MUSLIH bin Risan hafal salah satu santapan favorit Presiden Sukarno. Apalagi kalau bukan sambal pecel. Ia hampir selalu ada di meja makan keluarga sang presiden. “Kalau enggak ada, pasti Bapak menanyakan,” ujar Muslih (70), bekas pelayan pribadi keluarga Sukarno, kepada Historia.
Sambal pecel selalu menemani santap siang Sukarno, biasanya disajikan bersama lele plus lalapan daun singkong dan pepaya. Sukarno akan mencomot langsung dari cobekan dan menyantapnya dengan tangan zonder sendok dan garpu.
“Kalau lagi makan pecel lele, Bapak seperti ‘tidak ingat sekitarnya’,” kata Muslih sambil terkekeh.
Setiap mudik ke Blitar, Sukarno tak mau melewatkan kesempatan menikmati pecel Blitar yang terkenal. Dia akan mencari Mbok Rah, penjual nasi pecel keliling, untuk melahap 2-3 pincuk pecel di pagi hari. Menurut Guruh Sukarno dalam Bung Karno & Kesayangannya, Sukarno jadi pelanggan Mbok Rah sejak 1950. “Wah kalau Bapak sedang menikmati, walaupun yang namanya Revolusi Indonesia berhenti, pasti Bapak tidak akan ambil pusing!” ujar Guntur.
Pulang ke Jakarta, bumbu pecel Mbok Rah dibawanya serta. Bumbu itu pula yang menemani Sukarno dalam lawatan ke mancanegara. Terutama jika tak satu pun makanan di suatu negara cocok di lidahnya. Misalnya di Mongolia di mana semua makanan selalu dicampur susu kuda. “Di sana setiap harinya bapak selalu makan roti dengan sambal pecel saja. Kadang-kadang juga dengan kecap,” ujar Guruh.
Kalau ke negara-negara Eropa atau Amerika, Sukarno biasanya minta disediakan salad segar tanpa sausnya kepada manajemen hotel tempat menginap atau kepala rumah tangga istana di sana. Sebagai pengganti sausnya, Sukarno mencairkan sambal pecel yang dibawanya. Jadilah Indonesia salad yang lezat dan siap disantap.
Setelah Mpok Pin, Sukarno keranjingan pecel Mbok Pin alias Rukiyem. Saat Mbok Pin datang, wajah Sukarno sumringah lantas berjongkok sembari menunjuk daun-daun yang digemarinya. “Saya sampai hafal berapa banyak harus memberi sambalnya dan daun apa saja yang menjadi kesukaa Bung Karno,” kata Mbok Pin kepada Anjar Any, penulis buku Menyingkap Tabir Bung Karno.
Sadar suaminya penggemar berat pecel, istri-istri Sukarno selalu membuat dan menyediakan bumbu pecel di rumah. Dalam Suka Duka Fatmawati Sukarno karya Kadjat Adra’i, Fatmawati mengatakan, “Belajarnya bisa dari siapa saja, misalnya dari bakul pecel ketika masih di Bengkulu.”
“Saya ingat kalau sepulang dari Istana menuju Kebayoran (rumah Fatmawati), pas di Pasar Tenabang, Pak Dalimin pasti disuruh turun oleh Ibu untuk membeli cabe rawit dan terasi buat bikin sambal pecel,” kenang Muslih, menyebut Dalimin Ronoatmodjo, salah satu anggota pengawal keluarga Presiden Sukarno.
Hartini juga belajar membuat sekaligus menikmatinya demi memenangi perhatian sang suami. “Walaupun sebenarnya Hartini kurang menyukai makanan itu,” ungkap Anjar Any.
Kalau sudah ketemu makanan kesukaannya, Sukarno dengan lahap menghabiskannya tanpa menoleh kanan-kiri. “Ia bersantap seperti dikejar setan,” ungkap Howard P. Jones, eks duta besar Amerika Serikat di Indonesia, dikutip Anjar Any.
Jones pernah menanyakan itu langsung kepada Sukarno dalam suatu kesempatan. Jawabnya: “Karena kebiasaan lama saat menjadi tahanan politik pemerintah Hindia Belanda di Penjara Sukamiskin, Bandung.”