan organisasi Jaranan Buto Sekar Dhiyu pada akhir 1963.

“Tahun 1967 Jaranan Buto dirintis kembali dengan nama Sekar Dhiyu Baru Muncul. Raja Blambangan Minak Jinggo memang wujudnya seperti raksasa namun jiwanya seperti ksatria,” kata Darni.

 

Makna Lain Buto

Minak Jingga dalam tarian Jaranan Buto digambarkan sebagai seorang raksasa yang melawan Kebomarcuet. Karena itulah, gerakan tari didominasi adegan pertarungan antara dua raja dan pasukannya.

Dalam kisah, Raja Majapahit membuka sayembara untuk memburu Kebomarcuet. Pemenang sayembara akan mendapat imbalan, diangkat anak bila perempuan dan menjadi mantu bila lelaki.

Minak Jingga, atau sebelumnya dijuluki Joko Umbaran, mengikuti sayembara itu. Ia tidak digambarkan sebagai buto yang ganas, melainkan pemuda tampan, gagah, dan sakti, patih terbaik di Majapahit. Berkeliling Jawa, ia berkelana mencari Kebomarcuet, siluman berbadan manusia dan berkepala kerbau yang dianggap berbahaya bagi Kerajaan Majapahit.

Baca juga: 

Menak Jingga yang Ganteng

Pertempuran dengan Kebomarcuet amat sengit. Joko Umbaran berhasil mengalahkan musuh dan mengambil tanduknya. Tanduk ini kemudian diubah menjadi gada (godho). Dipercaya, kekuatan Kebomarcuet tersimpan di tanduknya sehingga siapa pun yang memiliki tanduk tersebut akan mendapat kedigdayaan.

Meski berhasil mengalahkan siluman kerbau itu, Joko Umbaran mendapatkan luka di sekujur tubuhnya lantaran diseruduk Kebomarcuet. Kemenangannya harus dibayar dengan rusaknya wajah. Joko Umbaran kehilangan ketampanannya.

Akibatnya, ia kehilangan kesempatan mempersunting anak Raja Majapahit. Sang putri menolak diperistri karena ngeri melihat wajah pemenang sayembara. Joko Umbaran sakit hati. Namun Sang Raja berusaha menenangkan dengan mengganti imbalan sayembara.

Baca juga: 

Dwarapala Berwajah Ramah

Joko Umbaran diberi kuasa untuk memerintah di Jawa bagian timur. Wilayah ini kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Blambangan, yang kini meliputi Karesidenan Besuki, termasuk Banyuwangi. Sejak itu ia disebut sebagai Prabu Minak Jingga yang berwajah seperti buto.

Meski Prabu Minak Jingga mempunyai wujud seperti raksasa, jiwa ksatrianya tak hilang. Bagi rakyat Banyuwangi, ia dikenal sebagai sosok raja bijaksana dan sakti mandraguna. “Buto juga tidak selalu identik dengan orang yang menyeramkan. Buto juga memiliki arti lain, yaitu nyebuto. Nyebuto berarti kembali kepada tuhan, bahwa semua yang ada di bumi ini adalah ciptaan,” kata Setro.

TAG

banyuwangi kesenian tradisi

ARTIKEL TERKAIT

Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa Merambah Indahnya Kain Tenun Nusantara Obat Batuk Tradisional ala Jawa Cara Shinse Melawan Flu Spanyol Koleksi Lukisan Hilang, Pegawai Museum Tak Sadar Gambar Cadas Tertua Ditemukan di Sulawesi Selatan Berpacu dalam Kendang Kempul Suara Angklung dari Timur Sejarah Panjang Kopi Lanang Menemukan Wong Osing