Masuk Daftar
My Getplus

Intrik Kuasa di Kesultanan Yogyakarta

Bantuan Inggris, Belanda dan seorang Tionghoa mempermudah jalan Sultan Hamengkubuwono III merebut singasana Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dari sang ayah.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 24 Jun 2020
Sultan Hamengkubuwono III (Wikimedia Commons)

Selama dekade pertama abad ke-19, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat terus mendapat gangguan dari Belanda. Mereka selalu berusaha menancapkan pengaruhnya di lingkungan keraton, tetapi selalu ditentang oleh Sultan Hamengkubuwono II. Dia secara tegas menolak upaya Gubernur Jenderal H.W. Daendels menempatkan seorang regent di wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Tindakan lain HB II yang bertentangan dengan keinginan Belanda adalah pergantian wakil istana dari Patih Danuredja II yang dianggap pro-Belanda kepada Notodiningrat, keponakan HB II. Menurut Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik, pergantian itu dikhawatirkan akan mengancam posisi Belanda di Yogyakarta.

Sikap HB II itu membuat Daendels marah. Dia lalu mengeluarkan perintah penyerbuan ke wilayah Yogyakarta. Begitu keraton dikuasai, sang gubernur jenderal menurunkan HB II dari takhtanya. Diceritakan Joko Darmawan dalam Mengenal Budaya Nasional Trah Raja-Raja Mataram di Tanah Jawa, demi mengisi kekosongan tersebut dipilihlah putra HB II, Raden Mas Surjo, pada Desember 1810 sebagai regent yang memimpin rakyat Yogyakarta. Dia mendapat gelar Sultan Raja.

Advertising
Advertising

Baca juga: Sebuah Usaha Mengenal Sultan Hamengku Buwono IX

 

Daendels menilai Raden Mas Surjo dapat berkompromi dengan pihaknya. Dia juga sepakat untuk tidak mengusik aktivitas pemerintah Hindia Belanda di Yogyakarta. Namun belum genap setahun memangku jabatan, Sultan Raja harus rela menyerahkan kembali takhta keraton kepada ayahnya, Sultan HB II.

Kembalinya jabatan sultan ke HB II itu merupakan buntut dari perjanjian antara Prancis dengan Inggris. Keduanya menyepakati penyerahan seluruh wilayah Nusantara dari Belanda ke tangan Inggris. Situasi perang di Eropa menjadi penyebab terbesar perpindahan kekuasaan tersebut. Gubernur Jenderal Inggris di India Sir Gilbert Eliot Murray lalu menunjuk Thomas Stanford Raffles sebagai Gubernur Jenderal. Raffles segera mengamankan seluruh wilayah bekas jajahan Belanda dan menancapkan pengaruh Inggris di dalamnya. Hal itu terlihat juga di Ngayogyakarta Hadiningrat. Setiba di Jawa Raffles langsung menurunkan HB III yang dianggap berpihak kepada Belanda.

“Kendatipun demikian HB II diharuskan untuk menaati aturan-aturan yang dibuat pemerintah Inggris,” tulis Darmawan.

Menggalang Bantuan

Raden Mas Surjo yang kehilangan jabatannya kembali menjadi putra mahkota. Tetapi diam-diam dirinya mulai menggalang kekuatan untuk kembali bertakhta. Rupanya di dalam keraton sendiri banyak pejabat yang lebih senang berada di bawah perintah Mas Surjo ketimbang HB II. Dukungan juga tidak hanya datang dari elit keraton, tetapi para pemangku birokrasi di seluruh Yogyakarta. Salah satunya seorang Kapiten Tionghoa bernama Tan Jin Sing.

Sebagai seorang kapiten, Tan Jin Sing memiliki koneksi yang cukup baik dengan pihak kolonial maupun bangsawan Jawa. Dia mengetahui intrik yang terjadi di dalam istana dan memutuskan mendukung Raden Mas Surjo mendapatkan kembali takhtanya. Dia pun memanfaatkan kedekatannya dengan pemerintah Inggris untuk membantu sang putra mahkota.

Baca juga: Tan Jin Sing, Sang Bupati Yogyakarta

 

“Pangeran Surjo yang sedang dalam keadaan terjepit, karena ayahnya telah melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang setia kepadanya, sudah tentu menyambut dengan gembira tawaran Babah Djim Sing ini,” tulis Setiono.

Kapiten Jin Sing melakukan usaha pendekatan terhadap Residen Yogyakarta John Crawfurd. Dia mencoba mendapat dukungan dari Raffles melalui sang residen. Menurut sejarawan Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825, Jin Sing sering mengadakan pertemuan rahasia dengan Crawfurd terkait dukungan terhadap Raden Mas Surjo tersebut.

