Masuk Daftar
My Getplus

Krisis Ekonomi Masa Sukarno

Saat rakyat terhantam krisis ekonomi. Menjual perhiasan, pakaian, sampai peralatan makan demi mendapatkan bahan pangan.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 09 Apr 2020
Uang rupiah bergambar Sukarno pada masa krisis 1960-an. (Wikimedia Commons).

Krisis ekonomi beberapa kali mewarnai sejarah Indonesia. Penyebabnya beragam: bisa karena pengaruh perubahan dunia luar atau lantaran dinamika politik dalam negeri. Untuk penyebab kedua, Indonesia mengalaminya pada dekade 1960-an. Banyak orang terkapar menyusul krisis itu. Tapi segelintir kecil lainnya justru makmur.

Firman Lubis, penulis buku Jakarta 1960-an, pernah menjadi saksi masa-masa krisis ekonomi awal dekade 1960-an di Jakarta. Saat itu, dia masih mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

“Harga-harga kebutuhan hidup terus merayap naik. Inflasi meningkat tajam, bahkan hingga beberapa ratus persen. Berbagai bahan kebutuhan pokok masyarakat semakin sulit didapat,” kenang Firman.

Advertising
Advertising

Firman ingat nilai uang terus merosot, sedangkan harga barang meroket. Dia menjelaskan harga bakmi pada 1962 masih Rp5 per mangkuk. Sangat murah bila itu dibandingkan dengan uang beasiswanya yang mencapai Rp850 sebulan.

Tapi pada akhir 1965, uang beasiswa itu tak berarti apa-apa lagi baginya. Jumlahnya memang naik menjadi Rp3.500 sebulan, tapi harga bakmi sudah sampai Rp1.500 per mangkuk.

Sebab-sebab Krisis

Krisis ekonomi dekade 1960-an bermula dari kebijakan menempatkan ekonomi di bawah strategi politik umum sejak akhir 1950-an. Di bawah kuasa Sukarno, politik adalah panglima.  

“Tujuan-tujuan ekonomi, sering kali dicampuradukan dengan tujuan-tujuan politik kebudayaan,” catat Thee Kian Wie dalam “Krisis Ekonomi di Indonesia Pada Pertengahan 1960-an dan Akhir 1990-an Suatu Perbandingan”, termuat di Dari Krisis ke Krisis.

Baca juga: Bertahan Menghadapi Resesi Ekonomi

Sukarno menekankan pentingnya perencanaan terpusat, kendali ketat terhadap perdagangan luar negeri, dan pembatasan modal asing untuk mencapai kemerdekaan ekonomi sepenuhnya. Semua termaktub dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (1961—1968). Tapi rencana ini tak imbang dengan kemampuan pemerintah.

“Ambisius dan tidak realistis,” jelas Thee Kian Wie.

Untuk mencapai target dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun, pemerintah mengubah posisi Bank Indonesia. Dari bebas membuat kebijakan sendiri tanpa campur tangan pemerintah menjadi berada di bawah pemerintah.

Sebagai alat pemerintah, Bank Indonesia mencetak uang sebanyak-banyaknya. Uang itu digunakan sebagai biaya pembangunan Proyek Mercusuar, agitasi dan propaganda terhadap Malaysia, nasionalisasi perusahaan asing, dan pembelian peralatan tempur.  

Akibatnya peredaran uang di masyarakat meningkat pesat dan nilainya kian hari kian jongkok. Sebaliknya, harga barang justru naik. Keadaan ini disebut inflasi.

Kurs rupiah terhadap dolar AS pun turut menguat. Pada masa ini Indonesia menggunakan sistem kurs tetap. Artinya, pemerintah memegang peranan besar dalam menentukan nilai tukar rupiah.

Baca juga: Sejarah Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS

Pelaku pasar barang ekspor menganggap nilai tukar rupiah terlalu tinggi. Tak lagi sesuai dengan keadaan di lapangan. Buntutnya harga ekspor ikut naik dan menyebabkan barang ekspor Indonesia kalah bersaing di pasaran internasional. Pelaku usaha bidang perkebunan menjerit. Sebab sektor ini menjadi salah satu komoditas ekspor andalan. Devisa negara pun turut ambyar.

Beban utang luar negeri dan kebutuhan belanja impor pemerintah menambah parah kondisi perekonomian. Jumlah utang mencapai 530 juta dolar AS pada 1965, sedangkan nilai impor menyentuh 560 juta dolar AS. Padahal pendapatan dari ekspor hanya 450 juta dolar AS. Dengan demikian, keuangan Indonesia benar-benar defisit.

