Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Rempah dan Kuliner Khas Yogyakarta

Kuliner Indonesia bagian barat lebih banyak memakai rempah daripada wilayah timur. Kuliner Yogyakarta nomor dua terbanyak ragam rempahnya.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 26 Sep 2020
Brongkos, masakan dengan citarasa keluwak yang kuat. Di Yogyakarta, menu ini termasuk yang paling dicari setelah gudeg dan bakpia. (E. Dewi Ambarwati/Shutterstock).

Sebanyak 135 ragam rempah digunakan di seluruh Indonesia. Sejauh ini kuliner Aceh paling banyak menggunakan jenis rempah, yakni 129 macam. Disusul kuliner Yogyakarta yang memakai 119 macam rempah, dan Sumatra Utara yang memakai 96 ragam rempah.

“Yogyakarta daerah kuliner yang memiliki banyak ragam rempah. Karenanya Yogyakarta termasuk daerah kuliner yang hidangannya kaya rasa,” kata Murdijanti Gardjito, Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada dalam webinar “Budaya Rempah-rempah dalam Khazanah Kuliner di Daerah Istimewa Yogyakarta” yang diadakan BPCB DIY melalui kanal Youtube.

Yogyakarta mengenal bumbu khas yang sangat jarang dipakai di daerah lain, yakni tempe semangit dan pete rese. Tempe semangit, atau sering disebut tempe bosok, dan pete rese biasanya dipakai dalam masakan sayur lodeh. Adapun tempe semangit muncul dalam masakan sayur bobor yang biasa disajikan bersama sambel jenggot.

Advertising
Advertising

Baca juga: Berebut Rempah di Maluku

Bumbu terpenting dalam kuliner khas Yogyakarta adalah bawang putih, bawang merah, gula, daun salam, dan lengkuas. “Sehingga rasa kuliner Yogya itu gurih, legit, ada rasa gurih yang manis, ini kaitannya dengan cita rasa khas Yogya,” kata Murdijati.

Sementara itu, Indonesia Timur yang dikenal sebagai sumber rempah, kulinernya justru tak begitu mengenal banyak ragam rempah. NTT, Papua, dan Maluku menggunakan rempah lebih sedikit, yakni antara 31-61 ragam rempah saja.

“Ini sulit dipikirkan mengapa begitu,” kata Murdijati. “Apa mungkin karena Aceh berada di jalur rempah dari timur ke barat dan menjadi tempat persinggahan jadi lebih banyak rempah yang dikenal?”

Tak Cuma Makanan

Orang Yogyakarta tak hanya mengenal rempah sebagai penyedap masakan. Beberapa jenis minuman juga menggunakan bahan baku rempah-rempah. Jamu adalah minuman dari rempah yang terkenal. Kendati banyak pula penggunaan jamu yang tak diminum, tetapi dioles.

“Ini unggulan yang sulit ditandingi di dunia,” ujar Murdijati.

Jamu sangat erat dengan budaya masyarakat keraton dalam membangun kesehatan, kebugaran, dan kecantikan. “Mereka bahkan bikin peralatan khusus minum jamu dengan seremoni menarik,” jelas Murdijati.

Peralatan minum jamu disebut sumbul. Bentuknya seperti separuh batok kelapa yang diukir indah dan terbuat dari logam. “Ini untuk disuguhkan bagi putri keraton,” kata Murdijati.

Baca juga: Naskah-naskah tentang Jamu

Selain jamu, ada juga bir Jawa yang terbuat dari ekstrak serutan kayu secang berwarna merah muda. Jika ditetesi air perasan jeruk nipis, ia berubah cokelat. Selain sari jeruk nipis, minuman ini terdiri dari jahe, sereh, cengkeh, kayu manis, pala, merica, mesoyi, dan kemukus.

“Minuman yang ceritanya sangat penting, mengandung cerita bersejarah,” ujar Murdijati.

Ceritanya, pada akhir abad ke-19 dan era abad ke-20 bir masih diimpor dari Belanda menggunakan kapal laut. Pengirimannya membutuhkan waktu sebulan. Jadi, harganya mahal sekali.

Bir Jawa memiliki warna yang persis dengan warna bir Eropa. Bir ini selalu disajikan setiap keraton mengadakan pisowanan ageng yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah Belanda.

“Dampaknya apa? Orang Belanda mengira keraton Jogja kaya sekali, jadi masih bisa memberi bir pada semua yang ada di pisowanan agung,” jelas Murdijati.

Baca juga: Minuman Beralkohol Khas Nusantara

Padahal, kata Murdijati, bir yang sebenarnya hanya disuguhkan bagi raja, tamu, dan para pangeran. Sedangkan para abdi dalem kebagian bir Jawa.

