Masuk Daftar
My Getplus

Tan Jin Sing, Sang Bupati Yogyakarta

Dia merupakan orang Tionghoa yang dipercaya Sultan Hamengkubuwono III. Diamanahi untuk memangku jabatan bupati di wilayah Yogyakarta.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 23 Jun 2020
Rumah Tan Jin Sing di Yogyakarta. (Aspertina/Instagram)

Permulaan abad ke-19 perpecahan terjadi di Kesultanan Yogyakarta. Perselisihan antara Sri Sultan Hamengkubuwono II dengan pemerintah kolonial Inggris di bawah perintah Thomas Stanford Raffles berakhir dengan diturunkan sang sultan dari takhtanya. Raffles lalu mengangkat putra Hamengkubuwono II, Raden Mas Surjo, sebagai raja baru dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono III.

Selama bertakhta (1810-1814), Sultan Hamengkubuwono III dianggap sebagai raja boneka. Dia banyak mengeluarkan kebijakan yang diyakini hanya menguntungkan kaum penjajah, terutama soal tingginya pungutan pajak dan keleluasaan orang Eropa di dalam kota. Namun di antara semua kebijakan, ada satu yang menjadi pemicu kemarahan rakyat, yakni pengangkatan kapiten Tionghoa Tan Jin Sing sebagai bupati Yogyakarta. Mengingat saat itu persaingan antara rakyat (baca: etnis Jawa) dengan orang-orang Tionghoa begitu besar di berbagai bidang. Ditambah jabatan bupati, banyak diminati bangsawan Jawa.

Baca juga: Asal Usul Gelar Khalifatullah di Kesultanan Yogyakarta

Advertising
Advertising

“… Terdapat karier yang termasuk luar biasa dari seorang laki-laki yang memainkan peran sangat menentukan dan membantu menguatkan perasaan saling mencurigai dan tidak menenangkan antara kedua komunitas,” tulis Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi Tentang Cina (1755-1825).

Siapakah Tan Jin Sing?

Suksesor Sultan

Diceritakan Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik, Tan Jin Sing lahir pada 1760 dari keluarga berbeda etnis. Ibunya, R.A. Patrawijaya, berasal dari keturunan Sunan Mataram Mangkurat Agung. Sementara ayahnya adalah seorang Tionghoa yang meninggal enam bulan sebelum kelahiran Tan Jin Sing.

Namun sumber lain, T.S. Werdaya dalam Tan Jin Sing: Dari Kapitan Tionghoa Sampai Bupati Yogyakarta, menyebut bahwa Tan Jin Sing bukan dari keluarga beda etnis, melainkan keluarga priyayi Jawa. Ayahnya adalah Demang Kalibeber, dan ibunya R.A. Patrawijaya. Werdaya sendiri merupakan keturunan Tan Jin Sing yang membentuk trah Secodiningrat.

Meski ada perbedaan dalam penyebutan asal-usul keluarga, kedua sumber sama-sama sepakat soal ayah angkat Tan Jin Sing bernama Oei Tek Liong. Olehnya Jin Sing diasuh dan dididik secara adat istiadat Tionghoa. Dia juga diajari bahasa kromo inggil dan tata cara budaya Jawa. Ketika Jin Sing berusia 10 tahun, Tek Liong menikah dengan Liam Lian Nio Jin Sing. Keluarga itu kemudian menetap di Magelang. Jin Sing diajarkan bahasa Belanda dan Inggris, serta budaya Eropa.

Baca juga: Duka Warga Tionghoa

“Demikianlah Jin Sing tumbuh menjadi seorang pemuda yang cakap dan pandai. Orang-orang Eropa yang hidup pada zaman itu menggambarkan Tan Jin Sing sebagai ‘seorang laki-laki yang benar-benar cerdas dan terampil’. Ia mampu memadukan ‘ketajaman seorang Tionghoa’ dengan pengetahuan lokal dan ‘kecerdikan orang Jawa’,” tulis Carey.

Jin Sing lalu tinggal di Yogyakarta dan menikahi putri seorang kapiten Tionghoa bernama U Li. Pada 1803, dia menggantikan posisi mertuanya sebagai kapiten Tionghoa. Sebagaimana para pendahulunya, Jin Sing memegang peran menyewakan gerbang-gerbang tol di wilayah kesultanan untuk keperluan perdagangan. Dengan jabatannya itu, dia dapat mengembangkan kegiatan dagang milik pribadinya.

Namun bukan itu keresahan utama para elit Jawa atas posisi Jin Sing. Sebagai kapiten Tionghoa, dia memiliki koneksi yang baik dengan pemerintah kolonial. Jin Sing bisa menjadi penghubung para bangsawan yang ingin bernegosiasi dengan pihak kolonial. Dan salah satu elit Jawa yang dekat dengan Jin Sing adalah putra mahkota Kesultanan Yogyakarta, Raden Mas Surjo.

Menurut Peter Carey, Jin Sin dan Raden Mas Surjo berteman baik. Dia bertekad membantu Mas Surjo mengambil kembali tahta dari HB II. Kapiten Tionghoa ini lalu menerima titah sebagai utusan rahasia sang putra mahkota dalam berbagai perundingan dengan Inggris pada 1812. Perundingan tersebut memunculkan perjanjian antara Inggris dan Raden Mas Surjo. Pihak Inggris sepakat memberi jaminan untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan HB II ke Rade Mas Surjo. Pihak Inggris lalu melakukan penyerbuan ke kraton pada Juni 1812 dan menggulingkan takhta sultan. Raden Mas Surjo pun dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono III.

