Masuk Daftar
My Getplus

Makanan Kesukaan Sultan Yogyakarta

Makanan raja Jawa Kuno berbeda dengan raja Yogyakarta. Banyak makanan sultan yang jadi makanan rakyat. Sayangnya, kuliner keraton itu tidak tercatat.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 27 Sep 2020
Dendeng Age. (Repro buku Warisan Kuliner Keraton Yogyakarta karya Nuraida Joyokusumo).

Keluarga bangsawan Yogyakarta punya tradisi menyajikan makanan kesukaan raja-raja pada peringatan hari lahir atau wafatnya. Misalnya, sugengan haul dalem Sri Sultan Hamengkubuwono VII setiap malam Jumat Kliwon. Haul Hamengkubuwono VIII setiap bulan puasa tanggal 9 malam Minggu Kliwon. Haul Hamengkubuwono IX setiap malam Senin Wage 21 Sapar. Dan haul K.G.P.A.A Mangkubumi, adik kandung Hamengkubuwono VII, setiap malam Senin Kliwon 2 Jumadilakhir.

“Memperingati hari lahir atau wafat sesepuhnya melalui doa disertai kegiatan memasak dan menghidangkan masakan kesukaan para raja itu. Misalnya keturunan Hamengkubuwono VII akan menyajikan kersanan dalem HB VII, begitu juga keturunan raja lainnya,” kata Murdijati Gardjito, Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada dalam webinar “Budaya Rempah-rempah dalam Khazanah Kuliner di Daerah Istimewa Yogyakarta” yang diadakan BPCB DIY melalui kanal Youtube.

Baca juga: Kisah Rempah dan Kuliner Khas Yogyakarta

Advertising
Advertising

Kebiasaan itu membuat kuliner tradisional bangsawan di Yogyakarta dapat terjaga. “Jadi, mengapa budaya kuliner Yogya di lingkungan masyarakat keraton masih eksis, itu karena keturunannya memelihara apa yang disuka para leluhurnya,” kata Murdijati.

Murdijanti menambahkan, masakan kegemaran para sultan itu biasanya dibuat dari bahan berkualitas prima kalau tidak bermuatan filosofis. Ini berbeda dengan makanan raja pada era Jawa Kuno yang bisa dibilang aneh dan tak biasa bagi orang sekarang.

Hanya untuk Raja

Arkelog UGM Tjahjono Prasodjo menjelaskan, pada era Jawa Kuno dikenal istilah rajamangsa, artinya makanan yang khusus disediakan untuk raja. Berdasarkan data prasasti, rakyat bisa mencicipi masakan VIP itu jika mendapat anugerah berupa hak istimewa dari raja.

Tjahjono menyebut rajamangsa banyak jenisnya. Namanya aneh-aneh, seperti wdus gunting.

“Ada yang mengatakan ini seekor kambing yang belum keluar ekornya, ada yang bilang kambing yang sudah dikebiri. Ada juga asu tugel. Aneh-aneh namanya,” kata Tjahjono.

Baca juga: Santapan Aneh Raja Jawa Kuno

Dalam Prasasti Rukam (907 M), Prasasti Sarwwadharmma dari masa Singhasari (1269 M), dan Prasasti Gandhakuti (1043 M) disebutkan nama-nama rajamangsa, yakni badawang, wdus gunting, karung pulih, dan asu tugel.

Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Kresno Yulianto Sukardi, karung pulih adalah babi hutan aduan. Sedangkan menurut arkeolog dan dosen sejarah UNM, Dwi Cahyono, karung pulih adalah babi yang dikebiri.

“Ini yang membuat kita susah menerjemahkan istilah kuliner dari Jawa Kuno yang kita dapat dari data prasasti dan naskah,” kata Tjahjono.

Kuliner Asli dan Akulturasi

Yogyakarta memiliki kuliner asli dan hasil akulturasi dengan budaya lain, seperti pengaruh kuliner Belanda, Tionghoa, dan Timur Tengah.

“Bakpia Yogya yang terkenal, warung-warung sate gulai tongseng kambing, ini salah satu contoh pengaruh kuliner Tionghoa dan Timur Tengah,” kata Murdijati.

Kuliner hasil akulturasi juga nampak pada kuliner di lingkungan keraton. “Makin ke arah sekarang makin banyak pengaruh Eropa,” kata Murdijati.

Baca juga: Rabeg, Santapan Sang Raja

Murdijati menyontohkan makanan asli Jawa adalah dendeng age. Cara membuatnya daging berkualitas prima dicincang, ditata di atas jepitan dari bambu, lalu diguyur santan yang berbumbu bawang putih, bawang merah, ketumbar, dan daun salam.

“Ini berkali-kali dilakukan. Kemudian dipanggang, diturunkan, ditambah bumbu terus menerus sampai bumbunya sangat meresap,” kata Murdijati.

Makanan asli lain seperti blebet bebek, glendoh piyik, dan tolo tawon alias sarang lebah yang masih ada larvanya. Makanan ini bernilai tinggi untuk kesehatan.

