Pada September 1939, Gusti Raden Mas Dorojatun menerima sebuah telegram dari ayahnya, Sultan Hamengkubuwono VIII. Dorojatun yang sedang menempuh pendidikan di Belanda bersama saudara-saudaranya, tidak menyangka akan dihubungi sang ayah. Terlebih surat itu memuat juga permintaan mengejutkan ayahnyat: sesegera mungkin kembali ke tanah air.
Rupanya Sri Sultan khawatir kondisi gawat di Eropa pasca penyerbuan Jerman ke Polandia mengancam keselamatan putra-putranya di Belanda. Maka disiapkanlah rencana pemulangan oleh pejabat Belanda yang khusus mengurusi perjalanan para putra Yogyakarta. Namun tiket pelayaran menuju Hindia Belanda hanya tersisa satu kursi. Diputuskanlah di antara kelima putra Sultan, sesuai permintaan, Dorojatun berangkat lebih dahulu. Perjalanan pulang yang memakan waktu berminggu-minggu pun dimulai.
Baca juga: Gelar Khalifatullah untuk Raja Yogya
“Terselip rasa kecewa sejenak karena ia merasa sebagai mahasiswa tingkat doktoral sebaiknya menyelesaikan studi sampai tuntas, lalu pulang membawa gelar yang diinginkan. Akan tetapi, dalam surat-surat dari rumah ia merasakan kecemasan keluarganya. Ia maklum, situasi memang gawat. Lagi pula ia mendengar kesehatan ayahanda akhir-akhir ini mundur keadaannya,” tulis Mohammad Roem, dkk.
Diceritakan Roem dalam Takhta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, pada tahun-tahun itu Sri Sultan memang telah merasakan firasat bahwa ajalnya semakin dekat. Penyakit diabetes yang menyerang Sultan berusia 59 tahun itu kian memburuk. Itulah kenapa ia meminta putra-putranya pulang segera. Terutama Dorojatun yang diharpkan selalu ada di sampingnya.
Pada 18 Oktober 1939, kapal yang mengangkut Dorojatun tiba di Tanjung Priok, Batavia. Begitu menginjakan kaki di dermaga ia langsung disambut oleh adik-adiknya, serta para kerabat. Kemudian mereka membawanya ke Hotel des Indes, tempat Sri Sultan menginap. Dalam suasana haru Dorojatun akhirnya bertemu sang ayah setelah sekian lama berpisah.
Baca juga: Makanan Kesukaan Sultan Yogyakarta
Keberadaan Sultan HB VIII di Batavia dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menjalin hubungan politik. Hampir setiap hari, selama tiga hari di Batavia, Sultan harus menghadiri perjamuan para pejabat Belanda. Dorojatun kerap menemaninya. Berbagai perjamuan itu membuat kondisi kesehatan HB VIII semakin memburuk.
Satu waktu, Sultan meminta para kerabat, termasuk Dorojatun, hadir di kamarnya. Di sanalah kemudian Sri Sultan menyerahkan keris pusaka “Kyahi Jaka Piturun” secara langsung kepada Dorojatun. Penyerahan keris tersebut diketahui merupakan tanda raja menginginkan si penerima sebagai putra mahkota. Kejadian itu pun memperjalas maksud Sultan HB VIII memanggil Dorojatun lebih cepat dibanding putra-putra lainnya.
“Dengan penyerahan keris tersebut pada saya waktu itu, menjadi jelaslah maksud ayah bagi saya dan saudara-saudara saya,” kata Sultan HB IX.
Baca juga: Kantor Sultan Yogyakarta Diserbu Belanda
Pada 21 Oktober 1939, keluarga Sultan kembali ke Yogyakarta. Para pejabat keraton diketahui telah menyiapkan upacara penyambutan megah bagi Dorojatun. Akan tetapi, belum lama kereta bertolak dari Stasiun Gambir, HB VIII jatuh pingsan. Penanganan darurat segera dilakukan di atas kereta. Sementara pengobatan dari dokter pribadi Sultan baru bisa dilakukan di Kroya. Setiba di Yogyakarta, Sultan langsung dibawa ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.
Berdasar cerita populer di masyarakat, kata Roem, ketika rombongan tiba di stasiun dan raja diturunkan dari kereta, petir besar menyambar langit kota. Padahal cuaca Yogya ketika itu sedang cerah, tidak terlihat awan sedikit pun. Kejadian itu dipercaya menjadi pertanda penting dari alam untuk keluarga Kesultanan Yogyakarta.
“Menyambarnya petir pada siang hari yang cerah ketika itu diartikan sebagai isyarat bakal wafatnya seorang pembesar. Bersamaan dengan ini, pengertian lain adalah sebagai tanda akan datangnya seorang putra mahkota yang diberikati dengan sifat-sifat kepribadian yang luhur,” kata Roem, dkk. “Apakah benar ada petir menyambar dan apakah gejala alam biasa itu memang merupakan pertanda bagi sesuatu yang bakal terjadi, sulit untuk diselidiki kebenarannya.”
Baca juga: Intrik Kuasa di Kesultanan Yogyakarta
Sementara itu, usaha para dokter menangani Sultan HB VIII tidak berjalan lancar. Sang Sultan tak pernah sadar dari komanya, dan keesokan harinya, 22 Oktober 1939, Sultan HB VIII dinyatakan wafat.
Sebagai calon penerus kuat takhta Yogyakarta, Dorojatun sadar pengetahuannya tentang pemerintahan di Yogya masih sangat terbatas, mengingat ia telah cukup lama berada di Belanda. Ia lalu mengumpulkan seluruh kerabat dari keluarga HB VII dan HB VIII. Dalam pertemua itu secara terbuka Dorojatun mempersilahkan jika di antara para kerabat ada yang mau memangku gelar Sultan Hamengkubuwono IX. Ia merasa keterbukaan akan membawa kebaikan bagi keraton.
“Ternyata dalam pertemuan itu segera didapat kata sepakat dan penegasan bahwa di antara mereka tak ada yang ingin menjadi Hamengku Buwono IX. Ini merupakan pernyataan yang spontan dari para paman, kakak, dan adik-adik Dorojatun, semua kompak mendukungnya,” tulis Roem, dkk.