Baca juga: Catatan Pertama Kedatangan Orang Tionghoa ke Nusantara

Sebagai imbalan atas perannya, sultan mengangkat Tan Jin Sing sebagai bupati Yogyakarta dengan gelar Raden Tumenggung Secodiningrat. Di dalam buku Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia karya Budi Susanto (ed), disebutkan bahwa Jin Sing diberi sebuah wilayah berpenduduk 1.000 kepala keluarga di bekas perkebunan merica dan nila milik VOC di Lowanu, sebelah timur Bagelen. Bekas kapiten Tionghoa itu juga diketahui menjadi seorang Muslim. Dia mengucap dua kalimat syhadat dan disunat sebagai bentuk pengakuan diri telah memeluk Islam.

“Sayangnya, persoalannya tidak berhenti di situ saja. Perihal kehadiran seorang Tionghoa dalam jabatan tinggi birokrasi orang Jawa, walaupun hal itu lazim ditemukan di Jawa Timur dan di pantai utara, tetapi hal itu tidak ada sejarahnya di Yogyakarta. Oleh sebab itu, pengangkatan Tan Jin Sing/Secodiningrat itu membangkutkan kemarahan beberapa kelompok,” tulis Carey.

Akhir Hidup yang Tragis

Cina wurung, Londo durung, Jawa tanggung” (bukan lagi Tionghoa, belum lagi menjadi orang Belanda, dan Jawa pun masih tanggung). Ungkapan tersebut begitu populer di antara rakyat Yogyakarta pada awal abad ke-19 untuk menggambarkan sosok Tan Jin Sing yang terkatung-katung di antara tiga dunia (Tionghoa, Eropa, dan Jawa).

Kelompok elit Jawa yang paling vokal dalam menentang jabatan Jin Sing adalah Pangeran Notokusumo (Paku Alam I), saudara kandung HB II. Kegagalan menduduki takhta Kesultanan Yogyakarta membuat Notokusumo menyimpan dendam kepada bupati Yogyakarta ini. Bahkan menurut beberapa laporan pada Oktober 1812, Notokusumo berencana menghilangkan tanah pemukiman orang-orang Tionghoa dan membunuh Tan Jin Sing. Ancaman itu tentu membuat Jin Sing hidup dalam ketakutan.

Ketakutan akan ancaman pembunuhan itu semakin hebat ketika pelindungnya (HB III), meninggal pada 3 November 1814. Jis Sing kehilangan koneksi utama di dalam Kesultanan Yogyakarta. Meski begitu dia tetap melanjutkan tugasnya sebagai bupati Yogyakarta. Menurut Peter Carey, Jis Sing sebenarnya tidak benar-benar kehilangan kedudukan di dalam birokrasi istana. Dia masih menjadi penghubung antara keraton dengan pihak kolonial selama HB IV bertakhta. Sebagian pejabat istana pun, khususnya istri HB III, masih senang kepadanya.

Baca juga: Menteri Tionghoa di Kabinet Republik Indonesia.

“Meskipun demikian, hubungannya dengan orang di istana tetap saja renggang. Ia dinilai bersikap angkuh dan congkak oleh para pejabat istana sebab mendapat perlakuan khusus dan istimewa; suatu hal yang sesungguhnya tidak berhak untuk ia dapatkan menurut ketentuan adat istana,” tulis Carey.

Bupati Yogyakarta itu sudah tidak mendapat tempat di antara bangsawan Jawa. Seorang pejabat tinggi Belanda Wouter Hendrik van Ijsseldijk mendapati kecemburuan mereka itu telah menghancurkan karir Jin Sing. Banyak pejabat istana yang menyatakan perasaan tidak senang secara terang-terangan atas kedudukan Jin Sing. Bahkan tidak hanya oleh para elit Jawa, mantan kapiten Tionghoa itu juga begitu dibenci oleh kelompok-kelompok masyarakat Tionghoa di Semarang dan Surakarta akibat kedudukannya di Yogyakarta.

Penolakan itu membuat Jin Sing mengusahakan permohonan gelijkgestelde (disamakan) dengan kelompok Eropa. Nantinya dia tidak lagi ada di golongan Tionghoa maupun bumiputra, tetapi Eropa. Berdasarkan keputusan gubernur jenderal hal itu bisa saja dilakukan, sudah banyak kelompok elit bumiputra yang melakukannya. Namun tidak mudah memperolehnya, dan Jin Sing mendapat penolakan atas kedudukan tersebut.

“Demikianlah, Tan Jin Sing alias Secodiningrat terpaksa harus menghabiskan sisa hari tuanya di dalam suatu kehidupan kultural yang aneh, tidak menyenangkan, dan terasing. Ia dengan penuh kehinaan ditolak oleh orang senegerinya; akibat penolakannya terhadap adat Tionghoa. Ia pun dicurigai begitu rupa oleh kebanyakan orang Jawa dari kalangan atas sebagai orang kaya baru yang penuh ambisi, serta membuat dirinya sendiri digunakan oleh orang Eropa yang membutuhkan jasanya sebagai informan politik,” ungkap Carey.

TAG

tionghoa yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT

Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Filantropi Tjong A Fie Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Kado Manis dari Tionghoa untuk Tenis Indonesia Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Diaspora Resep Naga