“Coba lihat propolis dari lebah, satu tetes harganya berapa, tapi dulu disajikan sebagai makanan istimewa untuk raja,” kata Murdijati.

Baca juga: Makanan Sederhana Presiden Pertama

Menu utama kegemaran para raja adalah dhahar ijem, yakni nasi yang ditanak dengan ekstrak daun pandan; dan bethak ayam, yakni nasi yang ditanak dengan bawang merah, daun salam, dan ayam.

Untuk memenuhi makanan di lingkungan keraton, termasuk untuk sultan dan keluarganya, keraton Yogyakarta memiliki empat dapur (pawon) yang masih aktif hingga kini. Yaitu Pawon Gebulen dan Pawon Sekulanggen digunakan secara bergantian untuk menyediakan kebutuhan sesaji.

Pawon Ageng Prabeya menyediakan masakan khusus untuk raja atau disebut dhahar dalem. Makanan wajib untuk dhahar dalem adalah lodeh kluwih.

Baca juga: Inilah Makanan Orang Jawa Kuno

“Kenapa lodeh kluwih selalu dimasak dan disajikan. Masyarakat keraton punya filosofi sayuran itu dinamakan kluwih karena hanya pantas disajikan kepada poro linuwih atau yang punya kelebihan, yang linuwih ya sang raja,” kata Murdijati.

Menu ini selalu dihidangkan setiap hari bersama teh yang disajikan di dalam cangkir di atas baki berlapis emas. Upacara ini masih berjalan hingga hari ini setiap pukul 11.00.

Pawon Gedhong Patehan menyediakan minuman untuk raja setiap hari dan menyediakan teh bagi semua abdi dalem.

Makanan Sultan Jadi Makanan Rakyat

Beberapa kuliner keraton tak dikenal oleh masyarakat luar keraton, seperti dendeng age. Namun, banyak juga makanan yang akhirnya merembes keluar keraton.

Menurut Murdijati, 61 persen dari makanan yang tadinya hanya dimasak untuk raja juga beredar di masyarakat Yogyakarta. Salah satunya gudeg Yogyakarta, makanan favorit Hamengkubuwono IX.

“Ini hidangan luar keraton yang masuk keraton. Lalu brongkos, ini juga kesukaan HB IX,” ujar Murdijati.

Kemudian sayur lodeh yang memiliki riwayat legendaris. Berdasarkan catatan Murdijati, menu ini menjadi kersanan dalem Sultan Hamengkubuwono VIII. Di sisi lain, lodeh punya arti tolak bala.

“Kenapa? Karena sayur lodeh luwes. Secara ekonomis apa saja bisa dimasak jadi sayur lodeh. Berapa pun uangnya bisa jadi sayur lodeh,” jelas Murdijati.

Baca juga: Menjejaki Sejarah Kuliner Nusantara

Murdijati menyayangkan nihilnya catatan kuliner di lingkungan keraton. “Untungnya masih ada narasumber yaitu anggota keluarga keraton, antara lain keturunan Hamengkubuwono VI, VII, VIII, dan IX,” katanya.

Ketiadaan pencatatan tradisi kuliner ini juga terjadi pada masa Jawa Kuno. Menurut Tjahjono, dalam prasasti dan naskah kesusastraan kuno tak ada yang secara khusus menjelaskan soal kuliner maupun bumbu-bumbu masakan.

“Tak ada penjelasan seperti resep masakan misalnya,” kata Tjahjono.

Jika pun ada prasasti yang menyebut soal makanan, itu hanya data sampingan. Biasanya disebutkan pada bagian pesta dalam upacara Sima.

“Itu pun banyak istilah kuliner dan rempah yang belum diketahui pandangan dan artinya,” kata Tjahjono.

Baca juga: Mencicipi Masakan Kuno

Menurut pakar kuliner Indonesia, Bondan Winarno dalam kata pengantar buku Warisan Kuliner Keraton Yogyakarta karya menantu Sultan Hamengkubuwono IX, Nuraida Joyokusumo, sebenarnya masih banyak abdi dalem di Pawon Ageng Keraton yang punya resep masakannya. Namun, mereka tak mencatat. Kenyataan ini membuktikan bahwa selama ini seni boga tak pernah dianggap sebagai suatu yang serius.

“Keraton yang merupakan pusat budaya Jawa pun tidak memiliki catatan tentang seni boga,” kata Bondan.

Karenanya hanya sedikit resep kesukaan Hamengkubuwono VII dan VIII yang berhasil dicatat. “Hal yang sama juga terjadi di keraton-keraton Nusantara lainnya, yakni absennya catatan resep masakan keraton masa lalu,” kata Bondan.

TAG

kuliner yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT

Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Kehormatan Pertama Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Terites, dari Kotoran Hewan yang Pahit jadi Penganan Nikmat Pemilu di Wilayah Kesultanan Kontes Memasak Tempo Dulu Sejarah Panjang Mi Kuah Khas Jepang Mula Restoran All You Can Eat Popcorn dari Jalanan ke Bioskop Meriung di Warung Makan Tempo Dulu Kuliner Eropa yang Diadopsi di Nusantara