Indonesia tak mampu bayar utang dan mencukupi pembangunan di dalam negeri. Untuk mencegah defisit makin lebar, pemerintah menghentikan impor beras. Sebagai gantinya, pemerintah melancarkan program swasembada beras. Tapi kampanye tersebut kandas. Sebab alam tidak berpihak pada Indonesia. Kemarau panjang melanda dan hama tikus menyerang persawahan. Ini mempengaruhi kehidupan rakyat tani di perdesaan Yogyakarta.

Cara Menghadapi Krisis

Krisis ekonomi berdampak buruk pada rakyat tani di perdesaan Yogyakarta. Kegagalan panen membuat mereka kehilangan pendapatan. Untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok, mereka datang ke kota menjadi pengemis.

“Polisi Yogyakarta melaporkan adanya truk yang menurunkan para penganggur di kota. Mereka kemudian mengemis secara berkelompok, kebanyakan perempuan dan anak-anak,” tulis Ben White dalam “Pengalaman Tiga Resesi: Yogyakarta Masa 1930-an, 1960-an, dan 1990-an”. Suami dan ayah mereka menyasar pasar untuk bekerja sebagai buruh kasar.

Baca juga: Krisis Barang pada Zaman Jepang

Sebagian rakyat tani memilih bertahan di desa. Mereka terancam kelaparan dan kemelaratan. Kedaulatan Rakyat, koran dengan tiras terbesar di Yogyakarta, mengabarkan kondisi ini sepanjang 1963. Hati banyak orang tersentuh. Bantuan bahan pangan gratis berdatangan dari kota ke Yogyakarta.

Sebagai contoh, para polisi di Yogyakarta memutuskan menyumbang satu persen dari jatah beras bulanan mereka untuk penduduk Gunung Kidul melalui Panitia Gerakan Kemanusiaan DIY yang didirikan untuk tujuan ini.

Barisan Tani Indonesia, organisasi bawahan Partai Komunis Indonesia, membentuk Gerakan Rakyat Kelaparan (Gerajak) pada Januari 1964 untuk menghimpun bantuan kepada rakyat tani. Strateginya tanpa kekerasan. Mereka berdemonstrasi di depan kantor bupati meminta pembagian pangan gratis. Selain itu, mereka juga mendatangi rumah para petani kaya dan elite lokal.

Baca juga: Jeritan Petani di Tanah Sendiri

Tak semua bantuan tersalur dengan baik kepada rakyat tani. Lebih banyak lagi rakyat tani yang berjuang sendirian mempertahankan hidup. Mereka tidak sampai berutang ke tetangga atau orang lain. Bagaimana mau meminjam uang jika tetangga dan orang lain sama susahnya. Maka jalan terbaik bagi mereka ialah menjual atau menggadai barang-barang di rumah. Dari perhiasan, emas, batik, sampai sendok dan garpu sekalipun.

Pegawai pemerintahan dan buruh upahan merupakan korban lain krisis ekonomi. Gaji bulanan mereka tak sepadan lagi dengan harga barang. Mereka menuntut pembayaran sebagian gaji dan tunjangan hari raya diganti oleh barang kebutuhan pokok seperti beras, gula, terigu, dan minyak goreng.

Pada masa inflasi, gaji dalam bentuk barang dipandang lebih menjamin hari-hari depan mereka ketimbang uang. Harga barang terus naik, sedangkan nilai uang selalu turun.

Makmur Saat Krisis

Berbeda dari rakyat tani, segelintir orang mengenang krisis sebagai masa jaya dalam kehidupan mereka. Merekalah para pedagang, penyelundup barang, dan oknum pegawai pemerintahan. Pedagang dan penyelundup memperoleh kemakmuran dari naiknya harga barang. Sedangkan oknum pegawai pemerintahan mencari celah dengan menjual kelebihan jatah barang kebutuhan pokok mereka. Mereka menjadi makin kaya di tengah lautan kemiskinan.

Situasi kontras juga tampak dalam laporan Kedaulatan Rakyat 19 Februari 1965. Tercatat ada peningkatan jumlah jamaah calon haji menjadi 75 orang. “Dalam sejarah keberangkatan haji dari Jogja, ini merupakan jumlah yang sangat besar,” catat Kedaulatan Rakyat.

Di tingkat elite nasional, krisis ekonomi memberikan andil kuat bagi perubahan pemerintahan. Sukarno dan kelompok pendukungnya tersingkir pada 1966. Soeharto naik sebagai presiden. Arkian setelah 32 tahun, dia jatuh dengan prolog yang sama seperti Sukarno: krisis ekonomi.

TAG

krisis ekonomi sukarno

ARTIKEL TERKAIT

Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Supersemar Supersamar Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno Anak Presiden Main Band Pengawal-pengawal Terakhir Sukarno* Membidik Nyawa Presiden Sukarno