“Abdi dalem yang ditanya oleh salah seorang tamu: ‘kamu tadi minum apa?’ akan menjawab: ‘bir Jawi’,” kata Murdijati. “Tapi ‘Jawi’-nya diucapkan dengan pelan. Ini cerita nenek saya yang masih mengalami masa itu.”

Secara umum, budaya rempah di Yogyakarta terbukti dari masyarakatnya yang memiliki wadah rempah atau bothekan, berupa almari atau laci-laci berisi puluhan rempah untuk keperluan sehari-hari.

“Masyarakat awam juga punya, tapi di kalangan bangsawan mereka sangat mengenal apa yang disebut bothekan,” jelas Murdijati.

Tak Tercatat

Kendati rempah-rempah begitu melekat dengan orang Jawa, khususnya orang Yogyakarta, tetapi tak banyak ditemukan catatan mengenai tradisi rempah dan kuliner.

Bahkan, kata arkeolog Universitas Gadjah Mada, Tjahjono Prasodjo, dalam prasasti dan naskah kesusasteraan kuno pun tak ada yang secara khusus menjelaskan soal kuliner maupun bumbu-bumbu masakan dari rempah.

“Tak ada penjelasan seperti resep masakan misalnya,” kata Tjahjono.

Jika pun ada prasasti yang menyebut soal makanan, itu hanya data sampingan. Biasanya disebutkan pada bagian pesta dalam upacara Sima. “Itu pun banyak istilah kuliner dan rempah yang belum diketahui artinya,” jelas Tjahjono.

Baca juga: Mencicipi Masakan Kuno

Khususnya rempah-rempah, kata Tjahjono, lebih banyak ditemukan di dalam naskah kesusasteraan. Misalnya, istilah trikatuka atau tiga rempah utama, yakni lada hitam, cabe Jawa, dan jahe. Ini agaknya mendapat pengaruh dari India. Tiga rempah ini sering digunakan. Semua rasanya pedas. Sering dipakai untuk pengobatan.

Naskah juga menyebutkan pemakaian ketumbar. Disebut dengan istilah tumbara. “Mungkin ketumbar maksudnya,” kata Tjahjono.

Murdijati pun menyayangkan nihilnya catatan kuliner tradisional di lingkungan keraton. Untungnya di kalangan keraton, tradisi kuliner Yogyakarta masih terjaga.

“Untungnya masih ada narasumber yaitu anggota keluarga keraton, antara lain keturunan Hamengkubuwono VI, VII, VIII, dan IX,” kata Murdijati.

Dari mereka diketahui bahwa keluarga bangsawan Yogyakarta memiliki kebiasaan unik. Mereka masih menyediakan makanan kesukaan raja-raja terdahulu setiap peringatan haulnya. Misalnya, keturunan Hamengkubuwono VII akan menyajikan kersanan dalem Hamengkubuwono VII, begitu juga keturunan raja lainnya.

“Jadi mengapa budaya kuliner Yogya di lingkungan masyarakat keraton masih eksis, itu karena keturunannya memelihara apa yang disuka para leluhurnya,” kata Murdijati.

Baca juga: Inilah Makanan Orang Jawa Kuno

Bagaimana rempah-rempah yang tak berasal dari wilayah Jawa bisa melekat dengan orang Yogyakarta?

“Tentu ini intrepretasi lagi,” jawab Tjahjono. Namun, yang jelas, pada masa Jawa Kuno pun perdagangan antarwilayah sudah ramai. Pun pelabuhan di pantai utara Jawa. Pada periode kekuasaan kerajaan di Jawa Timur, pelabuhan Jawa menjadi tempat transit.

“Rempah didatangkan dari Indonesia Timur, transit di sana, lalu diperdagangkan ke wilayah barat,” kata Tjahjono. “Dari India dan Tiongkok produk mewah itu datang ke pelabuhan Jawa, disebarkan ke seluruh Nusantara atau mungkin di Jawa sendiri.”

Karenanya, menurut Tjahjono, tak heran kalau di Yogyakarta, atau bahkan Aceh, ditemukan beragam jenis rempah-rempah dari berbagai tempat. “Itu karena ada perdagangan,” jelasnya. “Kalau komoditas yang dari Jawa sendiri adalah beras dan lada, ini perdagangan utama dari Jawa pada periode Jawa Timur.”

TAG

kuliner yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT

Aroma Pemberontakan di Balik Hidangan Pasta Asal-Usul Malioboro Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Kehormatan Pertama Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Terites, dari Kotoran Hewan yang Pahit jadi Penganan Nikmat Pemilu di Wilayah Kesultanan Kontes Memasak Tempo Dulu Sejarah Panjang Mi Kuah Khas Jepang Mula Restoran All You Can Eat Popcorn dari Jalanan ke Bioskop