Masuk Daftar
My Getplus

Santapan Aneh Para Raja

Makanan tak biasa ini hanya boleh disantap oleh raja dan orang yang menerima anugerah.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 08 Feb 2019
Relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur menunjukkan orang-orang yang tengah memasak kura-kura.

Pada masa lalu di Jawa, tak semua orang bisa makan daging. Rakyat dan kalangan kerajaan memiliki perbedaan tingkat konsumsi daging. Sementara raja memiliki hak istimewa dalam menyantap daging bahkan makanan yang tidak biasa, seperti kambing yang belum keluar ekornya, penyu badawang, babi liar pulih, babi liar matinggantungan, dan anjing yang dikebiri.

“Kadang kalau orang sekarang mikir itu makanan menggelikan. Tapi itu dulu dimakan. Misalnya asu buntungan, anjing yang tak punya buntut. Lalu cacing. Itu dibuat masakan,” kata Lien Dwiari Ratnawati, peminat kuliner, arkeolog, dan kepala Subdirektorat Warisan Budaya Tak Benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Baca juga: Inilah makanan orang Jawa Kuno

Advertising
Advertising

Dalam berbagai sumber teks kuno, makanan tak biasa bagi raja disebut rajamangsa.

Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, menjelaskan sebutan rajamangsa terdiri atas dua kata, yaitu raja dan mangsa. Kata raja mendapat serapan dari bahasa Sanskreta, rajya. Secara harfiah berarti raja, yang bekuasa, pemimpin. Adapun mangsa atau mansa juga dari bahasa Sanskreta, artinya daging, mangsa, makanan, pemakan daging, menghabiskan, melahap.

Rajamangsa secara harfiah berarti makanan raja, makanan yang khusus disediakan untuk raja,” kata Dwi.

Rajamangsa diperuntukkan bagi penguasa tertinggi kerajaan, baik di kerajaan pusat (maharaja) maupun di kerajaan bawahan (raja). 

Selain dalam kitab Purwadigama dan Siwasasana, kata rajamangsa juga ditemukan dalam prasasti. Transkripsi prasasti milik H. Kern (VG VII.32f dan VIIIa), ahli epigrafi Belanda, menyebut wangang amangana salwir ning rajamangsa, badawang baning, wedus gunting, asu tugel, karung pulih

Wedus gunting artinya kambing yang belum keluar ekornya; baning itu penyu, kura-kura; karung itu babi hutan, diberi sebutan karung pulih, kata pulih bisa jadi menunjuk pada babi dikebiri,” kata Dwi.

Baca juga: Alkisah celeng, celengan dan babi ngepet dari zaman Majapahit

Dalam transkripsi prasasti milik epigraf lainnya, A.B. Cohen Stuart, dengan kode CSt 7 disebutkan karung mati ring gantungan. Kemudian pada kumpulan transkripsi prasasti milik J.L. Brandes terdapat sebutan lain asu ser.

Karung mati ring gantungan, kata Dwi, mungkin menunjuk pada babi yang ditangkap mati dalam jerat. Asu tugel artinya anjing yang dikebiri atau dengan sebutan asu ser. Kata ser mungkin artinya sama dengan sor, yang berarti dikebiri, yang ditandai dengan memotong ekornya (asu buntung).

Dalam Prasasti Rukam (907 M), Prasasti Sarwwadharmma dari masa Singhasari (1269 M), dan Prasasti Gandhakuti (1043 M), juga disebut makanan yang hanya boleh disantap oleh raja: badawang, wedus gunting, karung pulih, asu tugel.

Baca juga: Menjejaki sejarah kuliner Nusantara

Arkeolog Universitas Indonesia, Kresno Yulianto Sukardi, dalam makalahnya, “Sumber Daya Pangan Pada Masyarakat Jawa Kuno: Data Arkeologi-Sejarah Abad IX-X Masehi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, menerjemahkan wedus gunting sebagai kambing muda yang belum keluar ekornya. Sedangkan karung pulih adalah babi hutan aduan.

Kendati rajamangsa dikhususkan untuk raja, dalam beberapa kesempatan orang di luar lingkungan istana juga bisa mencicipi santapan itu. Mereka adalah penerima anugerah (waranugraha) dalam upacara sima.

Arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa menulis, hak mengonsumsi makanan itu umumnya dijumpai pada prasasti yang memuat pemberian hak istimewa yang dikeluarkan sejak masa Mpu Sindok hingga masa Majapahit.

“Anugerah berupa hak istimewa, dia dan keluarganya diperkenankan untuk menyantap menu khusus raja itu,” kata Dwi.

TAG

Kuliner

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Keriuk Keripik Kentang Dari Manggulai hingga Marandang Ranah Rantau Rumah Makan Padang Peristiwa PRRI Membuat Rumah Makan Padang Ada di Mana-mana Diaspora Resep Naga Wisata Kuliner di Tengah Perang Pilih Cabai atau Lada? Aroma Pemberontakan di Balik Hidangan Pasta Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Terites, dari Kotoran Hewan yang Pahit jadi Penganan Nikmat