“Sebagai seorang teman, penerjemah, serta pembantu Putra Mahkota, ia juga bertindak sebagai salah seorang utusan rahasia Putra Mahkota dalam berbagai perundingan dengan Inggris,” tulis Carey.

Hasilnya, disepakati sebuah perjanjian rahasia pada 12 Juni 1812, yang memberikan jaminan dari Inggris untuk Raden Surjo mengambil alih takhta kesultanan Yogyakarta. Maka pada 17 Juni 1812 tentara Inggris pimpinan Kolonel Gillespie dan Kapten Travers masuk ke Yogyakarta. Mereka melakukan pengepungan di kediaman Sultan HB II.

Baca juga: Kantor Sultan Yogyakarta Diserbu Belanda

Selama penyerbuan berlangsung, Tan Jin Sing memainkan peranan penting dengan memberikan informasi kepada pasukan Inggris. Dia juga menjamin perbekalan makanan serta keperluan perang untuk para penyerbu tersebut. Bahkan atas kuasanya, para bawahan dan orang-orang yang setia kepada Pangeran Surjo diberi perlindungan di daerah pemukiman Tionghoa.

Pada 20 Juni 1812 keraton berhasil diduduki dan HB II bersedia menyerahkan takhtanya. Raden Mas Surjo kemudian didaulat menjadi pemimpin baru Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono III. Oleh Inggris, HB II dibuang ke Penang dan akhirnya oleh Belanda dipindahkan ke Ambon, Maluku.

“Sebagai imbalan atas pelayanannya, Sultan Ketiga yang baru diangkat itu –kemungkinan berada di bawah tekanan Inggris– mengangkat Tan Jin Sing sebagai bupati dengan gelar Raden Tumenggung Secodiningrat dan mendapat apanase sebanyak 1000 cacah (kepala keluarga),” tulis Carey.

Keserakahan Inggris

Harga yang harus dibayar HB III untuk memperoleh singgasana Yogyakarta rupanya tidaklah murah. Melalui perjanjian pada 1 Agustus 1812 Inggris menuntut banyak hal kepada HB III atas wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Di bidang ekonomi, HB III harus melepaskan hak atas penarikan pajak tol dari pelabuhan-pelabuhan, baik laut maupun sungai, serta pusat-pusat perdagangan. Sebagai gantinya, sultan akan memperoleh bayaran dari pemerintah Inggris setiap tahunnya.

Di bidang lain, Inggris menuntut agar HB II melepas hak atas tanah-tanah di Kedu, Pacitan, Jipang, dan Grobogan. Inggris berencana mengelola pemerintahan di wilayah-wilayah tersebut. Kemudian di bidang militer, para pejabat istana tidak diperkenankan memiliki tentara pribadi kecuali dengan izin pemerintah Inggris.

Baca juga: Kekejaman Inggris di Jawa

 

Pemerintah Inggris juga menegaskan bahwa HB III hanya berkuasa atas orang-orang Jawa saja, sementara orang-orang asing yang tinggal di Yogyakarta berada di bawah penguasaan Inggris. Sebagai bagian dari usaha penguasaan seluruh wilayah pulau Jawa, Inggris meminta agar sultan mengakui kedudukan tersebut. Selanjutnya, Kesultanan Yogyakarta dilarang melakukan hubungan diplomatik dengan kerajaan dan negara lain, baik di pulau Jawa ataupun di luar Jawa.

“Demikianlah antara lain isi perjanjian yang pada hakekatnya telah mengebiri kedaulatan Kesultanan Yogyakarta sebagai sebuah negara,” tulis Setiono.

Namun ternyata Sultan HB III hanya memerintah selama dua tahun saja. Dia secara tiba-tiba meninggal dunia pada 3 November 1814 dalam usia 43 tahun. Putranya, Pangeran Ibnu Jarot yang masih berusia 10 tahun ditunjuk menggantikan posisi ayahnya. Dia mendapat gelar Sultan Hamengkubuwono IV. Oleh Raffles, Paku Alam I ditunjuk sebagai wali raja muda ini.

TAG

kesultanan yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT

Memburu Kapal Hantu Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto Paris Palsu di Masa Perang Dunia I Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Presiden Bayangan Amerika Serikat Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Park Chung Hee, Guru Gagal Jadi Diktator Korea Selatan Menggerakkan Ideologi Kebangsaan dari Bandung Keponakan Hitler Melawan Jerman